Suatu ketika di Savatthi, ada seorang pria yang menjadi
penjagal ternak selama dua puluh lima tahun. Selama itu, ia menyembelih ternak
dan menjual dagingnya, dan setiap hari ia makan nasi dengan kari daging. Suatu
hari, ia memberikan sedikit daging kepada istrinya agar dimasak untuk keluarga
mereka, kemudian ia pergi mandi ke tepi sungai.
Saat penjagal itu pergi, seorang teman membujuk istrinya
untuk menjual sekerat daging tadi kepadanya. Akibatnya tidak ada kari daging
untuk si penjagal pada hari itu. Karena ia tidak pernah makan tanpa kari
daging, maka si penjagal bergegas pergi ke belakang rumah, di mana terdapat
seekor sapi jantan. Ia memotong lidah sapi jantan tersebut dan memanggangnya di
atas api. Ketika makan, si penjagal menggigit lidah sapi jantan tersebut,
tetapi bersamaan dengan itu lidahnya sendiri tergigit putus dan jatuh ke atas
piring nasi. Jadi sapi jantan dan si penjagal mengalami penderitaan yang sama,
sama-sama terpotong lidahnya.
Si penjagal mengalami kesakitan dan penderitaan yang teramat
sangat, dan ia merangkak ke sana kemari, dengan banyak darah bercucuran dari
mulutnya. Kemudian penjagal tersebut meninggal dan terlahir kembali di alam
neraka Avici (Niraya Avici).
Istri si penjagal merasa sangat gelisah dan ia menginginkan
putranya pindah ke tempat tinggal yang lain, agar kemalangan tidak menimpa
dirinya pula. Maka ia mengirimkan putranya ke Taxila. Di Taxila, putra si
penjagal mempelajari seni dari seorang pandai emas. Kemudian, ia menikahi putri
gurunya dan mempunyai beberapa orang anak. Ketika anak-anak mereka dewasa, ia
kembali ke Savatthi. Anak-anaknya menganut ajaran Buddha dan telah meningkat
keyakinannya. Mereka mengkhawatikan ayah mereka, yang telah menjadi tua tanpa
pernah memikirkan Dhamma maupun kehidupan yang akan datang.
Maka pada suatu hari, mereka mengundang Sang Buddha dan para
bhikkhu ke rumah mereka untuk menerima dana makanan. Setelah bersantap, mereka
berkata kepada Sang Buddha, “Bhante, kami melakukan persembahan kepada-Mu hari
ini atas nama ayah kami. Berikanlah khotbah secara khusus padanya.”
Sang Buddha berkata, “Murid-Ku! Engkau telah menjadi tua,
tapi engkau belum membuat persiapan kebajikan untuk perjalananmu pada kelahiran
berikutnya, sekarang engkau sebaiknya mencari penolong bagi dirimu sendiri.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 235, 236, 237, dan
238 berikut ini:
Sekarang ini engkau
bagaikan daun mongering layu. Para utusan raja kematian (Yama) telah menantimu.
Engkau telah berdiri di ambang pintu keberangkatan, namun tidak kau miliki
bekal untuk perjalanan nanti.
Buatlah pula bagi
dirimu sendiri. Berusahalah sekarang juga dan jadikan dirimu bijaksana. Setelah
membersihkan noda-noda dan bebas dari nafsu keinginan, maka engkau akan
mencapai alam kedamaian para Ariya.
Sekarang kehidupanmu
telah mendekati akhir, dan engkau telah mulai berjalan ke hadapan raja kematian
(Yama). Tidak ada tempat berhenti bagimu di perjalanan, sedangkan engkau belum
memiliki bekal untuk perjalananmu.
Buatlah pulau bagi
dirimu sendiri. Berusahalah sekarang juga dan jadikan dirimu bijaksana. Setelah
membersihkan noda-noda dan bebas dari nafsu keinginan, maka kelahiran dan
kematian tidak akan datang lagi padamu.
Ayah pemberi dana makanan (yaitu putra si penjagal) mencapai
tingkat kesucian Anagami setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Komentar
Posting Komentar