Raja Pasenadi dari Kosala, yang berharap dapat menikah
dengan seorang putri dari suku Sakya, mengirimkan beberapa utusan ke
Kapilavatthu dengan suatu permohonan meminang salah seorang putri suku Sakya.
Tanpa bermaksud untuk menyakiti Raja Pasenadi, pangeran suku
Sakya membalas bahwa mereka akan memenuhi permintaan tersebut, tetapi mereka
tidak mengirimkan seorang putri melainkan seorang gadis cantik yang lahir dari
Raja Mahanama dengan seorang budak wanita. Raja Pasenadi mengangkat gadis
tersebut sebagai permaisuri, kemudian berputera dan diberi nama Vitatubha.
Ketika sang pangeran berusiaa 16 tahun, Raja Pasenadi
mengirimnya untuk mengunjungi Raja Mahanama dan pangeran-pangeran suku Sakya.
Di sana sang pangeran diterima dengan ramah.
Tetapi semua pangeran suku Sakya yang lebih muda dari
Vitatubha telah pergi ke suatu desa, karena mereka tidak akan memberikan penghormatan
kepada Vitatubha.
Setelah tinggal selama beberapa hari di Kapilavatthu,
Vitatubha dan rombongannya berniat untuk pulang. Segera setelah sang Pangeran
dan rombongannya pergi, seorang budak wanita mencuci tempat-tempat di mana
Vitatubha duduk dengan susu. Dia juga mengutuk sambil berteriak: “Ini adalah
tempat di mana putra seorang budak telah duduk…..”
Waktu itu, salah seorang pengikut Vitatubha kembali untuk
mengambil barang yang tertinggal, dan kebetulan mendengar apa yang diucapkan
oleh gadis itu. Budak wanita itu juga mengatakan bahwa ibu Vitatubha,
Vasabhakhattiya, adalah putri dari seorang budak wanita milik Mahanama.
Ketika Vitatubha diberi tahu tentang kejadian tersebut, dia
menjadi sangat marah dan mengatakan bahwa suatu hari dia akan menghancurkan
semua suku Sakya. Untuk membuktikan ucapannya, ketika Vitatubha menjadi raja,
dia menyerbu dan membunuh semua suku Sakya, terkecuali beberapa orang yang
bersama Mahanama.
Dalam perjalanan pulang, Vitatubha dan pasukannya berkemah
di muara Sungai Aciravati. Akibat hujan turun dengan lebatnya di kota bagian
atas pada malam yang gelap itu, sungai meluap dan mengalir ke bawah dengan
derasnya menghanyutkan Vitatubha dan pasukannya ke samudera.
Mendengar dua kejadian tragis ini, Sang Buddha menerangkan
kepada para bhikkhu bahwa saudara-saudaranya, pangeran-pangeran suku Sakya,
pada kehidupan mereka sebelumnya, mereka menaruh racun ke dalam sungai untuk
membunuh ikan-ikan. Kematian para pangeran suku Sakya dalam suatu pembantaian
merupakan buah dari perbuatan yang telah mereka lakukan pada kehidupan
sebelumnya.
Berkaitan dengan kejadian yang menimpa Vitatubha dan
pasukannya, Sang Buddha mengatakan: “Bagaikan banjir besar menghanyutkan
penduduk desa pada sebuah desa yang tertidur, demikian juga, kematian menghanyutkan
semua makhluk yang memiliki nafsu keinginan kesenangan indria.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 47 berikut:
Orang yang
mengumpulkan bunga-bunga kesenangan indria, yang pikirannya kacau, akan diseret
oleh kematian bagaikan banjir besar menghanyutkan sebuah desa yang tertidur.
Komentar
Posting Komentar