Suatu hari, Cakkhupala Thera berkunjung ke Vihara Jetavana
untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Malamnya, saat melakukan
meditasi jalan kaki, sang thera tanpa sengaja menginjak banyak serangga
sehingga mati. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali serombongan bhikkhu yang
mendengarkan kedatangan sang thera bermaksud mengunjunginya. Di tengah jalan,
di dekat tempat sang thera menginap mereka melihat banyak serangga yang mati.
“Iiih, mengapa banyak serangga yang mati di sini?” seru
seorang bhikkhu. “Aah, jangan jangan …,” celetuk yang lain. “Jangan-jangan
apa?” sergah beberapa bhikkhu. “Jangan-jangan ini perbuatan sang thera!”
jawabnya. “Kok bisa begitu?” Tanya yang lain lagi. “Begini, sebelum sang thera
berdiam di sini, tak ada kejadian seperti ini. Mungkin sang thera terganggu
oleh serangga-serangga itu. Karena jengkelnya ia membunuhnya.”
“Itu berarti ia melanggar vinaya, maka perlu kita laporkan
kepada Sang Buddha!” seru beberapa bhikkhu. “Benar, mari kita laporkan kepada
Sang Buddha, bahwa Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya,” timpal sebagian
besar dari bhikkhu tersebut.
Alih-alih dari mengunjungi sang thera, para bhikkhu itu
berubah haluan, berbondong-bondong menghadap Sang Buddha untuk melaporkan
temuan mereka, bahwa ‘Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya!’
Mendengar laporan para bhikkhu, sang Buddha bertanya, “Para
bhante, apakah kalian telah melihat sendiri pembunuhan itu?”
“Tidak Bhante,” jawab mereka serempak.
Sang Buddha kemudian menjawab, “Kalian tidak melihatnya,
demikian pula Cakkhupal Thera juga tidak melihat serangga-serangga itu, karena
matanya buta. Selain itu Cakkhupala Thera telah mencapai kesucian arahat. Ia
telah tidak mempunyai kehendak untuk membunuh.”
“Bagaimana seorang yang telah mencapai arahat tetapi matanya
buta?” tanya beberapa bhikkhu.
Maka Sang Buddha menceritakan kisah di bawah:
Pada kehidupan masa lampau, Cakkhupala pernah terlahir
sebagai tabib yang handal. Suatu ketika datang seorang wanita yang miskin.
“Tuan, tolong sembuhkanlah penyakit mata saya ini. Karena miskin, saya tidak
bisa membayar pertolongan tuan dengan uang. Tetapi, apabila sembuh, saya
berjanji dengan anak-anak saya akan menjadi pembantu tuan,” pinta wanita itu. Permintaan
itu disanggupi oleh sang tabib.
Perlahan-lahan penyakit mata yang parah itu mulai sembuh.
Sebaliknya, wanita itu menjadi ketakutan, apabila penyakit matanya sembuh, ia
dan anak-anaknya akan terikat menjadi pembantu tabib itu. Dengan marah-marah ia
berbohong kepada sang tabib, bahwa sakit matanya bukannya sembuh, malah bertambah
parah.
Setelah diperiksa dengan cermat, sang tabib tahu bahwa
wanita miskin itu telah berbohong kepadanya. Tabib itu menjadi tersinggung dan
marah, tetapi tidak diperlihatkan kepada wanita itu. “Oh, kalau begitu akan
kuganti obatmu,” demikian jawabnya. “Nantikan pembalasanku!” serunya dalam
hati. Benar, akhirnya wanita itu menjadi buta total karena pembalasan sang
tabib.
Sebagai akibat dari perbuatan jahatnya, tabib itu telah
kehilangan penglihatannya pada banyak kehidupan selanjutnya.
Mengakhiri ceritanya, Sang Buddha kemudian membabarkan syair
di bawah ini:
Pikiran adalah pelopor
dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila
seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan
mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, di antara
para bhikkhu yang hadir ada yang terbuka mata batinnya dan mencapai tingkat
kesucian arahat dengan mempunyai kemampuan batin analitis pandangan Terang’
(patisambhida).
Komentar
Posting Komentar