Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2019

Dhammapada Bab IX (IX:5. Kisah Bhikkhu Yang Ceroboh)

Ada seorang bhikkhu, setelah menggunakan barang-barang perabotan, seperti tempat tidur, kursi panjang, dan peralatan milik vihara, meninggalkannya begitu saja barang-barang itu dengan tidak mengembalikannya ke tempat semula. Membiarkannya terkena hujan dan matahari, dan menjadi sarang semut-semut puith. Ketika bhikkhu-bhikkhu lain menegurnya karena kebiasaannya yang tidak bertanggung jawab, dia akan menjawab dengan cepat dan tajam: “Saya tidak mempunyai maksud untuk menghancurkan barng-barang tersebut, lagipula barang-barang itu hanya akan mengalami kerusakan kecil,” dan lain-lain. Selanjutnya dia meneruskan kebiasaan yang sama. Ketika Sang Buddha datang dan mengetahui hal tersebut, Beliau berkata kepada bhikkhu tersebut: “Kamu seharusnya tidak meremehkan perbuatan buruk, walau sekecil apapun, karena itu akan menjadi besar jika kamu melakukannya sebagai kebiasaan.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 121 berikut: Jangan meremehkan kejahatan walaupun kecil, dengan berkata

Dhammapada Bab IX (IX:4. Kisah Anathapindika)

Anathapindika adalah pendana Vihara Jetavana yang didirikan dengan biaya lima puluh empat crores. Ia tidak hanya dermawan tetapi juga benar-benar berbakti kepada Sang Buddha. Dia pergi ke Vihara Jetavana dan memberikan penghormatan kepada Sang Buddha tiga kali sehari. Pada pagi hari dia membawa bubur nasi, siang hari dia membawa beberapa macam makanan yang pantas atau obat-obatan, dan pada malam hari dia membawa bunga dan dupa. Setelah beberapa lama Anathapindika menjadi miskin, tetapi sebagai orang yang telah mencapai tingkat kesucian Sotapanna, batinnya tidak terguncang dengan kemiskinannya, dan dia terus melakukan perbuatan rutinnya setiap hari yaitu berdana. Suatu malam, satu makhluk halus penjaga pintu rumah Anathapindika menampakkan diri dalam wujud manusia menemui Anathapindika, dan berkata, “Saya adalah penjaga pintu rumahmu, kamu telah memberikan kekayaanmu kepada Samana Gotama tanpa memikirkan masa depanmu. Hal itulah yang menyebabkan kamu miskin sekarang. Oleh karena

Dhammapada Bab IX (IX:3. Kisah Lajadevadhita)

Suatu ketika Mahakassapa Thera sedang berdiam di gua Pippali dan berada dalam suasana batin khusuk bermeditasi mencapai konsentrasi tercerap (samapatti) selama tujuh hari. Segera setelah beliau bangun dari samapatti, beliau berkeinginan memberi kesempatan pada seseorang untuk mendanakan sesuatu kepada orang yang baru bangkit dari samapatti. Beliau melihat keluar dan menemukan seorang pelayan muda sedang menabur jagung di halaman rumah. Maka thera berdiri di depan pintu rumahnya untuk menerima dana makanan. Wanita itu meletakkan seluruh jagungnya ke mangkuk thera. Ketika wanita itu pulang setelah mendanakan jagung kepada thera, dia dipatuk oleh seekor ular berbisa dan meninggal dunia. Dia terlahir kembali di alam surga Tavatimsa dan dikenal sebagai Lajadevadhita. “Laja” berarti jagung. Laja menyadari bahwa dia terlahir kembali di alam surga Tavatimsa karena dia telah berdana jagung kepada Mahakassapa Thera maka ia sangat menghormati Mahakassapa Thera. Kemudian Laja memutuskan, dia

Dhammapada Bab IX (IX:2. Kisah Seyyasaka Thera)

Ketika itu ada seorang Thera yang bernama Seyyasaka yang mempunyai kebiasaan masturbasi. Ketika mendengar hal tersebut, Sang Buddha menegurnya, karena melakukan sesuatu yang mengakibatkan seseorang jauh dari memperoleh Magga dan Phala. Pada saat itu juga, Sang Buddha menetapkan peraturan larangan menikmati kesenangan seksual bagi para bhikkhu, peraturan Sanghadisesa. Pelanggaran (apatti) peraturan itu menyebabkan hukuman dan diskors oleh Sangha. Kemudian Sang Buddha menambahkan, “Jenis pelanggaran ini dapat mengakibatkan hasil perbuatan jahat di dunia ini maupun di masa mendatang.” Kemudian Saang Buddha membabarkan syair 117 berikut: Apabial seseorang berbuat jahat, hendaklah ia tidak mengulangi perbuatannya itu, dan jangan merasa senang dengan perbuatan itu; sungguh menyakitkan akibat dari memupuk perbuatan jahat.

Dhammapada Bab IX (IX:1. Kisah Culekasataka)

Di Savatthi berdiam sepasang suami isteri brahmana. Mereka hanya mempunyai sebuah pakaian luar yang digunakan oleh mereka berdua. Karena itu mereka dikenal dengan nama Ekasataka. Karena mereka hanya mempunyai sebuah pakaian luar, mereka tidak dapt keluar berdua pada saat bersamaan. Jadi, bila si istri pergi mendengarkan khotbah Sang Buddha pada siang hari maka si suami pergi pada malam hari. Pada suatu malam, ketika brahmana mendengarkan khotbah Sang Buddha, seluruh badannya diliputi kegirangan yang sangat menyenangkan dan timbul keinginan yang kuat untuk memberikan pakaian luar yang dikenakannya kepada Sang Buddha. Tetapi dia menyadari jika dia memberikan pakaian luar yang satu-satunya dia miliki berarti tidak ada lagi pakaian luar yang tertinggal buat dia dan istrinya. Dia ragu-ragu dan bimbang. Malam jaga pertama dan malam jaga kedua pun berlalu, pada malam jaga ketiga brahmana berkata pada dirinya sendiri, “Jika saya bimbang dan ragu-ragu, saya tidak akan dapat menghindar ter

Dhammapada Bab VIII (VIII:14. Kisah Bahuputtika Theri)

Suatu saat di Savatthi, tinggallah pasangan suami istri yang memiliki tujuh anak laki-laki dan tujuh anak perempuan. Semua anaknya telah menikah dan keluarga anak-anaknya hidup dengan tidak kekurangan. Kemudian sang ayah meninggal dunia dan sang ibu mendapatkan semua kekayaan tanpa membagi sedikitpun kepada anak-anaknya. Anak laki-laki dan anak perempuannya menginginkan memiliki warisan, sehingga mereka berkata kepada ibunya, “Manfaat apa yang kami dapatkan dari kekayaan kami? Tidakkah kita dapat membuatnya berlipat ganda? Tidak dapatkah kita mengurus ibu kita?” Mereka mengatakan hal itu berkali-kali kepada ibu mereka, dan si ibu berpikir bahwa anaknya akan mengurus kehidupan si ibu. Akhirnya ia membagi kekayaan tersebut tanpa menyisakan sedikitpun untuk dirinya. Setelah pembagian kekayaan, ia pertama kali tinggal bersama anak laki-laki tertua, tetapi mantunya menuntut dan berkata, “Ia telah datang dan tinggal bersama kita, jika ia memberi kita dua bagian dari kekayaan!” dan juga ha

Dhammapada Bab VIII (VIII:13. Kisah Kisagotami Theri)

Kisagotami adalah putri seorang kaya dari Savatthi, ia dikenal sebagai Kisagotami karena ia mempunyai tubuh yang langsing. Kisagotami menikah dengan seorang pemuda kaya dan memiliki seorang anak laki-laki. Anak tersebut meninggal dunia ketika ia baru saja belajar berjalan dan Kisagotami merasa sangat sedih. Dengan membawa mayat anaknya ia pergi untuk mencari obat yang dapat menghidupkan kembali anaknya dari setiap orang yang ditemui. Orang-orang mulai berpikir bahwa ia telah menjadi gila. Tetapi seorang bijaksana, yang melihat kondisinya, berpikir bahwa ia harus memberikan pertolongan dan berkata kepadanya, “Sang Buddha adalah seorang yang harus kamu datangi. Ia memiliki obat yang kamu butuhkan, pergilah kepadaNya!” Kisagotami kemudian pergi menemui Sang Buddha dan bertanya, obat apakah yang dapat menghidupkan kembali anaknya. Sang Buddha berkata kepadanya untuk mencari segenggam biji lada dari rumah keluarga yang belum pernah terdapat kematian. Dengan membawa anaknya yang telah

Dhammapada Bab VIII (VIII:12. Kisah Patacara Theri)

Patacara merupakan putri seorang kaya dari Savatthi. Ia sangat cantik dan dijaga dengan sangat ketat oleh orang tuanya. Tetapi, suatu hari ia meninggalkan rumahnya dengan kekasih pilihannya, seorang pelayan laki-laki dari keluarganya. Mereka pergi menetap di sebuah desa, kini ia sebagai istri orang miskin. Tidak berselang lama ia hamil dan pada saat persalinan sudah dekat, ia meminta izin kepada suaminya untuk kembali ke tempat orang tuanya di Savatthi. Tetapi suaminya melarang. Pada suatu hari, ketika suaminya pergi, ia pergi ke rumah orang tuanya. Suaminya mengikutinya, menangkapnya di perjalanan, dan memohon kepadanya untuk pulang bersama, tetapi ia menolak. Hal itu terjadi pada saat usia kelahiran sudah dekat. Akhirnya ia melahirkan anak laki-laki di semak-semak. Setelah melahirkan anaknya ia kembali ke rumah bersama suaminya. Sekali lagi hal di atas terjadi, ia hamil lagi, dan pada saat persalinan anaknya sudah dekat, ia pergi ke rumah orang tuanya di Savatthi. Suaminya mengik

Dhammapada Bab VIII (VIII:11. Kisah Sappadasa Thera)

Suatu ketika seorang bhikkhu tidak merasa bahagia dengan kehidupan sebagai bhikkhu. Pada saat itu juga ia merasa tidak tepat dan memalukan untuk kembali hidup sebagai perumah tangga. Kemudian ia berpikir akan lebih baik jika ia meninggal dunia. Pada suatu kesempatan, ia memasukkan tangannya ke dalam pot di mana terdapat ular di dalamnya, tetapi ular itu tidak menggigit. Hal ini disebabkan pada kehidupan lalu ular tersebut sebagai budak dan sang bhikkhu sebagai tuannya. Karena kejadian ini bhikkhu tersebut dikenal dengan nama Sappadasa Thera. Pada kesempatan lain, Sappadasa Thera mengambil pisau cukur untuk memotong tenggorokannya. Sebelum melakukan perbuatan itu, ia merenungkan kesucian dari praktek moralnya (sila) sepanjang hidup sebagai bhikkhu, dan seluruh tubuhnya diliputi kegiuran (piti) dan kebahagiaan (sukha) . Kemudian ia melepaskan dirinya dari piti dan mengarahkan pikirannya untuk mengembangkan pengetahuan pandangan terang dan tak lama kemudian Sappadasa mencapai tingkat

Dhammapada Bab VIII (VIII:10. Kisah Khanu-Kondanna)

Setelah menerima pelajaran obyek meditasi dari Sang Buddha, Kondanna pergi ke hutan untuk mempraktekkan meditasi dan di sana Kondanna mencapai tingkat kesucian arahat. Dalam perjalanan pulang untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha, Kondanna sangat lelah dan berhenti di perjalanan. Kondanna duduk di atas lempengan batu besar dan mengkonsentrasikan pikiran dalam jhana. Pada saat itu lima ratus orang perampok setelah merampok sebuah desa besar datang ke tempat Kondanna berada. Mereka mengira bhikkhu itu bagaikan tunggul pohon sehingga mereka menaruh tumpukan barang rampokan di sekitar tubuh beliau. Ketika hari mulai siang mereka menyadari bahwa apa yang mereka kira sebagai tunggul pohon pada kenyatannya adalah makhluk hidup. Kemudian mereka berpikir bahwa makhluk itu merupakan raksasa sehingga mereka lari dengan ketakutan. Kondanna menyatakan kepada mereka bahwa ia hanya seorang bhikkhu, bukan raksasa, dan berkata kepada mereka agar jangan takut. Perampok-perampok tersebut terp

Dhammapada Bab VIII (VIII:9. Kisah Samanera Samkicca)

Pada suatu ketika, tiga puluh bhikkhu setelah menerima pelajaran obyek meditasi yang diberikan Sang Buddha, pergi menuju sebuah desa besar, yang jauhnya 120 yojana dari Savatthi. Pada waktu itu, lima ratus orang perampok tinggal di tengah-tengah hutan dan mereka berkeinginan untuk membuat persembahan dari daging dan darah manusia untuk makhluk halus penjaga hutan. Kemudian mereka datang ke vihara desa dan meminta salah seorang bhikkhu diserahkan kepada mereka untuk dikorbankan kepada makhluk halus penjaga hutan. Semua bhikkhu, dari yang tertua sampai yang termuda, bersedia secara sukarela untuk pergi. Di antara para bhikkhu tersebut, terdapat juga seorang samanera muda yang bernama Samkicca. Samanera itu disuruh menyertai perjalanan mereka oleh Sariputta Thera. Samanera ini baru berumur tujuh tahun, tetapi telah mencapai tingkat kesucian arahat. Samkicca berkata bahwa Sariputta Thera, gurunya, mengetahui bahaya yang akan menghadang mereka, dengan sengaja menyuruhnya untuk menyertai p

Dhammapada Bab VIII (VIII:8. Kisah Ayuvaddhanakumara)

Suatu waktu terdapat dua orang pertapa yang tinggal bersama, mempraktekkan pertapaan yang keras (tapacaranam) selama bertahun-tahun lamanya. Kemudian, satu di antara dua pertapa itu meninggalkan kehidupan bertapa dan menikah. Setelah seorang anak laki-lakinya lahir, keluarga tersebut mengunjungi pertapa tua temannya dan memberi hormat kepadanya. Kepada kedua orang tua anak itu sang pertapa berkata, “Semoga kalian panjang umur,” tetapi dia tidak berkata apa-apa kepada si anak. Kedua orang tua tersebut bingung dan menanyakan kepada pertapa, apakah alasannya ia tidak berkata apa-apa kepada anak itu. Sang pertapa berkata kepada mereka bahwa anak tersebut hanya akan hidup tujuh hari lagi dan ia tidak tahu bagaimana untuk mencegah kematiannya, tetapi Buddha Gotama mungkin tahu bagaimana cara mencegahnya. Kemudian orang tua tersebut membawa anaknya menghadap Sang Buddha; ketika mereka memberi hormat kepada Sang Buddha, Beliau juga berkata, “Semoga kalian panjang umur,” hanya kepada kedu

Dhammapada Bab VIII (VIII:7. Kisah Teman Sariputta Thera)

Pada kesempatan lain lagi, Sariputta Thera bertanya kepada temannya, seorang brahmana, apakah ia telah melakukan perbuatan-perbuatan baik. Temannya menjawab bahwa ia telah melakukan persembahan pengorbanan dalam skala besar. Ia berharap untuk dapat terlahir kembali di alam brahma dalam kehidupannya yang akan datang. Sariputta Thera menjelaskan kepadanya bahwa gurunya telah memberikan harapan yang salah dan mereka sendiri pun tidak mengetahui jalan menuju alam brahma. Kemudian Sariputta Thera membawa temannya menghadap Sang Buddha, yang menunjukkannya jalan menuju ke alam brahma. Kepada teman Sariputta Thera, Sang Buddha berkata, “Brahmana, memberikan penghormatan kepada orang suci (ariya) untuk sesaat saja akan lebih baik daripada melakukan persembahan pengorbanan besar dan kecil sepanjang tahun.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 108 berikut: Dalam dunia ini, pengorbanan dan persembahan apapun yang dilakukan oleh seseorang selama seratus tahun untuk memperoleh pahala

Dhammapada Bab VIII (VIII:6. Kisah Keponakan Sariputta Thera)

Pada lain kesempatan, Sariputta Thera bertanya kepada keponakannya, seorang brahmana, apakah ia telah melakukan perbuatan-perbuatan baik. Keponakannya menjawab bahwa ia telah mengorbankan seekor kambing ke dalam api pemujaan setipa bulan, dan ia berharap untuk dapat terlahir kembali di alam brahma pada kehidupannya yang akan datang. Sariputta Thera menjelaskan kepadanya bahwa gurunya telah memberikan harapan yang salah dan mereka sendiri pun tidak mengetahui jalan menuju alam brahma. Kemudian Sariputta Thera membawa keponakannya seorang brahmana muda menghadap Sang Buddha. Di sana, Sang Buddha mengajarkan Dhamma yang dapat menuntun seseorang menuju ke alam brahma dan berkata kepada sang brahmana, “Brahmana muda, memberikan penghormatan kepada orang suci untuk sesaat saja akan jauh lebih baik daripada memberikan pengorbanan untuk api pemujaan selama seratus tahun.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 107 berikut: Biarpun selama seratus tahun seseorang menyalakan api pemujaa

Dhammapada Bab VIII (VIII:5. Kisah Paman Sariputta Thera)

Suatu ketika, Sariputta Thera bertanya kepada pamannya seorang brahmana apakah ia telah melakukan perbuatan-perbuatan baik. Sang brahmana menjawab bahwa ia telah membuat persembahan senilai seribu kahapana setiap bulan untuk pertapa-pertapa Nigantha, dan berharap untuk dapat terlahir kembali di alam brahma dalam kehidupannya yang akan datang. Sariputta Thera menjelaskan kepadanya bahwa gurunya telah memberikan harapan yang salah dan mereka sendiri pun tidak mengetahui jalan menuju alam brahma. Kemudian Sariputta Thera membawa pamannya menghadap Sang Buddha, dan memohon kepada Sang Buddha untukmenjelaskan Dhamma, yang dengan pasti akan membawa seseorang ke alam brahma. Sang Buddha berkata, “Brahmana, persembahan sesendok dana makanan kepada seorang suci akan lebih baik daripada persembahan seribu kahapana kepada orang yang tidak suci.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 106 berikut: Biarpun bulan demi bulan seseorang mempersembahkan seribu korban selama seratus tahun, na

Dhammapada Bab VIII (VIII:4. Kisah Brahmana Anatthapucchaka)

  Suatu ketika, seorang brahmana bernama Anatthapucchaka mengunjungi Sang Buddha dan berkata, “Bhante, saya berpikir bahwa Anda hanya mengetahui praktek-praktek yang bermanfaat dan tidak mengetahui praktek-praktek yang tidak bermanfaat.” Sang Buddha menjawab bahwa Beliau juga mengetahui praktek-praktek yang tidak bermanfaat dan merugikan. Kemudian Sang Buddha menyebutkan satu per satu enam praktek yang dapat memboroskan kekayaan, sebagai berikut: 1.        Tidur sampai matahari terbit, 2.        Kebiasaan bermalas-malasan, 3.        Bertindak kejam, 4.        Gemar minum-minuman keras yang menyebabkan mabuk dan lemahnya kesadaran, 5.        Berkeliaran sendiri di jalan pada waktu yang tidak tepat, dan 6.        Perilaku seks yang salah. Setelah itu Sang Buddha bertanya kepada brahmana tersebut bagaimana ia menghidupi dirinya. Brahmana itu menjawab bahwa ia menghidupi dirinya dengan berjudi, sebagai contoh: bermain dadu. Selanjutnya Sang Buddha bertanya kepadanya a

Dhammapada Bab VIII (VIII:3. Kisah Kundalakesi Theri)

Kundalakesi adalah putri orang kaya dari Rajagaha. Ia senang dengan kehidupan menyendiri. Suatu hari ia kebetulan melihat seorang pencuri yang sedang digiring untuk dibunuh dan ia secara tiba-tiba jatuh cinta padanya. Hal itu disampaikan kepada orang tuanya. Tentu saja orang tuanya menolak. Tetapi Kundalakesi tak mau mundur setapak pun. Akhirnya orang tuanya mengalah dan membayar sejumlah uang untuk kebebasan pencuri tersebut. Mereka berdua segera dinikahkan. Meskipun Kundalakesi mencintai suaminya dengan sangat, suaminya tetaplah seorang pencuri, yang hanya tertarik kepada harta dan permatanya. Suatu hari, suaminya membujuk untuk mengambil semua permatanya, dan menuntun Kundalakesi pergi ke sebuah gunung. Katanya, “Adinda, aku ingin melakukan persembahan kepada makhluk halus penjaga gunung yang telah menolong hidupku ketika akan dibunuh.” Kundalakesi menurut dan pergi mengikuti suaminya. Ketika mereka sampai di tujuan, suaminya berkata, “Sekarang kita berdua telah sampai di tu

Dhammapada Bab VIII (VIII:2. Kisah Bahiyadaruciriya)

Sekumpulan pedagang pergi melaut dengan sebuah kapal. Badai mengganas dan kapal mereka hancur di tengah laut. Dari semua penumpang hanya satu orang yang hidup. Orang yang selamat dengan memeluk sebuah potongan kayu itu terdampar di pelabuhan Supparaka. Karena pakaiannya hilang, ia mengikatkan sepotong kulit kayu di tubuhnya. Dengan memegang sebuah mangkok, ia duduk di tempat di mana orang-orang dapat melihatnya. Orang-orang yang lewat memberinya nasi dan bubur. Beberapa orang menganggapnya seorang arahat dan memujanya. Beberapa orang lain membawakannya pakaian tetapi ia menolaknya. Ia takut dengan memakai pakaian akan menyebabkan orang-orang hanya memberi sedikit. Di samping itu, beberapa orang telah mengatakan bahwa ia seorang arahat. Maka dengan pikiran salah, ia menganggap dirinya seorang arahat. Oleh karena ia adalah seorang yang berpandangan salah dan menggunakan sepotong kulit kayu sebagai pakaiannya, maka ia dikenal dengan nama Bahiyadaruciriya. Suatu ketika, Mahabrahm

Dhammapada Bab VIII (VIII:1. Kisah Tambadathika)

Tambadathika mengabdi kepada raja sebagai penjagal para pencuri selama lima puluh lima tahun, dan ia baru saja pensiun dari pekerjaannya. Suatu hari, setelah mempersiapkan bubur nasi di rumahnya, ia pergi ke sungai untuk mandi. Ia mempersiapkan bubur nasi itu untuk dimakannya setelah kembali dari sungai. Pada waktu Tambadathika mengambil bubur nasi, Sariputta Thera yang baru saja bangun dari meditasi Jhana Samapatti, berada di muka pintu rumahnya. Pada saat melihat Sariputta Thera, Tambadathika berpikir, “Meskipun dalam hidupku saya telah menghukum mati para pencuri, sekarang saya seharusnya mempersembahkan makanan ini kepada bhikkhu itu.” Kemudian ia mengundang Sariputta Thera untuk datang ke rumahnya dan dengan hormat mempersembahkan bubur nasi tersebut. Setelah bersantap Sariputta Thera mengajarkan Dhamma kepadanya, tapi Tambadathika tidak dapat memperhatikan, sebab ia begitu gelisah mengingat masa lalunya sebagai seorang penjagal. Ketika Sariputta Thera mengetahui hal ini, ia

Dhammapada Bab VII (VII:10. Kisah Seorang Wanita)

Seorang bhikkhu setelah menerima sebuah obyek meditasi dari Sang Buddha, mempraktekkan meditasi di sebuah taman tua. Seorang wanita yang tidak dikenal datang ke taman dan melihat bhikkhu itu. Ia mencoba untuk menarik perhatiannya dan merayunya. Sang bhikkhu menjadi terkejut. Pada saat yang sama; seluruh tubuhnya diliputi berbagai macam perasaan kepuasan yang menyenangkan. Sang Buddha melihatnya dari vihara Beliau, dan dengan kemampuan batin luar biasa, Beliau mengirim seberkas sinar kepadanya dan bhikkhu tersebut menerima pesan yang berbunyi: “Anak-Ku, tempat di mana orang mencari kesenangan duniawi adalah bukan tempat untuk seorang bhikkhu. Para bhikkhu seharusnya senang tinggal di hutan di mana orang-orang duniawi tidak menemukan kesenangan.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 99 berikut: Hutan bukan tempat yang menyenangkan bagi orang duniawi, namun di sanalah orang-orang yang telah bebas dari nafsu bergembira, karena mereka tidak lagi mencari kesenangan indria.

Dhammapada Bab VII (VII:9. Kisah Samanera Revata)

Revata adalah saudara laki-laki termuda dari murid utama Sariputta. Ia satu-satunya saudara Sariputta yang tidak meninggalkan rumah tangga untuk menempuh kehidupan tanpa rumah. Ayahnya sangat menginginkan agar ia menikah. Revata baru berumur tujuh tahun ketika ayahnya mempersiapkan sebuah pernikahan baginya dengan seorang gadis kecil. Pada jamuan pernikahan, ia bertemu dengan wanita tua yang berumur 120 tahun. Melihat wanita tua itu, Revata kecil merenung. Ia menyadari bahwa segala sesuatu merupakan subyek dari ketuaan dan kelapukan, sehingga ia berlari meninggalkan rumah dan pergi ke vihara. Di sana terdapat tiga puluh bhikkhu. Sebelumnya, bhikkhu-bhikkhu itu telah memohon kepada Sariputta Thera agar menjadikan saudara beliau menjadi seorang samanera, jika ia datang kepada mereka. Kemudian Revata menjadi seorang samanera dan Sariputta Thera diberitahu hal itu oleh para bhikkhu. Samanera Revata menerima sebuah obyek meditasi dari para bhikkhu dan pergi ke hutan akasia, tiga pul

Dhammapada Bab VII (VII:8. Kisah Sariputta Thera)

Tiga puluh bhikkhu dari sebuah desa datang ke Vihara Jetavana untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Sang Buddha mengetahui bahwa telah tiba waktunya bagi bhikkhu-bhikkhu tersebut untuk mencapai tingkat kesucian arahat. Beliau mengundang Sariputta dan di hadapan bhikkhu-bhikkhu itu, Beliau bertanya, “Anakku, Sariputta, apakah kamu dapat menerima kenyataan bahwa dengan cara bermeditasi, seseorang dapat merealisasi nibbana?” Sariputta menjawab, “Bhante, berkaitan dengan perealisasian nibbana dengan meditasi, saya menerima hal itu bukan karena saya percaya kepada-Mu. Pertanyaan itu hanya bagi seseorang yang belum berhasil merealisasi nibbana, yang menerima kenyataan dari orang lain.” Jawaban Sariputta tidak dapat dimengerti secara tepat oleh para bhikkhu. Mereka berpikir, “Sariputta belum melenyapkan pandangan salah, sampai saat ini, ia belum memiliki keyakinan terhadap Sang Buddha.” Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepada mereka makna sebenarnya dari jawaban Sariputt

Dhammapada Bab VII (VII:7. Kisah Seorang Samanera Dari Kosambi)

Suatu ketika, seorang anak berumur tujuh tahun menjadi samanera atas permintaan ayahnya. Sebelum rambut kepalanya dicukur, anak itu diberi sebuah obyek meditasi. Ketika rambut kepala anak itu sedang dicukur, ia memusatkan pikirannya dengan teguh pada obyek meditasi. Sebagai hasil dari meditasinya, dan juga berkat kamma baiknya di waktu lampau; akhirnya ia mencapai tingkat kesucian arahat secepat orang selesai mencukur rambut kepalanya. Beberapa waktu kemudian, Tissa Thera, disertai samanera muda tersebut, pergi ke Savatthi untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Di tengah perjalanan mereka bermalam di sebuah vihara desa. Tissa Thera tidur, tetapi samanera muda duduk sepanjang malam di samping kasur Tissa Thera. Pada waktu fajar menyingsing, Tissa Thera berpikir bahwa sudah saatnya membangunkan samanera muda. Ia membangunkan samanera dengan kipas daun palemnya, tetapi secara tidak sengaja mata samanera terpukul oleh tangkai kipas dan matanya rusak. Samanera menutup matan

Dhammapada Bab VII (VII:6. Kisah Sariputta Thera)

Pada suatu akhir masa vassa; Sariputta Thera berangkat untuk suatu perjalanan bersama dengan beberapa pengikutnya. Seorang bhikkhu muda pengikutnya, yang memiliki dendam terhadap Sariputta Thera, mendekat kepada Sang Buddha dan memfitnah dengan mengatakan bahwa Sariputta Thera telah mencaci dan memukulnya. Sang Buddha memanggil Sariputta Thera dan menanyakan apakah hal itu benar? Sariputta menjawab, “Bhante, bagaimana mungkin seorang bhikkhu, yang dengan tenang menjaga pikirannya, berangkat dalam suatu perjalanan tanpa kesalahan, telah melakukan kejahatan terhadap bhikkhu pengikutnya? Saya seperti tanah yang tidak merasa senang ketika bunga-bunga tumbuh, dan tidak juga merasa marah ketika sampah dan kotoran teronggok di atasnya. Saya juga seperti keset, pengemis, kerbau jantan dengan tanduk yang patah; saya juga merasa jijik dengan kekotoran tubuh dan tidak lagi terikat dengan itu.” Ketika Sariputta Thera berbicara, bhikkhu muda itu merasa sangat tertekan dan menderita. Akhirny

Dhammapada Bab VII (VII:5. Kisah Mahakaccayana Thera)

Pada saat bulan pernama, yang juga merupakan akhir masa vassa, Sakka bersama sejumlah besar dewa datang untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha, yang pada saat itu tinggal di Pubbarama, sebuah vihara yang dibangun oleh Visakha. Waktu itu Sang Buddha disertai oleh murid-murid utama dan semua bhikkhu-bhikkhu senior. Mahakaccayana Thera yang bervassa di Avanti, belum tiba dan tempat duduk untuk beliau masih kosong. Sakka memberi hormat kepada Sang Buddha dengan bunga, dupa, dan wangi-wangian. Pada saat Sakka melihat tempat duduk yang masih kosong, ia mengumumkan agar Mahakaccayana Thera dapat datang segera sehingga ia dapat menyembah kepadanya. Seketika Mahakaccayana Thera datang; Sakka sangat senang dan dengan tidak sabar mempersembahkan bunga, dupa, dan wangi-wangian. Para bhikkhu terpesona oleh Sakka yang menunjukkan kesetiaannya kepada Mahakaccayana, tetapi beberapa bhikkhu berpikir bahwa Sakka hanya menyukai Mahakaccayana. Kepada mereka Sang Buddha berkata, “Seseoran

Dhammapada Bab VII (VII:4. Kisah Anuruddha Thera)

Suatu hari Anuruddha Thera mencari beberapa kain bekas di dalam timbunan sampah untuk dibuat jubah, sebab jubah lamanya telah kotor dan koyak. Jalini, istrinya pada kehidupan yang lampau, dan sekarang berada di alam dewa melihatnya. Mengetahui bahwa Sang Thera sedang mencari beberapa kain bekas, ia mengambil tiga lembar kain dari alam dewa dan menaruhnya ke dalam timbunan sampah, serta membuatnya terlihat. Anuruddha Thera menemukan kain tersebut dan membawanya ke vihara. Ketika beliau sedang membuat jubah, Sang Buddha datang beserta murid-murid utama dan beberapa murid senior Beliau. Mereka menolong menjahit jubah. Ketika itu, Jalini, dalam wujud gadis muda datang ke desa dan memberitahukan kedatangan Sang Buddha beserta murid Beliau dan juga bagaimana mereka menolong Anuruddha Thera. Ia menganjurkan penduduk desa untuk mengirimkan makanan yang lezat ke vihara dan sebagai akibatnya terjadi kelebihan makanan. Bhikkhu yang lain melihat terlalu banyak makanan tersisa, mencela Anurud

Dhammapada Bab VII (VII:3. Kisah Belatthasisa Thera)

Belatthasisa Thera, setelah pergi berpindapatta di suatu desa, berhenti di tepi jalan dan memakan makanannya. Setelah makan, ia meneruskan berpindapatta untuk memperoleh dana makanan lagi. Ketika telah merasa cukup ia kembali ke vihara, mengeringkan nasi dan menyimpannya. Jadi ia tidak perlu berpindapatta setiap hari, sehingga ia dapat bermeditasi Jhana selama dua atau tiga hari. Begitu selesai meditasi, ia memakan nasi kering yang telah disimpannya, setelah merendamnya terlebih dahulu dalam air. Bhikkhu-bhikkhu lain berpikiran buruk terhadap kelakuan thera itu. Mereka melaporkan hal tersebut kepada Sang Buddha. Sang Buddha berpikir, jika hal itu ditiru oleh bhikkhu-bhikkhu lainnya, ada kemungkinan menjadi disalahgunakan. Oleh karena itu Beliau melarang para bhikkhu untuk menyimpan makanan. Beliau juga menganjurkan para bhikkhu agar berusaha mempertahankan kesederhanaan dan kemurnian hidupnya dengan tidak memiliki barang-barang selain keperluan bhikkhu. Sedangkan untuk Belatthasi

Dhammapada Bab VII (VII:2. Kisah Mahakassapa Thera)

Pada suatu saat Sang Buddha menjalani masa vassa di Rajagaha, bersama sejumlah bhikkhu. Sekitar dua minggu sebelum akhir masa vassa, Sang Buddha memberitahu para bhikkhu bahwa tidak lama lagi ia akan meninggalkan Rajagaha dan mengatakan kepada mereka untuk mempersiapkan diri untuk keberangkatan tersebut. Sebagian bhikkhu menjahit dan mewarnai jubah baru mereka dan sebagian lagi mencuci jubah lama. Ketika beberapa bhikkhu melihat Mahakassapa mencuci jubahnya, mereka berpikir, “Terdapat banyak umat awam di dalam maupun di luar kota Rajagaha yang mencintai dan menghormati Mahakassapa Thera dan secara terus-menerus memenuhi semua kebutuhannya. Apakah mungkin Mahakassapa Thera meninggalkan umat awam di Rajagaha, dan mengikuti Sang Buddha pergi?” Pada akhir hari ke lima belas, pada malam sebelum keberangkatan, Sang Buddha mengatakan bahwa di sini akan banyak upacara seperti upacara persembahan dana makanan, pentahbisan samanera, pembakaran jenazah, dan lain sebagainya. Maka tidaklah te

Dhammapada Bab VII (VII:1. Kisah Pertanyaan Jivaka)

Devadatta, pada suatu kesempatan, mencoba untuk membunuh Sang Buddha dengan mendorong batu besar dari puncak bukit Gijjhakuta (Puncak Burung Nasar). Batu tersebut jatuh membentur sisi bukit dan sepotong serpihannya melukai ibu jari kaki Sang Buddha. Kemudian Beliau dibawa ke Vihara Hutan Mangga milik Jivaka. Di sana Jivaka yang dikenal sebagai seorang tabib, mengobati ibu jari kaki Sang Buddha dan membalutnya. Jivaka kemudian pergi ke kota untuk mengobati pasien lainnya, tetapi berjanji untuk kembali dan membuka balutan tersebut pada sore hari. Karena kesibukannya, Jivaka pulang malam hari, tetapi pintu kota telah ditutup dan ia tidak dapat menemui Sang Buddha. Ia sangat bingung sebab apabila pembalut tersebut tidak dibuka pada waktunya, seluruh badan Sang Buddha akan demam dan Sang Buddha akan sangat menderita. Pada saat yang sama, Sang Buddha yang telah mengetahui bahwa Jivaka tidak dapat datang pada waktunya berkata kepada Ananda untuk membuka balutan dari ibu jarinya dan ternya

Dhammapada Bab VI (VI:11. Kisah Kunjungan Lima Ratus Bhikkhu)

Lima ratus bhikkhu yang menjalani masa vassa di Kosala datang untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha di Vihara Jetavana pada akhir masa vassa. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 87, 88, dan 89 berikut ini sesuai dengan berbagai perangai mereka: Meninggalkan rumah dan pergi menempuh kehidupan tanpa rumah, demikian hendaknya orang bijaksana meninggalkan keadaan gelap (kebodohan) dan mengembangkan keadaan terang (kebijaksanaan). Hendaknya ia mencari kebahagiaan pada ketidakmelekatan yang sulit didapat. Dengan meninggalkan semua kesenangan indria dan kemelekatan, demikian hendaknya orang bijaksana membersihkan dirinya dari noda-noda pikiran. Mereka yang telah menyempurnakan pikirannya dalam Tujuh Faktor Penerangan, yang tanpa ikatan, yang bergembira dengan batin yang bebas, yang telah bebas dari kekotoran batin, yang bersinar, maka sesungguhnya mereka telah mencapai Nibbana dalam kehidupan sekarang ini juga.

Dhammapada Bab VI (VI:10. Kisah Pendengar-pendengar Dhamma)

Pada suatu kesempatan, sekumpulan orang dari Savatthi membuat persembahan khusus kepada para bhikkhu secara bersama-sama dan mereka meminta para bhikkhu memberikan khotbah Dhamma sepanjang malam di tempat mereka. Pada saat itu banyak di antara para pendengar tidak dapat duduk sepanjang malam, dan mereka pulang lebih cepat; beberapa orang duduk dengan pemikiran yang mendalam sepanjang malam; tetapi kebanyakan dari mereka pada waktu itu mengantuk dan setengah tidur. Hanya sedikit orang yang mendengarkan dengan penuh perhatian khotbah Dhamma itu. Pagi hari ketika para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha tentang apa yang terjadi pada malam hari sebelumnya, Beliau menjawab, “Kebanyakan orang terikat pada dunia ini, hanya sedikit orang yang dapat mencapai pantai seberang (nibbana).” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 85 dan 86 berikut ini: Di antara umat manusia hanya sedikit yang dapat mencapai pantai seberang; sebagian besar hanya berjalan hilir mudik di tepi sebelah sini. Mer

Dhammapada Bab VI (VI:9. Kisah Bhikkhu Dhammika)

Dhammika tinggal di Savatthi bersama istrinya. Suatu hari, ia berkata kepada istrinya yang sedang hamil bahwa ia berkeinginan untuk menjadi seorang bhikkhu. Istrinya memohon kepadanya untuk menunggu sampai kelahiran anak mereka. Ketika anak tersebut lahir, ia kembali meminta kepada istrinya untuk memperbolehkannya pergi. Sekali lagi istrinya memohon kepadanya untuk menunggu sampai anak tersebut dapat berjalan. Kemudian Dhammika berkata kepada dirinya sendiri, “Tidak ada gunanya bagiku meminta persetujuan dari istriku untuk menjadi bhikkhu; saya harus berjuang untuk kebebasanku sendiri!” Setelah membuat keputusan teguh, ia meninggalkan rumahnya untuk menjadi seorang bhikkhu. Sang Buddha memberikan objek meditasi kepadanya dan ia mempraktekkan meditasi dengan sungguh-sungguh dan rajin, tak lama kemudian ia menjadi seorang arahat. Beberapa tahun setelah itu, beliau menengok rumahnya dengan maksud untuk mengajarkan Dhamma kepada istri dan anaknya. Anaknya menjadi bhikkhu dan kemudian

Dhammapada Bab VI (VI:8. Kisah Lima Ratus Bhikkhu)

Atas permintaan seorang brahmana dari Veranja, Sang Buddha pada suatu saat tinggal di Veranja bersama lima ratus orang bhikkhu. Ketika berada di Veranja sang brahmana lalai untuk memperhatikan kebutuhan hidup mereka. Penduduk Veranja yang kemudian menghadapi kelaparan, hanya dapat memepersembahkan sangat sedikit dana pada saat para bhikkhu berpindapatta. Kendatipun mengalami penderitaan, para bhikkhu tidak berputus asa. Mereka hanya cukup mendapatkan makanan berupa padi-padian yang dipersembahkan para penjual kuda setiap hari. Saat akhir masa vassa tiba, setelah memberitahu sang brahmana, Sang Buddha pulang ke Vihara Jetavana beserta lima ratus bhikkhu. Masyarakat Savatthi menyambut kedatangan mereka dengan bermacam-macam pilihan makanan. Sekelompok orang yang hidup bersama para bhikkhu, memakan makanan yang tak dimakan oleh para bhikkhu. Mereka makan dengan rakus seperti orang yang benar-benar lapar, dan pergi tidur setelah mereka makan. Setelah bangun tidur mereka bersiul, bernya

Dhammapada Bab VI (VI:7. Kisah Kanamata)

Kanamata adalah umat awam berbakti, murid Sang Buddha. Anaknya yang bernama Kana telah menikah dengan seorang pemuda dari desa lain. Suatu ketika Kana menjenguk ibunya untuk beberapa waktu, suaminya mengirim pesan agar ia segera pulang ke rumah. Ibunya berkata kepadanya untuk menunggu beberapa hari sebab ia ingin membuatkan daging manis (dendeng) untuk suami Kana. Esoknya Kanamata membuat sejumlah dendeng, tetapi ketika empat bhikkhu berpindapatta di rumahnya, ia mendanakan sejumlah daging kepada mereka. Empat bhikkhu tersebut berkata kepada bhikkhu lainnya tentang persembahan dana makanan dari rumah Kanamata. Kanamata sebagai pengikut dan murid Sang Buddha mempersembahkan dendengnya kepada para bhikkhu yang datang satu per satu. Pada akhirnya tidak ada yang tersisa untuk Kana dan ia tidak dapat pulang ke rumahnya pada hari itu. Hal yang sama terjadi pada dua hari berikutnya; ibunya membuat sejumlah dendeng, para bhikkhu datang berpindapatta di rumahnya, ia mempersembahkan dendengn