Pada suatu akhir masa vassa; Sariputta Thera berangkat untuk
suatu perjalanan bersama dengan beberapa pengikutnya. Seorang bhikkhu muda
pengikutnya, yang memiliki dendam terhadap Sariputta Thera, mendekat kepada
Sang Buddha dan memfitnah dengan mengatakan bahwa Sariputta Thera telah mencaci
dan memukulnya.
Sang Buddha memanggil Sariputta Thera dan menanyakan apakah
hal itu benar?
Sariputta menjawab, “Bhante, bagaimana mungkin seorang
bhikkhu, yang dengan tenang menjaga pikirannya, berangkat dalam suatu
perjalanan tanpa kesalahan, telah melakukan kejahatan terhadap bhikkhu
pengikutnya? Saya seperti tanah yang tidak merasa senang ketika bunga-bunga
tumbuh, dan tidak juga merasa marah ketika sampah dan kotoran teronggok di
atasnya. Saya juga seperti keset, pengemis, kerbau jantan dengan tanduk yang
patah; saya juga merasa jijik dengan kekotoran tubuh dan tidak lagi terikat
dengan itu.”
Ketika Sariputta Thera berbicara, bhikkhu muda itu merasa
sangat tertekan dan menderita. Akhirnya ia mengaku bahwa ia berbohong perihal
Sariputta. Kemudian Sang Buddha menyarankan kepada Sariputta Thera untuk
menerima permohonan maaf bhikkhu muda itu. Jika tidak, akibat yang berat akan
menimpa diri bhikkhu muda itu. Bhikkhu muda mengakui bahwa ia bersalah dan
dengan hormat meminta maaf. Sariputta Thera memaafkan bhikkhu muda itu dan
beliau juga meminta maaf apabila beliau berbuat salah.
Semua yang hadir memuji Sariputta Thera, dan Sang Buddha
berkata, “Para bhikkhu, seorang arahat seperti Sariputta tidak memiliki
kemarahan atau keinginan jahat. Seperti tanah dan tugu kota, ia sabar, toleran,
teguh; seperti danau yang tak berlumpur, ia tenang dan bersih.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 95 berikut:
Bagaikan tanah,
demikian pula orang suci. Tidak pernah marah, teguh pikirannya bagaikan tugu
kota (indakhila), bersih tingkah lakunya bagaikan kolam tak berlumpur. Bagi
orang suci seperti ini tak ada lagi siklus kehidupan.
Komentar
Posting Komentar