Suatu ketika, enam puluh bhikkhu, setelah mendapatkan cara
bermeditasi dari Sang Buddha, pergi ke desa Matika, di kaki sebuah gunung. Di
sana, Matikamata, ibu dari kepala desa, memberikan dana makanan kepada para bhikkhu;
Matikamata juga mendirikan sebuah vihara untuk para bhikkhu bertempat tinggal
selama musim hujan.
Suatu hari Matikamata bertanya kepada para bhikkhu perihal
cara-cara bermeditasi. Bhikkhu-bhikkhu itu mengajarkan kepadanya bagaimana cara
bermeditasi dengan tiga puluh dua unsur bagian tubuh untuk menyadari kerapuhan
dan kehancuran tubuh. Matikamata melaksanakannya dengan rajin dan mencapai tiga
Magga dan Phala bersamaan dengan pandangan terang analitis dan kemampuan batin
luar biasa, sebelum para bhikkhu itu mencapainya.
Dengan munculnya berkah Magga dan Phala ia dapat melihat
dengan mata batin (dibbacakkhu). Ia mengetahui para bhikkhu itu belum mencapai
Magga. Ia juga tahu bahwa bhikkhu-bhikkhu itu mempunyai cukup potensi untuk
mencapai arahat, tetapi mereka membutuhkan makanan yang cukup dan penuh gizi,
karena tubuh yang lemah akan mempengaruhi pikiran untuk berkonsentrasi.
Maka, Matikamata menyediakan makanan pilihan untuk mereka.
Dengan makan makanan yang sesuai dan pengendalian yang benar, para bhikkhu
dapat mengembangkan konsentrasinya dengan benar dan akhirnya mencapai arahat.
Akhir musim hujan, para bhikkhu kembali ke vihara Jetavana,
tempat bersemayam Sang Buddha. Mereka melaporkan kepada Sang Buddha bahwa
mereka semua dalam keadaan kesehatan yang baik dan menyenangkan, mereka sudah
tidak khawatir perihal makanan. Mereka juga menceritakan Matikamata mengetahui
pikiran mereka dan menyediakan serta memberi mereka banyak makanan yang sesuai.
Seorang bhikkhu, yang mendengar pembicaraan mereka tentang
Matikamata, memutuskan untuk melakukan hal yang sama pergi ke desa itu. Setelah
memperoleh cara-cara meditasi dari Sang Buddha ia tiba di vihara desa. Di sana,
ia menemukan bahwa segala yang diharapkannya sudah dikirim oleh Matikamata,
umat yang dermawan.
Ketika bhikkhu itu mengharap Matikamata datang, ia datang ke
vihara, dengan pilihan banyak makanan. Sesudah makan, bhikkhu itu bertanya
kepada Matikamata apakah ia bisa membaca pikiran orang lain. Matikamata
mengelak dengan pertanyaan balasan, “Orang yang dapat membaca pikiran orang
lain berkelakuan semakin jauh dari “Sang Jalan”.
Dengan terkejut bhikkhu itu berpikir, “Mungkinkah saya,
berkelakuan seperti perumah tangga yang terikat pikiran tidak suci, dan ia
sungguh-sungguh mengetahuinya?” Bhikkhu itu khawatir terhadap umat dermawan
tersebut dan memutuskan kembali ke Vihara Jetavana.
Ia menyampaikan kepada Sang Buddha bahwa ia tidak dapat
tinggal di desa Matika karena ia khawatir bahwa umat dermawan yang setia itu
mungkin melihat ketidak-sucian pikirannya.
Sang Buddha kemudian berkata kepada bhikkhu itu untuk
memperhatikan hanya pada satu hal, yaitu mengawasi pikiran. Beliau juga berkata
kepada bhikkhu itu untuk kembali ke vihara desa Matika, tidak memikirkan
sesuatu yang lain, tetapi hanya pada obyek meditasinya.
Bhikkhu tersebut kembali ke desa Matika. Umat dermawan itu
tetap memberikan dana makanan yang baik kepadanya seperti yang dilakukannya
kepada para bhikkhu lain, dan bhikkhu itu melaksanakan meditasi dengan tanpa
rasa khawatir lagi. Dalam jangka waktu yang pendek, bhikkhu itu mencapai
tingkat kesucian arahat.
Berkenaan dengan bhikkhu itu, Sang Buddha membabarkan syair
35 berikut ini:
Sukar dikendalikan
pikiran yang binal dan senang mengembara sesuka hatinya. Adalah baik untuk
mengendalikan pikiran, suatu pengendalian pikiran yang baik akan membawa
kebahagiaan.
Para bhikkhu yang berkumpul pada saat itu, mencapai tingkat
kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Komentar
Posting Komentar