Langsung ke konten utama

Dhammapada Bab VIII (VIII:11. Kisah Sappadasa Thera)


Suatu ketika seorang bhikkhu tidak merasa bahagia dengan kehidupan sebagai bhikkhu. Pada saat itu juga ia merasa tidak tepat dan memalukan untuk kembali hidup sebagai perumah tangga. Kemudian ia berpikir akan lebih baik jika ia meninggal dunia. Pada suatu kesempatan, ia memasukkan tangannya ke dalam pot di mana terdapat ular di dalamnya, tetapi ular itu tidak menggigit. Hal ini disebabkan pada kehidupan lalu ular tersebut sebagai budak dan sang bhikkhu sebagai tuannya. Karena kejadian ini bhikkhu tersebut dikenal dengan nama Sappadasa Thera. Pada kesempatan lain, Sappadasa Thera mengambil pisau cukur untuk memotong tenggorokannya.
Sebelum melakukan perbuatan itu, ia merenungkan kesucian dari praktek moralnya (sila) sepanjang hidup sebagai bhikkhu, dan seluruh tubuhnya diliputi kegiuran (piti) dan kebahagiaan (sukha). Kemudian ia melepaskan dirinya dari piti dan mengarahkan pikirannya untuk mengembangkan pengetahuan pandangan terang dan tak lama kemudian Sappadasa mencapai tingkat kesucian arahat, dan ia pulang kembali ke vihara.
Setelah tiba di vihara, bhikkhu-bhikkhu lainnya bertanya ke mana ia telah pergi dan mengapa ia membawa pisau. Ketika Sang Thera berkata kepada mereka bahwa ia bermaksud untuk mengakhiri hidupnya, mereka bertanya kepadanya mengapa ia tidak melakukannya.
Ia menjawab, “Saya sebenarnya bermaksud untuk memotong tenggorokanku dengan pisau ini, tetapi saya sekarang telah memotong semua kekotoran batin dengan pisau pengetahuan pandangan terang.” Para bhikkhu tidak mempercayainya, kemudian mereka pergi menemui Sang Buddha dan berkata, “Bhante, bhikkhu ini menyatakan bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian arahat dengan menaruh pisau di tenggorokannya untuk membunuh dirinya sendiri. Apakah mungkin untuk mencapai jalan kesucian arahat (arahatta-magga) dengan cara demikian singkat?” Kepada mereka Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, ya, itu mungkin, untuk seorang yang bersemangat dan rajin dalam mempraktekkan ketenangan dan mengembangkan pandangan terang, ke-arahat-an akan dicapai dalam waktu singkat. Seperti halnya seorang bhikkhu yang berjalan latihan meditasi, ia dapat mencapai tingkat ke-arahat-an meskipun langkah kakinya belum menyentuh tanah.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 112 berikut:
Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi malas dan tidak bersemangat, maka sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang berjuang dengan penuh semangat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sutra Ksitigarbha Bodhisattva Purva Pranidhana

Download dalam bentuk pdf Bab 1 – Istana Trayastrimsa Demikian yang kudengar: Pada suatu waktu, Sang Buddha berada di Surga Trayastrimsa untuk memberi khotbah Dharma kepada ibu-Nya. Sang Buddha ingin agar ibu-Nya dapat terbebas dari Triloka dan dilahirkan di alam Buddha. Beliau memasuki samadhi dan pada saat itu Vinnyana-Nya (kesadaran-Nya) menjadi Badan Dharmakaya pergi ke Surga Trayastrimsa. Sewaktu Sang Buddha akan memberi khotbah Dharma kepada ibu-Nya di istana surga Trayastrimsa, datanglah para Buddha beserta para Bodhisatva-Mahasattva dari 10 penjuru jagad yang jumlahnya sulit diperkirakan! Mereka berkumpul di pesamuhan agung di istana Surga Trayastrimsa dan dengan perasaan amat gembira serta dengan khidmat mereka menyanjung dan memuji jasa-jasa dan kebajikan dari Buddha Sakyamuni. Mereka juga mengagumi Buddha Sakyamuni yang bertekad berada di Jambudvipa (alam manusia) atau alam Sahaloka yang memiliki Panca-Kasayah (5 macam kekeruhan) tapi Beliau dapat menampilkan

Amitayur Dhyana Sutra

Download dalam bentuk pdf Amitayur Dhyana Sutra Sutra Perenungan terhadap Buddha Amitayus Latar Belakang Pada suatu saat Sang Buddha berdiam di Vihara yang terletak di Gunung Grdhrakuta (puncak burung nasar), dekat Kota Rajagrha di Negeri Magadaha. Beliau bersama-sama dengan 1250 Bhiksu Agung dan 32000 Bodhisattva Mahasattva yang dipimpin oleh ketuanya yaitu Pangeran Dharma Manjusri. Pada saat itu, di Kota Rajagrha terdapat seorang pangeran bernama Ajatasatruyang telah dihasut oleh kawannya yang jahat, Devadatta dan juga kawan lainnya untuk mengurung ayahnya, Raja Bimbisara di dalam suatu gedung yang tertutup dengan 7 lapis tembok permanen, dan dijaga sangat ketat dan tidak mengijinkan para menteri dan orang lain datang menengok kepala Negara itu, bahkan ia melarang memberi makan kepada ayahnya yang malang itu. Peristiwa itu sangat menyedihkan   para keluarga Raja Bimbisara di dalam istana, terutama Ratu Vaidehi, ia sangat rindu kepada sang Raja! Pada suatu hari ia m

Sutra Amitayus

Download dalam bentuk pdf Bab 1 (Pendahuluan) Demikianlah yang telah kudengar. Pada suatu saat, Sang Buddha berada di gunung Grdhrakuta, dekat kota Rajagaha bersama-sama dengan 12 ribu maha biksu yang telah memiliki 6 Kekuatan Batin (sad abhija), seperti Ajnatakaundinya, Asvajit, Vaspa, Mahanama, Bhadrajit, Yasodeva, Vimala, Subahu, Purna Maitrayaniputra, Uruvilva Kasyapa, Nadi Kasyapa, Gaya Kasyapa, Kumara Kasyapa, Maha Kasyapa, Sariputra, Maha Maudgalyayana, Malikarsthilya, Maha Kapphina, Maha Cunda, Aniruddha, Nandika, Kampila, Subhuti, Revata, Khadiravanika, Vakula, Svagata, Amogharaja, Parayanika, Patka, Cullapatka, Nanda, Rahula, Ananda, dan lainnya yang berstatus sesepuh (Sthavira). Hadir juga rombongan Bodhisattva Mahasattva yang telah menguasai ajaran Mahayana, antara lain Samanta Bharda Bodhisattva, Manjusri Bodhisattva, Maitreya Bodhisattva. Hadir juga Bodhisattva yang bergelar 16 Tokoh Suci (Sodasa Satpurura). Mereka adalah Bradhapala, Ratnakara, Susarthav