Suatu ketika terdapat dua orang sahabat yang berasal dari
keluarga terpelajar, dua bhikkhu dari Savatthi. Salah satu dari mereka
mempelajari Dhamma yang pernah dikhotbahkan oleh Sang Buddha, dan sangat
ahli/pandai dalam menguraikan dan mengkhotbahkan Dhamma tersebut. Dia mengajar
lima ratus bhikkhu dan menjadi pembimbing bagi delapan belas kelompok dari para
bhikkhu tersebut.
Bhikkhu lainnya berusaha keras, tekun, dan sangat rajin
dalam meditasi sehingga ia mencapai tingkat kesucian arahat dengan memiliki
pandangan terang analitis.
Pada suatu kesempatan, ketika bhikkhu kedua datang untuk
memberi hormat kepada Sang Buddha di Vihara Jetavana, kedua bhikkhu tersebut
bertemu. Bhikkhu ahli Dhamma tidak mengetahui bahwa bhikkhu sahabatnya telah
menjadi seorang arahat. Dia memandang rendah bhikkhu kedua itu, dia berpikir
bahwa bhikkhu tua ini hanya mengetahui sedikit Dhamma. Maka dia berpikir akan
mengajukan pertanyaan kepada sahabatnya, bahkan ingin membuat malu.
Sang Buddha mengetahui tentang maksud tidak baik itu, Sang
Buddha juga mengetahui bahwa hasilnya akan membuat kesulitan bagi pengikut
luhur seperti bhikkhu terpelajar itu. Dia akan terlahir kembali di alam
kehidupan yang lebih rendah.
Dengan dilandasi kasih sayang, Sang Buddha mengunjungi kedua
bhikkhu tersebut untuk mencegah sang terpelajar bertanya kepada bhikkhu
sahabatnya. Sang Buddha sendiri bertanya perihal ‘Penunggalan Kesadaran’(jhana)
dan ‘Jalan Kesucian’(magga) kepada guru Dhamma; tetapi dia tidak dapat menjawab
karena dia tidak mempraktekkan apa yang telah diajarkan.
Bhikkhu sahabatnya telah mempraktekkan Dhamma dan telah
mencapai tingkat kesucian arahat, dapat menjawab semua pertanyaan. Sang Buddha
memuji bhikkhu yang telah mempraktekkan Dhamma (vipassaka), tetapi tidak satu
kata pujianpun yang diucapkan Beliau untuk orang yang terpelajar (ganthika).
Murid-murid yang berada di tempat itu tidak mengerti,
mengapa Sang Buddha memuji bhikkhu tua dan tidak memuji kepada guru yang telah
mengajari mereka. Karena itu, Sang Buddha menjelaskan permasalahannya kepada
mereka.
Pelajar yang banyak belajar tetapi tidak mempraktekkannya
sesuai Dhamma adalah seperti pengembala sapi, yang menjaga sapi-sapi untuk
memperoleh upah, sedangkan seseorang yang mempraktekkan sesuai Dhamma adalah seperti
pemilik yang menikmati lima manfaat dari hasil pemeliharaan sapi-sapi tersebut.
Jadi orang terpelajar hanya menikmati pelayanan yang diberikan oleh
murid-muridnya, bukan manfaat dari ‘Jalan’ dan ‘Hasil Kesucian’ (magga-phala).
Bhikkhu lainnya, berpikir dia mengetahui sedikit dan hanya
bisa sedikit dalam menguraikan Dhamma, telah memahami dengan jelas inti dari
Dhamma dan telah mempraktekkannya dengan tekun dan penuh semangat; adalah
seseorang yang berkelakuan sesuai dengan Dhamma (anudhammacari). Yang telah
menghancurkan nafsu indria, kebencian, dan ketidak-tahuan, pikirannya telah
bebas dari kekotoran batin, dan dari semua ikatan terhadap dunia ini maupun
pada yang selanjutnya, ia benar-benar memperoleh manfaat dari ‘Jalan’ dan
‘Hasil Kesucian’ (magga-phala).
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 19 dan 20 berikut
ini:
Biarpun seseorang
banyak membaca kitab suci, tetapi tidak berbuat sesuai dengan ajaran, maka
orang lengah itu sama seperti gembala sapi yang menghitung sapi milik orang
lain; ia tak akan memperoleh manfaat kehidupan suci.
Biarpun seseorang
sedikit membaca kitab suci, tetapi berbuat sesuai dengan ajaran, menyingkirkan
nafsu indria, kebencian dan ketidaktahuan, memiliki pengetahuan benar dan batin
yang bebas dari nafsu, tidak melekat pada apapun baik di sini maupun di sana;
maka ia akan memperoleh manfaat kehidupan suci.
Komentar
Posting Komentar