Nigamavasitissa lahir dan dibesarkan di suatu kota dagang
kecil dekat Savatthi. Setelah menjadi seorang bhikkhu dia hidup sederhana
dengan mempunyai hanya sedikit keinginan.
Untuk berpindapatta, beliau biasanya pergi ke desa tempat
saudaranya tinggal dan mengambil apa yang disediakan untuknya. Nigamavasitissa
selalu melewatkan kesempatan menerima banyak dana makanan lainnya. Meski ketika
Anathapindika dan Raja Pasenadi dari Kosala memberikan dana makanan dalam
jumlah besar kepada para bhikkhu, Nigamavasitissa tidak mau pergi ke sana.
Beberapa orang bhikkhu kemudian membicarakan hal tersebut.
Bahwa beliau lebih dekat dengan saudara-saudaranya dan tidak mempedulikan orang
lain seperti Anathapindika dan Raja Pasenadi, yang ingin berbuat jasa dengan
memberikan dana makanan.
Ketika Sang Buddha menerima laporan ini, Beliau mengundang
Nigamavasitissa dan menanyakan hal itu.
Bhikkhu Nigamavasitissa dengan penuh hormat menjelaskan
kepada Sang Buddha bahwa memang benar ia sering mengunjungi desanya, tetapi
hanya pada saat berpindapatta. Ketika dia telah mendapatkan makanan yang cukup,
dia tidak akan berjalan lebih jauh lagi, dan dia tidak pernah mempersoalkan
apakah makanan itu enak atau tidak.
Sang Buddha tidak menegur setelah mendengar penjelasan
bhikkhu Nigamavasitissa bahkan Beliau menghargai tindakannya dan
menceritakannya kepada bhikkhu yang lain.
Beliau bahkan menganjurkan kepada murid-muridnya, untuk
hidup puas dengan sedikit keinginan, sesuai dengan ajaran Buddha dan para
Ariya, dan begitulah semua bhikkhu seharusnya, mencontoh tindakan bhikkhu Tissa
dari kota dagang kecil.
Berkenaan dengan ini, Beliau menceritakan kisah Raja dari
burung nuri.
Pada masa dahulu kala, tinggallah raja burung nuri di lobang
sebuah pohon besar yang tumbuh di muara sungai Gangga, dengan sejumlah besar
pengikutnya. Ketika buah-buahan telah habis dimakan, semua burung nuri pergi
meninggalkan lobang tersebut, kecuali sang raja, yang puas pada apa yang masih
tersisa di pohon tersebut.
Sakka, mengetahui hal ini dan ingin menguji ketulusan hati
raja nuri tersebut. Sakka pergi ke pohon tersebut dengan kekuatan
supranaturalnya. Kemudian, dengan menyamar sebagai angsa, Sakka dan
permaisurinya, Sujata, mengunjungi tempat di mana raja nuri tersebut tinggal
dan menanyakan kenapa dia tidak meninggalkan pohon tua tersebut seperti apa
yang telah dilakukan nuri lain; mencari pohon lain yang berbuah lebat.
Raja nuri menjawab, “karena perasaan terima kasih kepada
pohon ini, aku tidak akan meninggalkannya dan selama aku masih dapat makanan
yang cukup, aku tidak akan meninggalkannya. Akan tidak berterima kasih sekali jika aku
meninggalkan pohon ini, meskipun pohon ini akan mati.”
Sakka sangat terkesan dengan jawaban tersebut, dia
menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Dia mengambil air dari sungai Gangga dan
menyiramkannya di sekitar pohon tersebut. Segera pohon itu menjadi segar
kembali; tumbuh kembali dengan cabang-cabang yang rimbun dan hijau, penuh
dengan buah.
Sangat bijaksana meskipun seekor binatang tidak rakus,
mereka puas dengan apa yang tersedia. Raja nuri yang ada dalam kisah itu adalah
Sang Buddha sendiri; Sakka adalah Anuruddha.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 32 berikut:
Seorang bhikkhu yang
bergembira dalam kewaspadaan dan melihat bahaya dalam kelengahan tak akan
terperosok lagi, ia sudah berada di ambang pintu nibbana.
Tissa Thera mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Komentar
Posting Komentar