Tiga puluh bhikkhu dari sebuah desa datang ke Vihara
Jetavana untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Sang Buddha
mengetahui bahwa telah tiba waktunya bagi bhikkhu-bhikkhu tersebut untuk
mencapai tingkat kesucian arahat.
Beliau mengundang Sariputta dan di hadapan bhikkhu-bhikkhu
itu, Beliau bertanya, “Anakku, Sariputta, apakah kamu dapat menerima kenyataan bahwa
dengan cara bermeditasi, seseorang dapat merealisasi nibbana?”
Sariputta menjawab, “Bhante, berkaitan dengan perealisasian
nibbana dengan meditasi, saya menerima hal itu bukan karena saya percaya
kepada-Mu. Pertanyaan itu hanya bagi seseorang yang belum berhasil merealisasi
nibbana, yang menerima kenyataan dari orang lain.”
Jawaban Sariputta tidak dapat dimengerti secara tepat oleh
para bhikkhu. Mereka berpikir, “Sariputta belum melenyapkan pandangan salah,
sampai saat ini, ia belum memiliki keyakinan terhadap Sang Buddha.”
Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepada mereka makna
sebenarnya dari jawaban Sariputta.
“Para bhikkhu, jawaban Sariputta dapat disederhanakan
menjadi demikian: Ia menerima bahwa nibbana dapat dicapai dengan meditasi,
tetapi ia menerima hal itu berdasarkan hasil pengalamannya sendiri, dan bukan
karena saya telah mengatakan hal itu atau orang lain mengatakan hal itu.
Sariputta yakin terhadap-Ku. Ia juga yakin terhadap akibat-akibat dari
perbuatan baik dan jahat.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 97 berikut:
Orang yang telah bebas
dari ketahyulan, yang telah mengerti keadaan tak tercipta (nibbana), yang telah
memutuskan semua ikatan (tumimbal lahir), yang telah mengakhiri kesempatan
(baik dan jahat), yang telah menyingkirkan semua nafsu keinginan, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang paling mulia.
Komentar
Posting Komentar