Langsung ke konten utama

Dhammapada Bab XVIII (XVIII:1. Kisah Putra Seorang Penjagal)


Suatu ketika di Savatthi, ada seorang pria yang menjadi penjagal ternak selama dua puluh lima tahun. Selama itu, ia menyembelih ternak dan menjual dagingnya, dan setiap hari ia makan nasi dengan kari daging. Suatu hari, ia memberikan sedikit daging kepada istrinya agar dimasak untuk keluarga mereka, kemudian ia pergi mandi ke tepi sungai.
Saat penjagal itu pergi, seorang teman membujuk istrinya untuk menjual sekerat daging tadi kepadanya. Akibatnya tidak ada kari daging untuk si penjagal pada hari itu. Karena ia tidak pernah makan tanpa kari daging, maka si penjagal bergegas pergi ke belakang rumah, di mana terdapat seekor sapi jantan. Ia memotong lidah sapi jantan tersebut dan memanggangnya di atas api. Ketika makan, si penjagal menggigit lidah sapi jantan tersebut, tetapi bersamaan dengan itu lidahnya sendiri tergigit putus dan jatuh ke atas piring nasi. Jadi sapi jantan dan si penjagal mengalami penderitaan yang sama, sama-sama terpotong lidahnya.
Si penjagal mengalami kesakitan dan penderitaan yang teramat sangat, dan ia merangkak ke sana kemari, dengan banyak darah bercucuran dari mulutnya. Kemudian penjagal tersebut meninggal dan terlahir kembali di alam neraka Avici (Niraya Avici).
Istri si penjagal merasa sangat gelisah dan ia menginginkan putranya pindah ke tempat tinggal yang lain, agar kemalangan tidak menimpa dirinya pula. Maka ia mengirimkan putranya ke Taxila. Di Taxila, putra si penjagal mempelajari seni dari seorang pandai emas. Kemudian, ia menikahi putri gurunya dan mempunyai beberapa orang anak. Ketika anak-anak mereka dewasa, ia kembali ke Savatthi. Anak-anaknya menganut ajaran Buddha dan telah meningkat keyakinannya. Mereka mengkhawatikan ayah mereka, yang telah menjadi tua tanpa pernah memikirkan Dhamma maupun kehidupan yang akan datang.
Maka pada suatu hari, mereka mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu ke rumah mereka untuk menerima dana makanan. Setelah bersantap, mereka berkata kepada Sang Buddha, “Bhante, kami melakukan persembahan kepada-Mu hari ini atas nama ayah kami. Berikanlah khotbah secara khusus padanya.”
Sang Buddha berkata, “Murid-Ku! Engkau telah menjadi tua, tapi engkau belum membuat persiapan kebajikan untuk perjalananmu pada kelahiran berikutnya, sekarang engkau sebaiknya mencari penolong bagi dirimu sendiri.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 235, 236, 237, dan 238 berikut ini:
Sekarang ini engkau bagaikan daun mongering layu. Para utusan raja kematian (Yama) telah menantimu. Engkau telah berdiri di ambang pintu keberangkatan, namun tidak kau miliki bekal untuk perjalanan nanti.
Buatlah pula bagi dirimu sendiri. Berusahalah sekarang juga dan jadikan dirimu bijaksana. Setelah membersihkan noda-noda dan bebas dari nafsu keinginan, maka engkau akan mencapai alam kedamaian para Ariya.
Sekarang kehidupanmu telah mendekati akhir, dan engkau telah mulai berjalan ke hadapan raja kematian (Yama). Tidak ada tempat berhenti bagimu di perjalanan, sedangkan engkau belum memiliki bekal untuk perjalananmu.
Buatlah pulau bagi dirimu sendiri. Berusahalah sekarang juga dan jadikan dirimu bijaksana. Setelah membersihkan noda-noda dan bebas dari nafsu keinginan, maka kelahiran dan kematian tidak akan datang lagi padamu.
Ayah pemberi dana makanan (yaitu putra si penjagal) mencapai tingkat kesucian Anagami setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Amitayur Dhyana Sutra

Download dalam bentuk pdf Amitayur Dhyana Sutra Sutra Perenungan terhadap Buddha Amitayus Latar Belakang Pada suatu saat Sang Buddha berdiam di Vihara yang terletak di Gunung Grdhrakuta (puncak burung nasar), dekat Kota Rajagrha di Negeri Magadaha. Beliau bersama-sama dengan 1250 Bhiksu Agung dan 32000 Bodhisattva Mahasattva yang dipimpin oleh ketuanya yaitu Pangeran Dharma Manjusri. Pada saat itu, di Kota Rajagrha terdapat seorang pangeran bernama Ajatasatruyang telah dihasut oleh kawannya yang jahat, Devadatta dan juga kawan lainnya untuk mengurung ayahnya, Raja Bimbisara di dalam suatu gedung yang tertutup dengan 7 lapis tembok permanen, dan dijaga sangat ketat dan tidak mengijinkan para menteri dan orang lain datang menengok kepala Negara itu, bahkan ia melarang memberi makan kepada ayahnya yang malang itu. Peristiwa itu sangat menyedihkan   para keluarga Raja Bimbisara di dalam istana, terutama Ratu Vaidehi, ia sangat rindu kepada sang Raja! Pada suatu hari ia m

Sutra Ksitigarbha Bodhisattva Purva Pranidhana

Download dalam bentuk pdf Bab 1 – Istana Trayastrimsa Demikian yang kudengar: Pada suatu waktu, Sang Buddha berada di Surga Trayastrimsa untuk memberi khotbah Dharma kepada ibu-Nya. Sang Buddha ingin agar ibu-Nya dapat terbebas dari Triloka dan dilahirkan di alam Buddha. Beliau memasuki samadhi dan pada saat itu Vinnyana-Nya (kesadaran-Nya) menjadi Badan Dharmakaya pergi ke Surga Trayastrimsa. Sewaktu Sang Buddha akan memberi khotbah Dharma kepada ibu-Nya di istana surga Trayastrimsa, datanglah para Buddha beserta para Bodhisatva-Mahasattva dari 10 penjuru jagad yang jumlahnya sulit diperkirakan! Mereka berkumpul di pesamuhan agung di istana Surga Trayastrimsa dan dengan perasaan amat gembira serta dengan khidmat mereka menyanjung dan memuji jasa-jasa dan kebajikan dari Buddha Sakyamuni. Mereka juga mengagumi Buddha Sakyamuni yang bertekad berada di Jambudvipa (alam manusia) atau alam Sahaloka yang memiliki Panca-Kasayah (5 macam kekeruhan) tapi Beliau dapat menampilkan

Sutra Amitayus

Download dalam bentuk pdf Bab 1 (Pendahuluan) Demikianlah yang telah kudengar. Pada suatu saat, Sang Buddha berada di gunung Grdhrakuta, dekat kota Rajagaha bersama-sama dengan 12 ribu maha biksu yang telah memiliki 6 Kekuatan Batin (sad abhija), seperti Ajnatakaundinya, Asvajit, Vaspa, Mahanama, Bhadrajit, Yasodeva, Vimala, Subahu, Purna Maitrayaniputra, Uruvilva Kasyapa, Nadi Kasyapa, Gaya Kasyapa, Kumara Kasyapa, Maha Kasyapa, Sariputra, Maha Maudgalyayana, Malikarsthilya, Maha Kapphina, Maha Cunda, Aniruddha, Nandika, Kampila, Subhuti, Revata, Khadiravanika, Vakula, Svagata, Amogharaja, Parayanika, Patka, Cullapatka, Nanda, Rahula, Ananda, dan lainnya yang berstatus sesepuh (Sthavira). Hadir juga rombongan Bodhisattva Mahasattva yang telah menguasai ajaran Mahayana, antara lain Samanta Bharda Bodhisattva, Manjusri Bodhisattva, Maitreya Bodhisattva. Hadir juga Bodhisattva yang bergelar 16 Tokoh Suci (Sodasa Satpurura). Mereka adalah Bradhapala, Ratnakara, Susarthav