SANG BUDDHA BERBICARA
TENTANG SUTRA KASIH YANG MENDALAM DARI ORANG TUA DAN KESULITAN UNTUK
MEMBALASNYA
(SUTRA BAKTI SEORANG
ANAK)
Demikianlah yang aku dengar, bahwa pada suatu saat Sang
Buddha berdiam di Shravasti, di Hutan Jeta, di Taman Pelindung Anak-anak Yatim
Piatu dan para pertapa, bersama-sama dengan sekumpulan Bhikshu-Bhikshu besar,
yang seluruhnya berjumlah seribu dua ratus lima puluh, dan dengan semua
Bodhisattva, jumlahnya tiga puluh delapan ribu semuanya.
Pada waktu itu, Sang Bhagava memimpin kumpulan besar itu
dalam perjalanan menuju selatan. Tiba-tiba mereka menjumpai seonggok tulang
manusia di samping jalan. Sang Bhagava berpaling menghadapinya dan bersikap
Anjali dengan penuh hormat.
Ananda dengan bersikap Anjali kemudian bertanya kepada Sang
Bhagava, “Tathagata adalah Guru Agung dari Tri Loka dan bapak yang terkasih
dari makhluk-makhluk yang berasal dari empat jenis kelahiran. Beliau dihormati
dan dicintai seluruh umat. Apakah sebabnya kini beliau menghormati seonggok
tulang-tulang kering?” Sang Buddha berkata kepada Ananda, “Meskipun engkau
adalah siswa-siswaku yang utama dan telah cukup lama menjadi anggota Sangha,
engkau masih belum mencapai pengertian yang jauh. Onggokan tulang ini mungkin
adalah milik para leluhurku pada kehidupan lampau. Mereka mungkin adalah orang
tuaku dalam banyak kehidupan yang telah lalu. Itulah sebabnya sekarang Aku
bersujud.” Sang Buddha melanjutkan pembicaraannya kepada Ananda, “Tulang-tulang
yang kita lihat ini dapatlah dibagi menjadi dua kelompok. Yang satu adalah
tulang-tulang lelaki, yang berat dan putih warnanya. Kelompok yang lain adalah
tulang-tulang perempuan, yang ringan dan warnanya hitam.”
Ananda berkata kepada Sang Buddha, “Duhai Sang Bhagava,
sewaktu para lelaki masih hidup di dunia mereka menghiasi badan dengan jubah,
pengikat pinggang, sepatu, topi dan pakaian-pakaian indah lainnya sehingga
mereka jelas-jelas nampak perkasa. Ketika para perempuan masih hidup, mereka
mengenakan kosmetik, minyak wangi, bedak dan wangi-wangian yang menarik untuk
menghiasi tubuh mereka, sehingga dengan jelas menampakkan kewanitaannya. Namun
tatkala para lelaki dan perempuan itu meninggal, semua yang tertinggal adalah
tulang-tulang. Bagaimana seseorang dapat membedakannya? Ajarilah kami bagaimana
membedakannya?”
Sang Buddha menjawab Ananda, “Ketika para lelaki ada di
dunia, mereka memasuki rumah ibadah, mendengarkan penjelasan-penjelasan tentang
Sutra-Sutra dan Vinaya, menghormati Sang Tri Ratna dan menyebut nama-nama
Buddha. Tatkala mereka meninggal tulang-tulangnya menjadi berat dan putih
warnanya. Kebanyakan wanita dalam dunia mempunyai sedikit kebijaksanaan dan
dipenuhi emosi. Mereka melahirkan dan membesarkan anak-anak, merasakannya
sebagai kewajiban. Setiap anak bergantung kepada air susu ibunya demi kehidupan
dan makanan, dan susu adalah darah ibunya yang telah berubah. Setiap anak
meminum seribu dua ratus galon susu ibunya. Oleh karena penghisapan
(penyedotan) dari badan ibu ini sang anak mengambil susu untuk makanannya. Ibu
menjadi letih dan menderita dan karenanya tulang-tulang mereka berubah menjadi
hitam dan ringan.”
Ketika Ananda mendengar kata-kata ini, dia merasakan
kepedihan dalam hatinya, karena seolah-olah telah tertusuk pedang dan karenanya
ia diam-diam menangis. Dia mengatakan kepada Sang Bhagava, “Bagaimanakah
caranya seseorang dapat membalas kasih dan kebaikan ibunya?”
Sang Buddha mengatakan kepada Ananda, “Dengarkanlah
baik-baik, dan Aku akan jelaskan hal ini kepadamu dengan terperinci. Janin
tumbuh dalam kandungan selama sepuluh bulan perhitungan Candra Sengkala.
Alangkah menderitanya ibu selama janin berada di situ! Pada bulan pertama
kehamilan, hidup janin tidaklah menentu seperti titik embun pada daun yang
kemungkinan tidak akan bertahan dari pagi hingga sore, tetapi akan menguap pada
tengah hari!”
“Pada bulan kedua, janin menjadi kental seperti susu kental.
Pada bulan ketiga, ia seperti darah yang mengental. Pada bulan keempat, janin
mulai berwujud sedikit seperti manusia. Selama bulan kelima dalam kandungan,
kelima anggota badan anak (dua kaki, dua tangan, dan kepala) mulai terbentuk.
Pada bulan keenam kehamilan, anak mulai mengembangkan inti ke enam alat
inderanya yaitu mata, telinga, hidung, lidah, badan dan pikiran. Selama bulan
ketujuh, ketiga ratus enam puluh tulang-tulang dan persendian terbentuk, dan
kedelapan puluh empat ribu pori-pori rambut juga telah sempurna. Dalam bulan
kedelapan kehamilan, kecerdasan dan kesembilan lubang terbentuk. Pada bulan
kesembilan, janin telah belajar menyerap berbagai zat makanan. Misalnya janin
dapat menyerap sari buah-buahan, akar tanaman tertentu, dan kelima macam
padi-padian.”
Bagian dalam tubuh ibu adalah organ yang padat, untuk fungsi
menyimpan, dan ia tergantung ke arah bawah, sedangkan organ dalam yang hampa,
berguna untuk mengolah, dan ia melingkar ke arah atas. Ini disamakan dengan
ketiga gunung yang terbit dari permukaan bumi. Kita boleh menyebut
gunung-gunung ini Puncak Sumeru, Gunung Karma dan Gunung Darah. Gunung-gunung
Analogi ini bersatu, dan membentuk satu gugusan dengan puncak-puncak ke sebelah
atas dan lembah-lembah ke sebelah bawah. Begitu jugalah, pembekuan darah ibu
dari organ-organ dalamnya membentuk zat tunggal yang menjadi makanan anak.
Selama bulan ke sepuluh kehamilan, badan janin disempurnakan dan siap untuk
dilahirkan. Bila anak itu sangat berbakti dia akan lahir dengan telapak
tangannya disatukan sebagai menghormat dan kelahiran itu akan aman dan baik.
Ibunya tidak akan terluka oleh kelahiran itu dan tidak akan menderita
kesakitan. Tetapi, bila anak itu sangat pemberontak sifatnya hingga melakukan
kelima perbuatan jahat 1) maka dia akan merusak kandungan ibunya, mengoyak
jantung dan hati ibunya, akan tersangkut di tulang-tulang ibunya. Kelahiran itu
akan seperti sayatan seribu pisau atau seperti seribu pedang tajam menikam
jantungnya. Itulah kesakitan-kesakitan yang terjadi dalam kelahiran anak nakal
dan yang pembangkang.
Untuk menjelaskan lebih jelas, ada 10 jenis kebaikan yang
diperbuat oleh seorang ibu kepada anaknya:
Yang pertama ialah kebaikan di dalam memberikan perlindungan
dan penjagaan selama anak dalam kandungan.
Yang kedua ialah kebaikan dalam menanggung penderitaan
selama kelahiran.
Yang ketiga ialah kebaikan untuk melupakan semua kesakitan
begitu anak telah dilahirkan.
Yang keempat ialah kebaikan dari memakan bagian yang pahit
bagi dirinya dan menyimpan yang manis bagi anak.
Yang kelima ialah kebaikan untuk memindahkan anak ke tempat
yang kering dan dirinya sendiri berbaring di tempat yang basah.
Yang keenam ialah kebaikan menyusukan anak pada payudaranya
dan memberi makan dan membesarkan anak.
Yang ketujuh ialah kebaikan dalam membersihkan yang kotor.
Yang kedelapan ialah kebaikan dari selalu memikirkan anak
bila dia berjalan jauh.
Yang kesembilan ialah kebaikan karena kasih sayang yang
dalam dan pengabdian.
Yang kesepuluh ialah kebaikan karena rasa kasihan yang dalam
dan simpati.
1. KEBAIKAN DIDALAM
MEMBERIKAN PERLINDUNGAN DAN PENJAGAAN SELAMA ANAK DI DALAM KANDUNGAN
Sebab-sebab dan kondisi-kondisi dari banyak kalpa yang
terkumpul bertumbuh menjadi berat, sehingga dalam hidup ini anak berakhir dalam
kandungan ibunya. Dengan berlalunya bulan, kelima organ penting berkembang. Dalam
waktu tujuh minggu, keenam alat indera mulai tumbuh, badan ibu menjadi seberat
gunung; diamnya dan gerakan-gerakan janin adalah laksana bencana angin kalpic. Baju-baju
ibu yang cantik tidak dapat dipakai dengan baik lagi, dan begitu juga
cerminnyapun berdebu.
2. KEBAIKAN DALAM
MENANGGUNG DERITA SELAMA KEHAMILAN
Kehamilan berlangsung selama sepuluh bulan penanggalan
Candra Sengkala, dan puncaknya ialah kesulitan dengan semakin dekatnya
kelahiran. Sementara itu, setiap pagi ibu merasa sangat sakit, dan sepanjang
hari terasa mengantuk dan lamban. Ketakutannya dan kegelisahannya sukar
dilukiskan, kesedihan dan air mata memenuhi dadanya. Dia dengan khawatir
mengatakan kepada keluarganya, bahwa dia hanya takut maut akan menimpa dirinya.
3. KEBAIKAN UNTUK
MELUPAKAN SEMUA KESAKITAN BEGITU ANAK TELAH LAHIR
Pada saat ibu akan melahirkan anak, kelima organ semua
terbuka lebar, menyebabkan dia sangat letih dalam badan dan pikiran. Darah
mengalir laksana seekor domba yang disembelih; tetapi ketika mendengar bahwa
anaknya terlahir sehat, dia dipenuhi dengan kegembiraan yang melimpah. Tetapi
sesudah kegembiraan, kesedihan datang kembali, dan rasa sakit kembali
mengaduk-aduk bagian dalam tubuhnya.
4. KEBAIKAN DARI
MEMAKAN BAGIAN YANG PAHIT BAGI DIRINYA DAN MENYIMPAN BAGIAN YANG MANIS UNTUK
ANAK
Kebaikan kedua orangtua sangat besar dan dalam, penjagaan
dan pengabdiannya tidak pernah berhenti. Tidak pernah beristirahat, ibu
senantiasa menyimpan yang manis untuk anak, dan tanpa mengeluh menelan yang
pahit bagi dirinya. Cintanya amat besar dan emosinya sukar tertahankan.
Kebaikannya adalah mendalam dan begitu juga kasihnya. Hanya menginginkan anak
mendapat cukup makanan. Ibu yang kasih tidak membicarakan kelaparannya sendiri.
5. KEBAIKAN UNTUK
MEMINDAHKAN ANAK KE TEMPAT YANG KERING DAN DIRINYA SENDIRI DI TEMPAT YANG BASAH
Ibu rela berada di tempat yang basah agar dengan demikian
anak dapat berada di tempat yang kering. Dengan kedua payudaranya dia memuaskan
rasa lapar dan haus sang anak; menutupi dengan kainnya, dia melindungi anak
dari angin dan dingin. Dalam kebaikannya, kepala ibu jarang lega di atas
bantal, dan bahkan dia melakukannya dengan gembira selama anak dapat merasa
senang. Ibu yang baik tidak mencari penghiburan bagi dirinya sendiri.
6. KEBAIKAN MENYUSUI
ANAK PADA PAYUDARANYA DAN MEMBERI MAKAN SERTA MEMELIHARA ANAK
Ibu yang baik adalah bagaikan bumi yang besar, Ayah yang
tegar laksana langit yang mengasihi; Yang satu melindungi dari atas, yang
lainnya menunjang dari bawah. Kebaikan orangtua adalah sedemikian rupa sehingga
mereka tidak membenci atau marah terhadap anaknya, dan tetap menyukainya,
sekalipun anak terlahir lumpuh. Sesudah ibu mengandung anak dalam kandungannya
dan melahirkannya, orangtua bersama-sama memelihara dan melindunginya sampai
akhir hayatnya.
7. KEBAIKAN DARI
MEMBERSIHKAN YANG KOTOR
Mula-mula ibu mempunyai wajah yang cantik dan tubuh yang
indah, semangatnya kuat dan bergelora, alis matanya seperti daun willow hijau
yang segar, dan warna kulitnya bagaikan mawar merah jambu. Tetapi kebaikan ibu
begitu mendalam sehingga dia melepaskan wajah yang cantik, sekalipun mencuci
yang kotor merusak badannya. Ibu yang baik bertindak hanya demi untuk
kepentingan putra-putrinya. Dan dengan rela menerima kecantikannya yang
memudar.
8. KEBAIKAN DARI
SELALU MEMIKIRKAN ANAK BILA DIA BERJALAN JAUH
Kematian dari orang yang dicintai sukar terlukiskan
penderitaannya. Tetapi berpisah dari yang dikasihi juga sangat menyakitkan.
Bila anak berjalan jauh, ibu merasa khawatir di kampungnya. Dari pagi hingga
malam, hatinya selalu bersama anaknya, dan air mata berderai jatuh dari
matanya, seperti monyet menangis diam-diam, demikian dalam cinta seorang ibu
pada anaknya. Sedikit demi sedikit hatinya hancur.
9. KEBAIKAN KARENA
KASIH SAYANG YANG DALAM DAN PENGABDIAN
Alangkah besarnya kebaikan orangtua dan gejolak emosinya!
Kebaikannya mendalam dan sukar membalasnya. Dengan rela mereka menderita untuk
kepentingan anaknya. Bila anak bekerja berat, orangtuapun merasa tidak senang.
Bila mereka mendengar bahwa dia berjalan jauh, mereka khawatir bahwa pada waktu
malam sang anak berbaring kedinginan. Bahkan kesakitan sebentar yang diderita
putra-putra atau putri-putrinya, akan menyebabkan orang tua lama bersusah hati.
10. KEBAIKAN DARI
RASA KASIHAN YANG DALAM DAN SIMPATI
Kebaikan orang tua adalah besar dan penting. Perhatiannya
yang lemah lembut tidak pernah berhenti. Dari saat mereka bangun tiap pagi,
pikiran mereka adalah pada anaknya. Apakah anak-anak dekat atau jauh, orang tua
selalu memikirkan mereka. Sekalipun seorang ibu hidup untuk seratus tahun, dia
akan selalu mengkhawatirkan anaknya yang berumur delapan puluh tahun. Inginkah
anda mengetahui bilakah kebaikan dan cinta yang demikian itu berakhir? Ia
bahkan tidak mulai berkurang hingga akhir hidupnya.
Sang Buddha berkata kepada Ananda, “Bila Aku merenung
tentang mkhluk-makhluk hidup, Aku melihat bahwa sekalipun mereka dilahirkan
sebagai manusia, mereka adalah bodoh dan dungu dalam pikiran-pikiran dan
tindakan-tindakan mereka. Mereka tidak mempertimbangkan kebaikan dan kebajikan
orang tua mereka. Mereka tidak menghormati dan melupakan kebaikan dan apa yang
benar. Mereka kurang manusiawi dan kurang berbakti ataupun patuh pada orang
tua.
Selama sepuluh bulan ibu mengandung anak, dia merasakan
kesusahan setiap kali dia bangun, seolah-olah ia mengangkat beban yang berat.
Sebagai seorang cacat yang parah, dia tak mampu menelan makanan dan minuman.
Bila waktu sepuluh bulan telah berlalu dan waktu melahirkan telah datang, dia
menderita segala macam kesakitan dan penderitaan supaya anak dapat dilahirkan.
Dia takut akan kematiannya, seperti seekor babi atau domba menunggu untuk
disembelih. Kemudian darah mengalir di atas tanah. Inilah
penderitaan-penderitaan yang dialaminya.
Setelah anak lahir, dia menyimpan apa yang manis untuk anak
dan menelan yang pahit bagi dirinya sendiri. Dia menggendong anak dan
memberinya makan serta membersihkan kotorannya. Tiada pekerjaan atau kesukaran
yang ia tidak bersedia mengerjakan demi kepentingan anaknya. Dia menahan baik
rasa dingin dan panas dan tiada pernah menyebutkan apa yang telah dialaminya.
Dia memberikan tempat yang kering untuk anaknya dan dia sendiri tidur di tempat
yang lembab, selama tiga tahun dia memberi makan anak dengan susu yang adalah
darah badannya sendiri.
Orang tua terus-menerus mengajar dan membimbing anak-anaknya
tentang apa yang patut dan bermoral, selama anak tumbuh menjadi dewasa. Mereka
mengatur perkawinan bagi anak-anaknya dan menyediakan harta benda dan kekayaan
atau mengusahakan cara-cara untuk mendapatkannya bagi anak-anak mereka. Mereka
bertanggung jawab dan bersusah-susah sendiri dengan kerja dan semangat yang
besar, dan tiada pernah membicarakan kasih sayang dan kebaikan mereka.
Bila putra atau putrinya sakit, orang tua khawatir dan takut
sehingga mereka sendiri mungkin jatuh sakit. Mereka berada di samping anak,
terus-menerus menjaganya, dan hanya bila anak sembuh orang tua menjadi gembira
kembali. Dengan cara ini, mereka menjaga dan membesarkan anak-anaknya dengan
harapan yang terus-menerus bahwa keturunan mereka akan segera menjadi dewasa.
Alangkah sedihnya bila acap kali anak-anaknya justru tidak
berbakti, sebagai balasannya bila berbicara dengan sanak saudara yang
seharusnya mereka hormati, anak-anak tidak mau menunjukkan kepatuhan mereka.
Ketika mereka seharusnya bersikap hormat, mereka malah tidak mau bertingkah
laku baik. Mereka mendelik kepada orang yang seharusnya mereka segani dan
menghina paman-paman dan bibi-bibi mereka. Mereka memarahi saudara-saudaranya
dan menghancurkan perasaan kekeluargaan yang ada di antara mereka. Anak-anak
seperti itu tidak mempunyai rasa hormat atau perasaan yang patut.
Anak-anak mungkin bisa diajar dengan baik, tetapi mereka
tetap tidak berbakti, mereka tidak akan memperdulikan pengajaran atau mematuhi
aturan-aturan. Jarang sekali mereka menuruti bimbingan orangtua mereka. Mereka
menentang dan membangkang bila bergaul dengan saudara-saudara mereka. Mereka
datang dan pergi dari rumah tanpa memberi tahu kepada orangtua. Kata-kata dan
tindakan-tindakannya sangat sombong dan mereka bertindak tiba-tiba tanpa
membicarakannya dengan yang lainnya. Anak-anak yang demikian tidak mengacuhkan
teguran-teguran dan hukuman-hukuman yang dibuat oleh orangtuanya dan tidak
memperdulikan peringatan-peringatan paman-paman mereka. Tetapi, mereka belum
matang (dewasa) dan selalu perlu diperhatikan dan dilindungi oleh orang yang
lebih tua.
Sebagaimana anak-anak demikian makin besar, mereka menjadi keras
kepala dan tidak bisa diatur. Mereka sama sekali tidak berterima kasih dan
betul-betul melawan. Mereka menantang dan penuh kebencian, membuang keluarga
dan kawan-kawan mereka. Mereka berteman dengan orang-orang jahat dan segera
meniru kebiasaan-kebiasaan jahat mereka. Mereka menganggap yang salah adalah
benar.
Anak-anak yang demikian mungkin dipikat kawannya untuk
meninggalkan keluarganya dan lari untuk hidup di kota lain, dan dengan demikian
tidak mengakui orangtuanya, serta meninggalkan kota tempat lahir mereka. Mereka
mungkin menjadi pedagang atau pegawai negeri yang hidup dengan jemu dalam
kesenangan dan kemewahan. Mereka mungkin kawin dengan tergesa-gesa dan ikatan
baru ini bahkan merupakan halangan lain yang semakin menghalangi mereka kembali
ke rumah untuk waktu yang lama.
Atau, ketika mencoba hidup di kota lain, anak-anak ini tidak
hati-hati dan mendapati dirinya difitnah atau dituduh berbuat jahat. Mereka
mungkin dipenjarakan dengan tidak adil. Atau mereka jatuh sakit dan terlibat
dalam malapetaka atau kesukaran-kesukaran, terkena penderitaan kemiskinan yang
hebat, kelaparan, dan kurus kering. Tetapi tak akan ada orang yang
memperhatikan mereka. Karena dibenci dan tak disukai orang-orang lain, mereka
akan disia-siakan di jalan. Dalam keadaan demikian, hidup mereka akan berakhir.
Tak seorangpun yang bersusah payah mencoba menolong mereka. Badan mereka
membengkak, membusuk, hancur dan terkena matahari dan berterbangan dihembus
angin. Tulang-tulang putih hancur sama sekali dan bertebaran. Ketika anak-anak
ini mati di tempat kotor di kota lain, mereka tidak akan pernah berkumpul
kembali dengan gembira bersama sanak saudara atau keluarga. Juga mereka tidak
akan pernah tahu bagaimana orang tua mereka yang makin tua menangisi dan cemas
tentang mereka. Orang tua mungkin menjadi buta karena menangis atau menjadi
sakit karena putus asa dalam kesedihan yang amat sangat. Terus-menerus
mengingat anak-anaknya, mereka mungkin meninggal tetapi bahkan tatkala menjadi
hantu sekalipun, jiwa mereka tetap mengingatnya dan tak dapat melupakannya.
Anak-anak tidak berbakti lainnya mungkin tidak ada keinginan
untuk belajar, tetapi sebagai gantinya tertarik akan ajaran-ajaran aneh dan
ganjil. Anak-anak demikian mungkin menjadi jahat, kasar, dan keras kepala,
menyenangi perbuatan-perbuatan yang sama sekali tidak menguntungkan. Mungkin
mereka terlibat dalam perkelahian dan pencurian, membuat diri mereka
bertentangan dengan aturan hidup kota karena berminum dan berjudi. Seolah-olah
kejahatan mereka tidak cukup, mereka menarik saudara-saudaranya untuk ikut
berbuat jahat sehingga menambah kesedihan orang tua mereka.
Kalaupun anak-anak yang demikian itu tinggal di rumah,
mereka meninggalkan rumah pagi-pagi sekali dan tidak kembali sampai jauh malam.
Tidak pernah mereka menanyakan kesejahteraan orang tuanya atau memastikan
apakah mereka tidak menderita panas atau dingin. Mereka tidak menanyakan
kesehatan orang tua mereka di waktu pagi atau di sore hari, bahkan juga tidak
pada hari pertama atau kelima belas dari penanggalan bulan (Candra Sengkala).
Sebenarnya, tidak pernah terpikir oleh anak-anak yang tidak berbakti ini untuk
menanyakan apakah orang tua mereka dapat tidur nyenyak dan beristirahat dengan
tenang. Anak-anak yang demikian memang sama sekali tidak memperhatikan
kesehatan orang tuanya. Bila orang tua mereka menjadi tua dan rupanya makin
lama makin renta dan kurus mereka dibuat merasa malu di depan umum dan diejek
serta diganggu.
Anak-anak tidak berbakti seperti itu mungkin akhirnya punya
ayah seorang duda atau ibunya seorang janda. Orang tua yang sendirian
ditinggalkan sendirian di rumah yang kosong dan merasa seperti tamu di rumahnya
sendiri. Mereka mungkin tahan menghadapi dingin dan lapar, tetapi tidak ada
yang memperhatikan kesusahan mereka. Mereka mungkin menangisi terus-menerus
dari pagi hingga malam, berkeluh kesah dan meratap. Adalah wajib bagi anak-anak
menyediakan makanan dan minuman yang enak bagi orang tua mereka yang menua,
tetapi anak-anak yang tidak bertanggung jawab sudah pasti melupakan
kewajiban-kewajibannya. Bila mereka pernah mau mencoba menolong orang tuanya
dengan cara apapun, mereka merasa malu dan takut ditertawakan orang lain. Namun
anak-anak yang sedemikian itu memfoya-foyakan harta dan makanan kepada anak dan
istri mereka, tanpa menghiraukan kerja dan kelelahan dalam melakukannya. Anak-anak
tidak berbakti lainnya mungkin diancam istrinya sedemikian rupa sehingga mereka
mengikuti segala keinginan istri. Tetapi bila diminta oleh orang tuanya dan
orang-orang yang lebih tua, mereka tidak memperdulikannya dan sama sekali tidak
tergerak hatinya melihat keadaan mereka.
Dapat terjadi bahwa anak-anak perempuan berbakti kepada
orang tuanya sebelum kawin, tetapi makin lama makin membangkang sesudah mereka
kawin. Keadaan dapat menjadi begitu parah sehingga bila orang tua menunjukkan
ketidaksenangan sedikit saja, anak-anak perempuan menjadi penuh kebencian dan
dendam terhadap mereka. Tetapi, mereka sanggup menahan kemarahan dan
pukulan-pukulan suami mereka dengan senang, sekalipun pasangan mereka adalah
orang lain dengan ikatan keluarga yang lain dan nama keluarga yang lain pula.
Ikatan emosional di antara pasangan-pasangan yang demikian adalah sangat erat,
tetapi anak-anak perempuan yang demikian menjauhi orang tuanya. Mereka mungkin
mengikuti suami, dan pindah ke kota lain, dan meninggalkan orang tuanya sama
sekali. Mereka tidak merindukan orang tuanya dan sama sekali tidak berhubungan dengan
orang tuanya. Bila orang tua terus-menerus tidak mendengar kabar dari anak-anak
perempuannya, mereka khawatir terus –menerus. Mereka begitu dibebani oleh
kesedihan seolah-olah mereka dihukum gantung dengan kepala di bawah. Setiap
pemikiran mereka ialah untuk melihat anak-anaknya seperti orang yang haus
merindukan sesuatu untuk diminum. Pemikiran mereka yang baik untuk anak-anak
tidak pernah berhenti.
Kebajikan dari kebaikan orang tua sungguh luas dan tidak
terbatas. Bila seseorang berbuat kesalahan karena tidak berbakti, alangkah
sukar membayar kembali kebaikan itu!”
Pada ketika itu, setelah mendengar Sang Buddha berbicara
tentang dalamnya kebaikan orang tua, setiap orang dalam kumpulan besar itu
menjatuhkan diri mereka ke tanah dan mulai memukuli dada mereka dan
menghempaskan diri mereka hingga semua pori-pori mereka mengeluarkan darah.
Beberapa orang pingsan di atas tanah, sedangkan yang lain menghentakkan kakinya
dalam kesedihan. Lama baru mereka dapat mengatasi diri mereka. Dengan suara
keras mereka meratap: “Alangkah menderitanya! Alangkah sakitnya! Alangkah
sakitnya! Kami semua bersalah. Kami adalah penjahat yang tidak pernah sadar,
seperti mereka yang berjalan di malam yang gelap. Kami baru sekarang menyadari
kesalahan-kesalahan kami dan hati kami tercabik-cabik. Kami hanya berharap
bahwa Sang Bhagava mengasihi dan menyelamatkan kami. Mohon ajarilah kami
bagaimana mengembalikan kebaikan yang mendalam dari orang tua kami!”
Pada waktu itu Tathagata memakai delapan macam suara yang
sangat dalam dan bersih, seraya berkata kepada kumpulan besar itu, “Anda semua
harus mengetahui ini, sekarang akan kami jelaskan beberapa segi dari hal ini.”
“Bila ada seseorang yang mengangkat ayahnya dengan bahu
kirinya dan ibunya dengan bahu kanannya dan oleh karena beratnya menembus
tulang sumsumnya sehingga tulang-tulangnya hancur menjadi debu, dan orang-orang
tersebut mengelilingi Puncak Semeru seratus ribu kalpa lamanya sehingga darah
yang keluar dari kakinya membasahi pergelangan kakinya, orang tersebut belum
cukup membalas kebaikan yang mendalam dari orang tuanya.”
“Bila ada seseorang yang selama waktu satu kalpa yang penuh
dengan kesukaran dan kelaparan, memotong sebagian dari daging badannya sendiri
untuk memberi makan orang tuanya dan ini diperbuatnya sebanyak debu yang ia
lalui dalam perjalanan ratusan ribu kalpa, orang itupun belum membalas kebaikan
yang dalam dari orang tuanya.”
“Bila ada satu orang yang demi orang tuanya, mengambil
sebuah pisau yang tajam dan mencungkil kedua belah matanya dan
mempersembahkannya kepada Tathagata, dan terus melakukannya hingga
beratus-ratus ribu kalpa, orang tersebut masih tetap belum membalas kebaikan
yang mendalam dari orang tuanya.”
“Bila ada orang yang demi ayah dan ibunya, mengambil sebuah
pisau tajam dan mengeluarkan jantung dan hatinya sehingga darah mengucur dan
menutupi tanah dan dia melakukan ini dalam beratus ribu kalpa, tiada sekalipun
mengeluh tentang kesakitannya, orang tersebut tetap belum dapat membalas
kebaikan yang besar dari orang tuanya.”
“Bila ada orang yang demi orang tuanya, menghancurkan
tulang-tulangnya sendiri sampai ke sumsum dan melakukan ini hingga beratus ribu
kalpa, orang itu tetap belum membalas kebaikan yang besar dari orang tuanya.”
“Bila ada orang yang demi orang tuanya menelan butir-butiran
besi yang mencair dan berbuat demikian hingga beratus ribu kalpa, orang itu
tetap belum dapat membalas kebaikan yang mendalam dari orang tuanya.”
Pada waktu itu, ketika mendengar Buddha membicarakan
kebaikan dan kebajikan orang tua, setiap orang dalam kumpulan besar itu
menangis diam-diam dan merasakan kepedihan dalam hatinya. Mereka merenungkannya
dan segera merasa malu dan berkata kepada Sang Bhagava, “Oh, Sang Bhagava,
bagaimana kami dapat membalas kebaikan yang dalam dari orang tua kami?”
Sang Buddha menjawab, “Wahai siswa-siswa Buddha, bila engkau
ingin membalas kebaikan orang tuamu, tulislah Sutra ini untuk mereka.
Kumandangkanlah Sutra ini untuk mereka. Bertobatlah atas
pelanggaran-pelanggaran dan kesalahan-kesalahan demi mereka. Untuk kepentingan
orang tua berikanlah persembahan kepada Sang Tri Ratna. Demi orang tua,
patuhlah kepada perintah untuk hanya memakan makanan suci dan bersih. Demi
orang tua biasakanlah berdana dan mencari keberkahan. Bila engkau dapat
melakukan ini, engkau adalah anak yang berbakti. Bila engkau tidak
melakukannya, engkau adalah orang yang akan menuju pada alam sengsara.”
Sang Buddha mengatakan kepada Ananda, “Bila seseorang tidak
berbakti ketika hidupnya berakhir dan badannya membusuk, dia akan jatuh ke
dalam Neraka Avici yang tidak terbatas. Neraka yang besar ini kelilingnya
delapan puluh ribu Yojana, dan dikelilingi dinding besi pada ke empat sisinya.
Di atasnya ditutup oleh jaring-jaring, dan lantainya juga dibuat dari besi. Api
akan membakar dengan berkobar-kobar, sementara itu petir bergemuruh dan
sambaran kilat yang berapi-api akan membakar. Perunggu yang cair dan cairan
besi akan disiramkan ke atas badan orang-orang yang bersalah. Anjing-anjing
perunggu dan ular-ular besi terus-menerus memuntahkan api dan asap yang
membakar orang-orang bersalah dan memanggang badan dan lemaknya hingga menjadi
bubur.
“Oh, penderitaan yang hebat! Sukar menahankannya, sukar menanggungkannya!
Ada galah, pengait, lembing-lembing, tombak-tombak, besi dan rantai-rantai
besi, pemukul-pemukul dari besi, dan jarum-jarum besi. Roda-roda dari pisau
besi turun bagai hujan dari udara. Orang yang bersalah itu dicincang, dipotong
atau ditikam dan mengalami hukuman-hukuman yang mengerikan ini selama
berkalpa-kalpa tidak henti-hentinya. Kemudian mereka memasuki neraka-neraka
berikutnya, di mana kepala mereka akan ditutupi mangkok-mangkok yang panas
sekali, sedangkan roda-roda besi akan menggilas badan mereka secara mendatar
dan tegak lurus sehingga perut mereka pecah dan daging serta tulang-tulangnya
menjadi lebur. Dalam satu hari mereka akan mengalami beribu-ribu kelahiran dan
kematian. Penderitaan-penderitaan yang demikian adalah akibat melakukan kelima
perbuatan jahat dan karena tidak berbakti selama seseorang masih hidup.”
Pada waktu itu setelah mendengar Sang Buddha membicarakan
Sutra tentang kebajikan orang tua, setiap orang dalam kumpulan besar itu
menangis dengan sedihnya dan berkata kepada Tathagata, “Pada hari ini,
bagaimana kami dapat membalas kebaikan yang dalam dari orang tua kami?”
Sang Buddha berkata, “Wahai siswa-siswa Buddha, bila engkau
ingin membalas kebaikan-kebaikan mereka, maka demi mereka salinlah sutra ini.
Ini sesungguhnya membalas kebaikan mereka. Bila seseorang dapat menyalin satu
saja maka dia akan melihat satu Buddha. Bila seseorang dapat menyalin sepuluh
buah, maka dia akan melihat 10 Buddha. Bila seseorang dapat menyalin 100, maka
ia akan bertemu 100 Buddha. Bila seseorang menyalin 1000 maka ia akan melihat
1000 Buddha. Bila seseorang dapat menyalin 10.000, maka ia akan melihat 10.000
Buddha. Inilah kekuatan yang diperoleh bila orang-orang saleh menyalin Sutra.
Semua Buddha akan selamanya melindungi orang yang demikian itu dan dapat dengan
segera menyebabkan orang-orang tua mereka lahir kembali di surga, untuk
menikmati segala kebahagiaan dan meninggalkan penderitaan-penderitaan neraka.
Pada ketika itu, Ananda dan lain-lainnya dalam kumpulan
besar itu – Asura, Garuda, Kinnara, Maharaga, manusia, bukan manusia, dan
lain-lainnya, demikian juga dewa-dewa, naga, yaksha, gandarwa, raja-raja
bijaksana yang memutar roda, dan semua raja-raja yang lebih kecil, merasakan
semua bulu pada badan mereka berdiri setelah mendengar apa yang dikatakan Sang
Buddha. Mereka menangis dengan sedihnya dan tak sanggup menghentikannya.
Masing-masingnya bertekad dan berkata, “Kami semua mulai sekarang sampai
perwujudan akhir dari masa mendatang, akan lebih suka badan kami dilumatkan
menjadi abu untuk beratus ribu kalpa daripada melanggar ajaran-ajaran bijaksana
dari Tathagata. Kami lebih suka lidah kami dicabut, sehingga akan memanjang
sepanjang satu yojana penuh, dan untuk selama seratus ribu kalpa sebuah luku
besi ditarik di atasnya; kami lebih suka roda dengan seratus ribu pisau
menggelinding dengan bebas di atas badan kami, daripada melanggar ajaran-ajaran
bijaksana dari Tathagata. Kami lebih suka badan kami diikat dengan jaring besi
selama seratus ribu kalpa, daripada melanggar ajaran-ajaran bijaksana dari
Tathagata. Kami lebih suka badan kami dicincang, dipotong, dirusak dan dipahat
menjadi sepuluh juta potong sehingga kulit, daging, persendian dan
tulang-tulang kami betul-betul hancur, dari pada melanggar ajaran-ajaran
bijaksana dari Tathagata.”
Pada ketika itu, Ananda, dengan agung dan perasaan damai,
bangkit dari tempat duduknya dan bertanya kepada Sang Buddha, “Sang Bhagava,
apakah nama Sutra ini bila kami mengikutinya dan menjaganya?”
Sang Buddha berkata kepada Ananda, “Sutra ini disebut SUTRA
KASIH YANG MENDALAM DARI ORANG TUA DAN KESULITAN MEMBALASNYA. Pakailah nama ini
bila engkau mengikutinya dan menjaganya.”
Pada ketika itu, kumpulan besar itu, dewa-dewa,
manusia-manusia, asura, dan lain-lainnya, mendengar apa yang telah dikatakan
oleh Sang Buddha, betul-betul merasa gembira. Mereka mempercayainya,
menerimanya, dan menyesuaikannya dengan tingkah laku mereka dan kemudian
menunduk hormat dan berlalu.
Komentar
Posting Komentar