Suatu saat Sang Buddha bersama beberapa bhikkhu memasuki
kota Saketa untuk berpindapatta. Seorang brahmana tua, melihat Sang Buddha,
mendekati-Nya dan berseru, “O Nak! Mengapa engkau tidak mengizinkan kami
melihatmu selama ini? Ikutlah bersamaku dan biarlah ibumu juga melihatmu.”
Setelah berkata demikian, ia mengundang Sang Buddha ke rumahnya. Sesampainya di
rumah, istri brahmana pun mengatakan hal yang sama dan memperkenalkan Sang Buddha
sebagai ‘kakak tertua’ kepada anak-anaknya dan menyuruh mereka memberi hormat
kepada-Nya. Sejak hari itu suami istri tersebut memberikan dana makanan kepada
Sang Buddha setiap hari dan setelah mendengarkan beberapa khotbah Dhamma, suami
dan istri itu mencapai tingkat kesucian anagami.
Para bhikkhu heran mengapa pasangan brahmana itu mengatakan
bahwa Sang Buddha adalah putra mereka; mereka pun bertanya kepada Sang Buddha.
Kemudian Sang Buddha menjelaskan, “Para bhikkhu, mereka memanggilku ‘Nak’
karena aku adalah anak atau kemenakan dari salah satu di antara mereka selama
1.500 kali kelahiran yang lampau.” Sang Buddha terus tinggal di dekat rumah
pasangan brahmana sampai tiga bulan lebih, dan selama itu baik brahmana maupun
istrinya mencapai tingkat kesucian arahat, kemudian mereka meralisasi
‘Kebebasan Akhir’ (parinibbana).
Para bhikkhu tidak mengetahui bahwa pasangan brahmana itu
telah mencapai tingkat kesucian arahat, mereka bertanya kepada Sang Buddha, di
mana pasangan itu akan terlahir kembali. Sang Buddha menjawab, “Mereka yang
telah mencapai tingkat kesucian arahat, tidak akan terlahir kembali di manapun
juga, mereka telah merealisasi ‘Kebebasan Mutlak’ (nibbana).”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 225 berikut:
Orang-orang suci yang
tidak menganiaya makhluk lain dan selalu terkendali jasmaninya akan sampai pada
‘Keadaan Tanpa Kematian’ (nibbana); dan setelah sampai pada keadaan itu,
kesedihan tak akan ada lagi dalam dirinya.
Komentar
Posting Komentar