Langsung ke konten utama

Dhammapada Bab II (II:9. Kisah Nigamavasitissa)

Nigamavasitissa lahir dan dibesarkan di suatu kota dagang kecil dekat Savatthi. Setelah menjadi seorang bhikkhu dia hidup sederhana dengan mempunyai hanya sedikit keinginan.
Untuk berpindapatta, beliau biasanya pergi ke desa tempat saudaranya tinggal dan mengambil apa yang disediakan untuknya. Nigamavasitissa selalu melewatkan kesempatan menerima banyak dana makanan lainnya. Meski ketika Anathapindika dan Raja Pasenadi dari Kosala memberikan dana makanan dalam jumlah besar kepada para bhikkhu, Nigamavasitissa tidak mau pergi ke sana.
Beberapa orang bhikkhu kemudian membicarakan hal tersebut. Bahwa beliau lebih dekat dengan saudara-saudaranya dan tidak mempedulikan orang lain seperti Anathapindika dan Raja Pasenadi, yang ingin berbuat jasa dengan memberikan dana makanan.
Ketika Sang Buddha menerima laporan ini, Beliau mengundang Nigamavasitissa dan menanyakan hal itu.
Bhikkhu Nigamavasitissa dengan penuh hormat menjelaskan kepada Sang Buddha bahwa memang benar ia sering mengunjungi desanya, tetapi hanya pada saat berpindapatta. Ketika dia telah mendapatkan makanan yang cukup, dia tidak akan berjalan lebih jauh lagi, dan dia tidak pernah mempersoalkan apakah makanan itu enak atau tidak.
Sang Buddha tidak menegur setelah mendengar penjelasan bhikkhu Nigamavasitissa bahkan Beliau menghargai tindakannya dan menceritakannya kepada bhikkhu yang lain.
Beliau bahkan menganjurkan kepada murid-muridnya, untuk hidup puas dengan sedikit keinginan, sesuai dengan ajaran Buddha dan para Ariya, dan begitulah semua bhikkhu seharusnya, mencontoh tindakan bhikkhu Tissa dari kota dagang kecil.
Berkenaan dengan ini, Beliau menceritakan kisah Raja dari burung nuri.
Pada masa dahulu kala, tinggallah raja burung nuri di lobang sebuah pohon besar yang tumbuh di muara sungai Gangga, dengan sejumlah besar pengikutnya. Ketika buah-buahan telah habis dimakan, semua burung nuri pergi meninggalkan lobang tersebut, kecuali sang raja, yang puas pada apa yang masih tersisa di pohon tersebut.
Sakka, mengetahui hal ini dan ingin menguji ketulusan hati raja nuri tersebut. Sakka pergi ke pohon tersebut dengan kekuatan supranaturalnya. Kemudian, dengan menyamar sebagai angsa, Sakka dan permaisurinya, Sujata, mengunjungi tempat di mana raja nuri tersebut tinggal dan menanyakan kenapa dia tidak meninggalkan pohon tua tersebut seperti apa yang telah dilakukan nuri lain; mencari pohon lain yang berbuah lebat.
Raja nuri menjawab, “karena perasaan terima kasih kepada pohon ini, aku tidak akan meninggalkannya dan selama aku masih dapat makanan yang cukup, aku tidak akan meninggalkannya.  Akan tidak berterima kasih sekali jika aku meninggalkan pohon ini, meskipun pohon ini akan mati.”
Sakka sangat terkesan dengan jawaban tersebut, dia menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Dia mengambil air dari sungai Gangga dan menyiramkannya di sekitar pohon tersebut. Segera pohon itu menjadi segar kembali; tumbuh kembali dengan cabang-cabang yang rimbun dan hijau, penuh dengan buah.
Sangat bijaksana meskipun seekor binatang tidak rakus, mereka puas dengan apa yang tersedia. Raja nuri yang ada dalam kisah itu adalah Sang Buddha sendiri; Sakka adalah Anuruddha.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 32 berikut:
Seorang bhikkhu yang bergembira dalam kewaspadaan dan melihat bahaya dalam kelengahan tak akan terperosok lagi, ia sudah berada di ambang pintu nibbana.
Tissa Thera mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Amitayur Dhyana Sutra

Download dalam bentuk pdf Amitayur Dhyana Sutra Sutra Perenungan terhadap Buddha Amitayus Latar Belakang Pada suatu saat Sang Buddha berdiam di Vihara yang terletak di Gunung Grdhrakuta (puncak burung nasar), dekat Kota Rajagrha di Negeri Magadaha. Beliau bersama-sama dengan 1250 Bhiksu Agung dan 32000 Bodhisattva Mahasattva yang dipimpin oleh ketuanya yaitu Pangeran Dharma Manjusri. Pada saat itu, di Kota Rajagrha terdapat seorang pangeran bernama Ajatasatruyang telah dihasut oleh kawannya yang jahat, Devadatta dan juga kawan lainnya untuk mengurung ayahnya, Raja Bimbisara di dalam suatu gedung yang tertutup dengan 7 lapis tembok permanen, dan dijaga sangat ketat dan tidak mengijinkan para menteri dan orang lain datang menengok kepala Negara itu, bahkan ia melarang memberi makan kepada ayahnya yang malang itu. Peristiwa itu sangat menyedihkan   para keluarga Raja Bimbisara di dalam istana, terutama Ratu Vaidehi, ia sangat rindu kepada sang Raja! Pada suatu hari ia m

Sutra Ksitigarbha Bodhisattva Purva Pranidhana

Download dalam bentuk pdf Bab 1 – Istana Trayastrimsa Demikian yang kudengar: Pada suatu waktu, Sang Buddha berada di Surga Trayastrimsa untuk memberi khotbah Dharma kepada ibu-Nya. Sang Buddha ingin agar ibu-Nya dapat terbebas dari Triloka dan dilahirkan di alam Buddha. Beliau memasuki samadhi dan pada saat itu Vinnyana-Nya (kesadaran-Nya) menjadi Badan Dharmakaya pergi ke Surga Trayastrimsa. Sewaktu Sang Buddha akan memberi khotbah Dharma kepada ibu-Nya di istana surga Trayastrimsa, datanglah para Buddha beserta para Bodhisatva-Mahasattva dari 10 penjuru jagad yang jumlahnya sulit diperkirakan! Mereka berkumpul di pesamuhan agung di istana Surga Trayastrimsa dan dengan perasaan amat gembira serta dengan khidmat mereka menyanjung dan memuji jasa-jasa dan kebajikan dari Buddha Sakyamuni. Mereka juga mengagumi Buddha Sakyamuni yang bertekad berada di Jambudvipa (alam manusia) atau alam Sahaloka yang memiliki Panca-Kasayah (5 macam kekeruhan) tapi Beliau dapat menampilkan

Sutra Amitayus

Download dalam bentuk pdf Bab 1 (Pendahuluan) Demikianlah yang telah kudengar. Pada suatu saat, Sang Buddha berada di gunung Grdhrakuta, dekat kota Rajagaha bersama-sama dengan 12 ribu maha biksu yang telah memiliki 6 Kekuatan Batin (sad abhija), seperti Ajnatakaundinya, Asvajit, Vaspa, Mahanama, Bhadrajit, Yasodeva, Vimala, Subahu, Purna Maitrayaniputra, Uruvilva Kasyapa, Nadi Kasyapa, Gaya Kasyapa, Kumara Kasyapa, Maha Kasyapa, Sariputra, Maha Maudgalyayana, Malikarsthilya, Maha Kapphina, Maha Cunda, Aniruddha, Nandika, Kampila, Subhuti, Revata, Khadiravanika, Vakula, Svagata, Amogharaja, Parayanika, Patka, Cullapatka, Nanda, Rahula, Ananda, dan lainnya yang berstatus sesepuh (Sthavira). Hadir juga rombongan Bodhisattva Mahasattva yang telah menguasai ajaran Mahayana, antara lain Samanta Bharda Bodhisattva, Manjusri Bodhisattva, Maitreya Bodhisattva. Hadir juga Bodhisattva yang bergelar 16 Tokoh Suci (Sodasa Satpurura). Mereka adalah Bradhapala, Ratnakara, Susarthav