Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2019

Dhammapada Bab XIX (XIX:6. Kisah Bhikkhu Hatthaka)

Bhikkhu Hatthaka mempunyai kebiasaan menantang para pertapa bukan pengikut Sang Buddha agar menjumpainya di suatu tempat tertentu untuk berdebat mengenai masalah-masalah keagamaan. Kemudian ia akan pergi seorang diri ke tempat yang telah dijanjikan. Jika tidak seorang pun muncul ia akan membual, “Lihat, pertapa-pertapa pengembara itu tidak berani menjumpaiku, mereka telah kukalahkan!” dan hal-hal semacam lainnya. Sang Buddha memanggil Hatthaka, dan berkata, “Bhikkhu! Mengapa engkau bertingkah laku demikian? Orang yang mengatakan hal-hal semacam itu tidak dapat menjadi seorang samana sekalipun kepalanya gundul. Hanya orang yang telah menyingkirkan semua kejahatan dari dirinya yang dapat disebut seorang samana.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 264 dan 265 berikut ini: Seseorang yang tidak memiliki disiplin dan suka berdusta tidak dapat disebut seorang pertapa (samana) walaupun ia berkepala gundul. Mana mungkin orang yang penuh dengan keinginan serta keserakahan dapat menja

Dhammapada Bab XIX (XIX:5. Kisah Beberapa Bhikkhu)

Pada suatu vihara, para bhikkhu muda dan samanera mempunyai kebiasaan mengunjungi bhikkhu-bhikkhu lebih tua yang merupakan guru mereka. Mereka mencuci dan mencelup jubah, atau melakukan pelayanan kecil lain bagi guru mereka. Beberapa bhikkhu lain yang melihat hal ini merasa iri hati kepada para bhikkhu senior, dan mereka memikirkan suatu rencana yang akan menguntungkan mereka secara material. Rencana mereka adalah mengusulkan kepada Sang Buddha bahwa para bhikkhu muda dan samanera harus diminta datang kepada mereka untuk diberi perintah dan petunjuk lebih lanjut walaupun mereka telah diajar oleh guru mereka masing-masing. Sang Buddha,yang mengetahui sepenuhnya tujuan mereka, menolak usul itu. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu! Aku tidak mengatakan bahwa engkau baik hati hanya karena engkau mampu berbicara dengan fasih. Hanya dia yang telah menyingkirkan sifat iri hati dan semua kejahatan dengan mencapai ‘Jalan Kesucian Arahat’ (Arahatta Magga) yang dapat disebut o

Dhammapada Bab XIX (XIX:4. Kisah Bhaddiya Thera)

Suatu hari, tiga puluh bhikkhu datang untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Sang Buddha mengetahui bahwa telah tiba saatnya bagi ketiga puluh bhikkhu tersebut untuk mencapai tingkat kesucian arahat. Maka Beliau bertanya kepada mereka apakah mereka telah melihat seorang Thera saat mereka memasuki ruangan. Mereka menjawab bahwa mereka tidak melihat seorang Thera tetapi mereka hanya melihat seorang samanera muda ketika mereka masuk. Sang Buddha berkata kepada mereka, “Para bhikkhu! Orang tersebut bukanlah samanera, ia adalah seorang bhikkhu senior walaupun bentuk tubuhnya kecil dan sangat sederhana. Aku mengatakan bahwa seseorang tidak dapat disebut Thera hanya karena ia berusia tua dan tampak seperti seorang Thera; hanya ia yang memahami ‘Empat Kesunyataan Mulia’ dan tidak menyakiti orang lain yang dapat disebut seorang Thera.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 260 dan 261 berikut ini: Seseorang tidak disebut Thera hanya karena rambutnya telah memutih. Biarpun

Dhammapada Bab XIX (XIX:3. Kisah Arahat Ekudana)

Bhikkhu dalam cerita ini hidup di sebuah hutan kecil di dekat Savatthi. Ia dikenal dengan nama Ekudana, sebab ia hanya hafal satu bait saja dari Kitab Udana. Tetapi thera tersebut mengerti sepenuhnya makna Dhamma yang terkandung dalam bait tersebut. Pada setiap hari uposatha, dia mendesak orang lain untuk mendengarkan Dhamma, dan dia sendiri akan mengucapkan satu-satunya syair yang dihafalnya itu. Setiap kali ia selesai mengucapkan bait itu, para dewa dalam hutan itu memujinya dan menyambutnya dengan tepuk tangan yang meriah. Pada suatu hari uposatha, dua Thera yang terpelajar, yang benar-benar menguasai semua pelajaran Dhamma, diiringi oleh lima ratus bhikkhu datang ke tempat itu. Ekudana meminta kedua Thera tersebut untuk memberikan khotbah Dhamma. Mereka bertanya apakah banyak yang ingin mendengarkan Dhamma di tempat yang terpencil itu. Ekudana membenarkan dan juga menceritakan kepada mereka bahwa bahkan para dewa dalam hutan itu biasanya datang, dan mereka selalu memuji dan ber

Dhammapada Bab XIX (XIX:2. Kisah Kelompok Enam Bhikkhu)

Suatu ketika, terdapat kelompok enam bhikkhu yang selalu membuat keributan di tempat makan, baik di vihara maupun di desa. Suatu hari, ketika beberapa samanera sedang makan dan makanan yang mereka dapatkan, kelompok enam bhikkhu itu datang dan membual kepada para samanera, “Lihat! Hanya kamilah orang yang bijaksana.” Kemudian mereka melempar-lemparkan benda-benda ke sekeliling, meninggalkan tempat makan dalam keadaan kacau. Ketika Sang Buddha mendengar hal ini, Beliau berkata, “Para bhikkhu! Aku tidak menyebut orang yang banyak bicara, mencaci dan menggertak orang lain sebagai seorang bijaksana. Hanya mereka yang bebas dari kebencian dan tidak merugikan orang lainlah yang merupakan orang bijaksana.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 258 berikut: Seseorang tidak dapat dikatakan bijaksana hanya karena ia banyak bicara. Tetapi orang yang damai, tanpa rasa benci dan tanpa rasa takut dapat disebut orang bijaksana.

Dhammapada Bab XIX (XIX:1. Kisah Para Hakim)

Suatu hari, beberapa bhikkhu sedang berjalan pulang dari menerima dana makanan, ketika hujan turun dan mereka berteduh di suatu gedung pengadilan. Saat berada di sana, mereka melihat bahwa beberapa orang hakim, setelah menerima uang suap, membebaskan suatu perkara. Mereka melaporkan masalah ini kepada Sang Buddha dan Beliau berkata, “Para bhikkhu! Dalam memutuskan suatu perkara, jika seseorang terpengaruh oleh rasa kasihan atau pertimbangan keuangan, dia tidak dapat disebut sebagai ‘si adil’ atau ‘hakim yang patuh pada hukum’. Jika seseorang menimbang bukti-bukti dengan teliti dan memutuskan suatu kasus secara tidak memihak, maka ia disebut ‘si adil’ atau ‘hakim yang patuh pada hukum’.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 256 dan 257: Orang yang memutuskan segala sesuatu dengan tergesa-gesa tidak dapat dikatakan sebagai orang yang adil. Orang bijaksana hendaknya memeriksa dengan teliti mana yang benar dan mana yang salah. Orang ynag mengadili orang lain dengan tidak terges

Dhammapada Bab XVIII (XVIII:12. Kisah Subhadda Si Pertapa Pengembara)

Subhadda, si pertapa pengembara sedang menetap di Kusinara ketika ia mendengar bahwa Buddha Gotama akan mangkat, mencapai parinibbana pada waktu jaga terakhir malam itu. Subhadda mempunyai tiga pertanyaan yang telah lama membingungkannya. Ia telah menanyakan pertanyaan tersebut kepada guru-guru agama yang lain, misalnya Purana Kassapa, Makkhali Gosala, Ajita Kesakambala, Pakudha Kaccayana, Sancaya Belatthaputta dan Nigantha Nataputta, tetapi jawaban mereka tidak memuaskan baginya. Ia belum bertanya kepada Buddha Gotama, dan ia merasa bahwa hanya Sang Buddha lah yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Maka, ia bergegas pergi ke hutan pohon Sala, tetapi Y.A.Ananda tidak mengizinkannya bertemu dengan Sang Buddha, karena saat itu kondisi kesehatan Sang Buddha sangat lemah. Sang Buddha mendengar percakapan mereka dan Beliau berkenan untuk menemui Subhadda. Subhadda menanyakan tiga pertanyaan, yaitu: (1)     Apakah ada jalan di langit? (2)     Apakah ada bhikkhu-bhikkhu suci (s

Dhammapada Bab XVIII (XVIII:11. Kisah Ujjhanasanni Thera)

Ujjhanasanni Thera selalu mencari kesalahan dan membicarakan hal-hal buruk tentang orang lain. Bhikkhu-bhikkhu lain melaporkan hal ini kepada Sang Buddha. Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, jika seseorang menemukan kesalahan orang lain kemudian memberitahukan hal-hal yang benar, maka itu bukanlah perbuatan jahat, dan tidak dapat disalahkan. Tetapi, jika seseorang selalu mencari kesalahan orang lain dan membicarakan hal-hal buruk tentang orang lain hanya karena dengki dan iri hati, ia tidak akan mencapai konsentrasi dan pencerapan mental (jhana). Ia tidak akan bisa memahami Dhamma dan kekotoran batinnya (asava) akan bertambah.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 253 berikut: Barang siapa yang selalu memperhatikan dan mencari-cari kesalahan orang lain, maka kekotoran batin dalam dirinya akan bertambah dan ia semakin jauh dari penghancuran kekotoran-kekotoran batin.

Dhammapada Bab XVIII (XVIII:10. Kisah Mendaka Si Orang Kaya)

Suatu ketika, dalam perjalanan Beliau ke wilayah Anga dan Uttara, Sang Buddha mengetahui dari penglihatan luar biasa Beliau bahwa telah tiba saatnya bagi Mendaka, istrinya, putranya, menantunya, cucu perempuannya, dan pelayannya untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti. Mengingat kesempatan enam orang tersebut untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti, Sang Buddha pergi ke kota Baddiya. Mendaka adalah seorang pria yang teramat kaya raya. Menurut kabar, ia telah menemukan sejumlah besar patung kambing dari emas dalam ukuran yang sebenarnya di halaman belakang rumahnya. Karena alasan tersebut, ia dikenal sebagai Mendaka (kambing) si orang kaya. Menurut kabar pula, pada masa Buddha Vipassi, ia telah berdana berupa sebuah vihara untuk Buddha Vipassi dan sebuah gedung pertemuan lengkap dengan podium untuk berkhotbah. Selama pembangunan gedung tersebut, ia memberikan persembahan dana makanan kepada Buddha Vipassi dan para bhikkhu selama empat bulan. Kemudian, pada masa lain dalam ke

Dhammapada Bab XVIII (XVIII:9. Kisah Lima Murid Awam)

Pada suatu ketika, lima murid awam hadir pada saat Sang Buddha sedang berkhotbah Dhamma di Vihara Jetavana. Seorang dari mereka duduk tertidur, orang ke dua menggambar garis-garis di tanah dengan jarinya, orang ke tiga mencoba mengguncang sebatang pohon, dan orang ke empat memandangi langit. Orang ke lima merupakan satu-satunya murid yang mendengarkan Sang Buddha dengan hormat dan penuh perhatian. Ananda Thera, yang berada di dekat Sang Buddha sambil mengipasi Beliau melihat tingkah laku lima murid awam yang berbeda tersebut. Ia berkata kepada Sang Buddha, “Bhante! Sementara Bhante menguraikan Dhamma seperti tetesan air hujan jatuh dari langit, hanya satu dari lima orang itu yang mendengarkan dengan penuh perhatian.” Kemudian Ananda Thera menyampaikan tingkah laku yang berbeda dari empat orang itu terhadap Sang Buddha dan bertanya mengapa mereka bertingkah laku demikian. Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda Thera, “Ananda, orang-orang ini tidak dapat menyingkirkan kebiasaan lama

Dhammapada Bab XVIII (XVIII:8. Kisah Tissa)

Tissa, seorang bhikkhu muda, mempunyai kebiasaan yang sangat buruk yaitu melecehkan kemurahan hati dan perbuatan baik orang lain. Ia bahkan mencela dana yang diberikan oleh Anathapindika dan Visakha. Di samping itu, ia membual bahwa teman-temannya sangatlah kaya bagaikan sumur, dimana setiap orang bisa mendapatkan air. Mendengar ia membual demikian, para bhikkhu yang lain tidak percaya; maka mereka memutuskan untuk menemukan kebenarannya. Beberapa bhikkhu muda pergi ke desa asal Tissa dan mencari keterangan tentang hal ini. Mereka menemukan kenyataan bahwa semua teman-teman Tissa miskin, dan selama ini Tissa hanya membual saja. Ketika Sang Buddha mendengar hal ini, Beliau berkata, “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang tidak senang orang lain menerima pemberian dan persembahan, ia tidak akan pernah mencapai ‘Jalan dan Hasil Kesucian’ (Magga dan Phala).” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 249 dan 250 berikut ini: Orang-orang memberi sesuai dengan keyakinan dan menurut kesenan

Dhammapada Bab XVIII (XVIII:7. Kisah Lima Murid Awam)

Suatu ketika, lima murid awam melewatkan hari puasa (Uposatha) di Vihara Jetavana. Sebagian besar dari mereka hanya menjalankan satu atau dua peraturan moral (sila) saja dari ‘Lima Peraturan Moral’ (Pancasila). Masing-masing dari mereka yang menjalankan salah satu sila tertentu menyatakan bahwa sila yang dijalankannya merupakan sila yang paling sulit dan kemudian terjadi perdebatan. Akhirnya, mereka menghadap Sang Buddha dengan membawa masalah ini. Kepada mereka Sang Buddha berkata, “Engkau tidak boleh menganggap suatu sila itu mudah ataupun tidak penting. Setiap sila harus dijalankan dengan ketat. Jangan menganggap ringan sila yang mana pun; tidak ada sila yang mudah dijalankan.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 246, 247, dan 248 berikut ini: Barang siapa membunuh makhluk hidup, suka berbicara tidak benar, mengambil apa yang tidak diberikan, merusak kesetiaan isteri orang lain, Atau menyerah pada minuman yang memabukkan; maka di dunia ini orang seperti itu bagaikan men

Dhammapada Bab XVIII (XVIII:6. Kisah Culasari)

Suatu hari, Culasari berjalan pulang dari mengunjungi seorang pasien. Dalam perjalanan ia berjumpa Sariputta Thera dan bercerita bagaimana ia merawat seorang pasien serta mendapatkan makanan enak untuk pelayanannya. Ia juga meminta Sariputta Thera untuk menerima darinya sebagian dari makanan tersebut. Sariputta Thera tidak mengatakan apapun kepadanya melainkan terus melanjutkan perjalanannya. Sariputta Thera menolak menerima makanan dari bhikkhu itu karena bhikkhu tersebut telah melanggar peraturan yang melarang para bhikkhu membuka praktek pengobatan. Bhikkhu-bhikkhu lain melaporakan hal ini kepada Sang Buddha dan Beliau berkata kepada mereka, “Para bhikkhu! Seorang bhikkhu yang tidak tahu malu itu buruk dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Ia sombong seperti seekor gagak, ia menghidupi diri dengan cara yang melanggar peraturan dan hidup dalam kenikmatan. Di sisi lain, kehidupan bagi seorang bhikkhu yang memiliki malu tidaklah mudah.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 2

Dhammapada Bab XVIII (XVIII:5. Kisah Seorang Pria Yang Istrinya Melakukan Penyelewengan)

Suatu ketika, ada seorang istri yang menyeleweng. Suaminya begitu malu atas kelakuan istrinya sehingga ia tidak berani menemui ornag lain; ia juga menghindari Sang Buddha. Setelah beberapa waktu, ia pergi menjumpai Sang Buddha dan Beliau bertanya mengapa laki-laki itu tidak kelihatan selama ini dan ia pun menjelaskan semuanya. Setelah mendengarkan alasan ketidak-hadiran laki-laki itu, Sang Buddha berkata, “Murid-Ku, wanita itu seperti sebuah sungai, atau jalan, atau toko minuman, atau rumah peristirahatan, atau pot air, yang berdiri di pinggir jalan, mereka berhubungan dengan semua jenis orang. Tentunya hubungan intim yang salah merupakan penyebab kehancuran seorang wanita.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 242 dan 243 berikut ini: Kelakuan buruk adalah noda bagi seorang wanita, kekikiran adalah noda bagi seorang dermawan. Sesungguhnya, segala bentuk kejahatan merupakan noda, baik dalam dunia ini maupun dalam dunia selanjutnya. Yang lebih buruk dari semua noda adalah ke

Dhammapada Bab XVIII (XVIII:4. Kisah Laludayi)

Di Savatthi, banyak orang memberikan pujian setelah mendengar khotbah-khotbah dari dua Murid Utama, Sariputta Thera dan Maha Moggallana Thera. Suatu ketika, Laludayi, setelah mendengar pujian mereka, ia berkata kepada orang-orang tersebut bahwa mereka akan mengatakan hal yang sama tentang dirinya setelah mendengar khotbah-khotbahnya. Mendengar hal itu, Laludayi diminta untuk menyampaikan suatu khotbah. Ia naik ke panggung khotbah tetapi ia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Maka ia meminta para pendengar untuk mempersilakan bhikkhu yang lain terlebih dahulu dan ia akan mengambil giliran berikutnya. Dengan cara yang sama, ia menunda sampai tiga kali. Para pendengar kehilangan kesabaran dan berteriak, “Engkau orang bodoh! Ketika kami memuji kedua Murid Utama engkau membual bahwa engkau bisa berkhotbah seperti mereka. Mengapa engkau tidak berkhotbah sekarang?” Laludayi melarikan diri dan kerumunan orang tersebut mengejarnya. Karena sangat takut dan tidak memperhatikan ke mana

Dhammapada Bab XVIII (XVIII:3. Kisah Tissa Thera)

Suatu saat seorang Thera bernama Tissa tinggal di Savatthi. Pada suatu hari, ia menerima seperangkat jubah yang bagus dan merasa sangat senang. Ia bermaksud mengenakan jubah tersebut keesokan harinya. Tetapi pada malam hari ia meninggal dunia. Karena melekat pada seperangkat jubah yang bagus itu, ia terlahir kembali sebagai seekor kutu yang tinggal di dalam lipatan jubah tersebut. Karena tidak ada orang yang mewarisi benda miliknya, diputuskan bahwa seperangkat jubah tersebut akan dibagi bersama oelh bhikkhu-bhikkhu yang lain. Ketika para bhikkhu sedang bersiap untuk membagi jubah di antara mereka, si kutu sangat marah dan berteriak, “Mereka sedang merusak jubahku!” Teriakan ini didengar oleh Sang Buddha dengan kemampuan pendengaran luar biasa Beliau. Maka Beliau mengirim seseorang untuk menghentikan perbuatan para bhikkhu, dan memberi petunjuk kepada mereka untuk menyelesaikan masalah jubah itu setelah tujuh hari. Pada hari ke delapan, seperangkat jubah milik Tissa Thera itu dib

Dhammapada Bab XVIII (XVIII:2. Kisah Seorang Brahmana)

Suatu saat seorang brahmana menyaksikan sekelompok bhikkhu sedang membenahi jubah, ketika mereka mempersiapkan diri memasuki kota untuk menerima dana makanan. Sementara menyaksikan, ia melihat bahwa jubah beberapa bhikkhu tersebut menyentuh tanah dan menjadi basah oleh embun yang terdapat di rerumputan. Maka ia membersihkan bidang tanah itu. Hari berikutnya, ia melihat bahwa jubah para bhikkhu menyentuh tanah lumpur, jubah tersebut menjadi kotor. Maka ia menutupi tanah tersebut dengan pasir. Kemudian pula, ia memperhatikan bahwa para bhikkhu akan berkeringat saat matahari bersinar dan menjadi basah saat hujan turun. Akhirnya, ia membangun sebuah rumah peristirahatan untuk para bhikkhu di tempat di mana mereka berkumpul sebelum memasuki kota untuk menerima dana makanan. Ketika bangunan tersebut telah selesai, ia mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu untuk menerima dana makanan. Brahmana tersebut menjelaskan kepada Sang Buddha bagaimana ia telah melaksanakan perbuatan baik terseb

Dhammapada Bab XVIII (XVIII:1. Kisah Putra Seorang Penjagal)

Suatu ketika di Savatthi, ada seorang pria yang menjadi penjagal ternak selama dua puluh lima tahun. Selama itu, ia menyembelih ternak dan menjual dagingnya, dan setiap hari ia makan nasi dengan kari daging. Suatu hari, ia memberikan sedikit daging kepada istrinya agar dimasak untuk keluarga mereka, kemudian ia pergi mandi ke tepi sungai. Saat penjagal itu pergi, seorang teman membujuk istrinya untuk menjual sekerat daging tadi kepadanya. Akibatnya tidak ada kari daging untuk si penjagal pada hari itu. Karena ia tidak pernah makan tanpa kari daging, maka si penjagal bergegas pergi ke belakang rumah, di mana terdapat seekor sapi jantan. Ia memotong lidah sapi jantan tersebut dan memanggangnya di atas api. Ketika makan, si penjagal menggigit lidah sapi jantan tersebut, tetapi bersamaan dengan itu lidahnya sendiri tergigit putus dan jatuh ke atas piring nasi. Jadi sapi jantan dan si penjagal mengalami penderitaan yang sama, sama-sama terpotong lidahnya. Si penjagal mengalami kesakit

Dhammapada Bab XVII (XVII:8. Kisah Enam Bhikkhu)

Enam bhikkhu dengan mengenakan sandal kayu, serta masing-masing memegang tongkat pada kedua tangannya, berjalan mondar mandir pada sebuah batu yang besar, sehingga menimbulkan suara keras. Sang Buddha mendengar suara ribut itu dan bertanya kepada Ananda Thera, apa yang terjadi. Ananda Thera menjelaskan perihal perilaku enam bhikkhu tersebut. Kemudian Sang Buddha melarang para bhikkhu untuk menggunakan sandal kayu. Selanjutnya Beliau menganjurkan para bhikkhu agar mengendalikan diri mereka; baik dalam ucapan maupun perbuatannya. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 231, 232, 233, dan 234 berikut ini: Hendaklah orang selalu menjaga rangsangan jasmani, hendaklah ia selalu mengendalikan jasmaninya. Setelah menghentikan perbuatan-perbuatan jahat melalui jasmani, hendaklah ia giat melakukan perbuatan-perbuatan baik melalui jasmani. Hendaklah orang selalu menjaga rangsangan ucapan, hendaklah ia mengendalikan ucapannya. Setelah menghentikan perbuatan-perbuatan jahat melalui ucapan, h

Dhammapada Bab XVII (XVII:7. Kisah Atula Seorang Umat Awam)

Suatu saat Atula bersama dengan 500 orang temannya, mengunjungi Revata Thera, dengan harapan dapat mendengarkan Dhamma. Revata Thera yang pendiam seperti seekor singa tidak mengatakan apapun pada mereka. Atula dan teman-temannya sangat tidak puas dan kemudian pergi menghadap Sariputta Thera. Saat Sariputta Thera mengetahui mengapa mereka datang ke hadapannya, beliau menjelaskan Abhidhamma secara mendalam. Apa yang dijelaskan Sariputta Thera juga bukanlah yang mereka harapkan, dan mereka mengeluh bahwa Sariputta Thera terlalu panjang dan terlalu mendalam. Kemudian Atula dan rombongannya mendekati Ananda Thera. Ananda Thera menjelaskan pada mereka sedikit tentang inti dari ajaran Dhamma. Kali itu, mereka menilai bahwa penjelasan Ananda Thera terlalu singkat dan kurang lengkap. Akhirnya mereka menghadap Sang Buddha dan berkata kepada Beliau, “Bhante, kami datang untuk mendengarkan ajaran-Mu. Kami telah menemui beberapa guru sebelum kami datang kemari, tapi kami tidak puas terhadap m

Dhammapada Bab XVII (XVII:6. Kisah Punna Seorang Budak Wanita)

Suatu malam, Punna, seorang budak wanita, sedang menumbuk padi untuk tuannya. Karena lelah ia beristirahat sejenak. Saat beristirahat, ia melihat Dabba Thera memimpin beberapa bhikkhu berjalan menuju vihara setelah mereka mendengarkan Dhamma. Gadis itu melihat mereka masih terjaga, ia pun termenung, “Aku masih terjaga hingga larut malam karena aku seorang yang miskin dan harus bekerja keras. Tapi mengapa orang-orang baik ini masih terjaga pada malam selarut ini? Mungkinkah ada bhikkhu yang sakit, ataukah mereka diganggu seekor ular?” Esok pagi harinya, Punna mengambil sedikit beras hancur, merendamnya dalam air dan mengolahnya menjadi roti. Kemudian dengan maksud memakannya di tepi sungai, ia membawa roti kasar dan sederhana itu bersamanya. Pada saat itu ia melihat Sang Buddha datang dan sedang berpindapatta. Ia bermaksud mendanakan roti itu pada Sang Buddha, tapi ia tak yakin apakah Sang Buddha berkenan memakan roti murah yang kasar itu. Sang Buddha mengetahui apa yang dipikirka

Dhammapada Bab XVII (XVII:5. Kisah Seorang Brahmana Yang Mengaku Sebagai “Ayah Sang Buddha”)

Suatu saat Sang Buddha bersama beberapa bhikkhu memasuki kota Saketa untuk berpindapatta. Seorang brahmana tua, melihat Sang Buddha, mendekati-Nya dan berseru, “O Nak! Mengapa engkau tidak mengizinkan kami melihatmu selama ini? Ikutlah bersamaku dan biarlah ibumu juga melihatmu.” Setelah berkata demikian, ia mengundang Sang Buddha ke rumahnya. Sesampainya di rumah, istri brahmana pun mengatakan hal yang sama dan memperkenalkan Sang Buddha sebagai ‘kakak tertua’ kepada anak-anaknya dan menyuruh mereka memberi hormat kepada-Nya. Sejak hari itu suami istri tersebut memberikan dana makanan kepada Sang Buddha setiap hari dan setelah mendengarkan beberapa khotbah Dhamma, suami dan istri itu mencapai tingkat kesucian anagami. Para bhikkhu heran mengapa pasangan brahmana itu mengatakan bahwa Sang Buddha adalah putra mereka; mereka pun bertanya kepada Sang Buddha. Kemudian Sang Buddha menjelaskan, “Para bhikkhu, mereka memanggilku ‘Nak’ karena aku adalah anak atau kemenakan dari salah satu

Dhammapada Bab XVII (XVII:4. Kisah Pertanyaan Maha Moggallana Thera)

Ketika itu Maha Moggallana Thera mengunjungi alam surga dan menjumpai banyak dewa yang tinggal di tempat mewah. Beliau bertanya kepada mereka, perbuatan baik apa yang menyebabkan mereka terlahir di alam surga, dan mereka pun memberikan jawaban yang berbeda-beda. Dewa yang satu mengatakan ia terlahir di alam surga bukan karena ia banyak berdana atau sering mendengarkan Dhamma, tetapi hanya karena ia selalu berbicara benar. Dewa kedua adalah dewa wanita yang terlahir di alam surga karena ia tidak pernah marah pada tuannya dan tidak memiliki maksud buruk padanya meskipun tuannya sering memukul dan menyiksanya. Dengan meredam kemarahan dan menghindari kebencian, ia terlahir di alam surga. Selanjutnya, ada yang terlahir di alam surga karena sedikit berdana seperti mendanakan sebatang gula tebu, buah, atau beberapa sayuran kepada seorang bhikkhu atau pada orang lain. Setelah kembali dari alam surga, Maha Moggallana Thera bertanya kepada Sang Buddha, apakah mungkin meraih banyak keuntunga

Dhammapada Bab XVII (XVII:3. Kisah Uttara Seorang Umat Awam)

Uttara adalah putri dari Punna, seorang buruh tani yang bekerja pada pria kaya bernama Sumana di Rajagaha. Suatu hari, Punna dan istrinya berdana makanan kepada Sariputta Thera di saat beliau baru saja mencapai keadaan pencerapan mental yang dalam (nirodha samapatti). Sebagai akibat dari perbuatan baik itu mereka mendadak menjadi kaya. Punna menemukan emas di tanah yang ia bajak, dan secara resmi raja menyatakan Punna sebagai seorang bankir yang besar. Pada suatu kesempatan, Punna sekeluarga berdana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu selama tujuh hari, dan pada hari ke tujuh, setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, mereka sekeluarga mencapai tingkat kesucian sotapatti. Kemudian Uttara, putri Punna, menikah dengan anak dari Sumana. Keluarga Sumana bukan keluarga Buddhis, sehingga Uttara tidak merasa bahagia di rumah suaminya. Ia pun bercerita kepada ayahnya, Punna, “Ayah, mengapa ayah mengurung saya di kandang ini? Di sini saya tidak melihat para bhikkhu dan saya tidak

Dhammapada Bab XVII (XVII:2. Kisah Seorang Bhikkhu)

Suatu ketika, seorang bhikkhu dari Alavi hendak membangun sebuah vihara untuk dirinya sendiri, dan ia pun mulai menebang sebuah pohon. Dewa yang mendiami pohon tersebut (Rukkha Deva), mencoba untuk mencegahnya, dengan alasan bahwa ia dan bayinya tak tahu ke mana lagi harus tinggal. Gagal menghentikan perbuatan sang bhikkhu, kemudian dewa itu meletakkan anaknya pada sebuah dahan, berharap bahwa hal itu akan membuat sang bhikkhu berhenti menebang. Namun, bhikkhu tersebut terlanjur mengayunkan kapaknya dan ia tidak dapat menghentikannya seketika, dan tanpa sengaja memotong lengan anak tersebut. Melihat bayinya terluka, sang ibu menjadi marah dan bermaksud membunuh bhikkhu tersebut. Ketika ia mulai mengangkat kedua tangannya untuk menyerang, tiba-tiba ia berhenti dan berpikir, “Bila aku membunuh seorang bhikkhu, berarti aku membunuh seseorang yang menjalankan peraturan moral (sila). Hal ini akan membuat aku menderita di alam neraka (niraya). Dewa pohon lainnya akan meniru apa yang kuperb

Dhammapada Bab XVII (XVII:1. Kisah Putri Rohini)

Pada suatu saat Anuruddha Thera mengunjungi Kapilavatthu. Saat Anuruddha berdiam di vihara, semua anggota keluarganya, kecuali Rohini, datang mengunjunginya. Saat mengetahui bahwa ketidakhadiran Rohini disebabkan ia menderita kusta, Anuruddha Thera menyuruh salah satu anggota keluarganya untuk memanggilnya. Dengan menutupi kepalanya karena malu, Rohini pun datang. Anuruddha Thera menyarankan agar ia melakukan perbuatan baik. Beliau menganjurkan agar Rohini menjual beberapa pakaian dan perhiasannya, dan uang hasil penjualan tersebut dapat dipergunakan untuk membangun sebuah kuti bagi para bhikkhu. Rohini setuju dengan apa yang dinasehatkan kepadanya. Anuruddha Thera juga meminta anggota keluarganya yang lain untuk membantu pembangunan tersebut. Selanjutnya Anuruddha Thera meminta Rohini untuk menyapu lantai dan mengisi tempat air setiap hari meskipun pembangunan kuti sedang berlangsung. Rohini melakukan semua yang dianjurkan dan kesehatannya pun semakin membaik. Saat bangunan kuti i

Dhammapada Bab XVI (XVI:9. Kisah Nandiya)

Nandiya adalah seorang kaya berasal dari Baranasi. Setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha tentang manfaat membangun vihara-vihara untuk para bhikkhu, Nandiya membangun Vihara Mahavihara di Isipatana. Bangunan tersebut tinggi dan penuh perabotan. Segera vihara tersebut dipersembahkan kepada Sang Buddha, sebuah rumah besar muncul untuk Nandiya di alam surga Tavatimsa. Suatu hari, ketika Maha Moggallana mengunjungi alam surga Tavatimsa, dia melihat sebuah rumah besar diperuntukkan bagi pendana Vihara Mahavihara di Isipatana. Setelah kembali dari alam surga Tavatimsa, Maha Moggallana Thera bertanya kepada Sang Buddha, “Bhante! Untuk mereka yang melakukan perbuatan baik apakah mereka akan mempunyai rumah besar dan kekayaan lain tersedia di alam surga, meskipun mereka masih hidup di dunia ini?” Kepadanya Sang Buddha berkata, “Anak-Ku, mengapa kamu bertanya hal itu? Apakah kamu tidak melihat rumah besar dan kekayaan menunggu untuk Nandiya di alam surga Tavatimsa? Para dewa menunggu ke

Dhammapada Bab XVI (XVI:8. Kisah Seorang Thera Anagami)

Suatu saat murid-murid dari seorang thera bertanya kepadanya apakah dia telah mencapai tingkat ‘Jalan Kesucian’ (Magga); tetapi sang thera tidak berkata apa-apa meskipun dia telah mencapai ‘Jalan Kesucian Anagami’ (Anagami Magga), Magga ketiga. Dia berdiam diri karena dia memutuskan untuk tidak membicarakan tentang pencapaiannya hingga dia mencapai tingkat kesucian arahat. Tetapi sang thera meninggal dunia sebelum mencapai tingkat kesucian arahat, dan juga tidak berkata sesuatupun tentang pencapaian Anagami Magganya. Murid-muridnya berpikir guru mereka meninggal dunia tanpa mencapai tingkatan Magga dan mereka merasa menyesalinya. Mereka pergi menghadap Sang Buddha dan bertanya di mana guru mereka dilahirkan kembali. Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu! Gurumu telah mencapai Anagami Magga sebelum meninggal dunia, sekarang dia lahir kembali di alam brahma (Sudhavasa Brahmaloka). Dia tidak menyatakan pencapaian Anagami Magganya karena merasa malu bahwa dia hanya mencapai itu, dan dia

Dhammapada Bab XVI (XVI:7. Kisah Lima Ratus Anak Laki-laki)

Pada suatu hari festival, Sang Buddha memasuki kota Rajagaha untuk berpindapatta dengan ditemani oleh sejumlah bhikkhu. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan lima ratus anak laki-laki yang sedang berjalan menuju ke suatu taman yang indah. Anak-anak itu membawa beberapa keranjang kue pancake tetapi mereka tidak memberikan satupun kepada Sang Buddha dan para bhikkhu. Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu, kamu akan memakan pancake itu hari ini; pemiliknya akan datang mendekati kita. Kita akan mendapatkannya hanya setelah ada yang mengambil beberapa pancake.” Setelah mengatakan hal itu, Sang Buddha dan para bhikkhu berteduh di bawah pohon. Pada waktu itu Kassapa Thera datang ke sana sendirian. Anak-anak itu melihatnya dan kemudian menghormat Kassapa Thera, serta mendanakan pancake mereka kepada Sang Thera. Kassapa Thera kemudian berkata kepada anak-anak itu, “Guruku Yang Mulia beristirahat di sana di bawah pohon ditemani oleh beberapa bhikkhu. Pergi dan danaka

Dhammapada Bab XVI (XVI:6. Kisah Seorang Brahmana)

Ada seorang brahmana tinggal di Savatthi, dan dia bukan seorang Buddhis. Tetapi Sang Buddha mengetahui bahwa sang brahmana akan mencapai tingkat kesucian sotapatti dalam waktu dekat. Maka Sang Buddha pergi ke tempat brahmana membajak ladangnya dan mengajak berbicara dengannya. Brahmana menjadi bersahabat dan berterima kasih kepada Sang Buddha yang telah berkenalan dengannya dan memperhatikan pekerjaannya di ladang. Suatu hari dia berkata kepada Sang Buddha, “Samana Gotama, bila nanti saya menuai padi dari ladang ini, pertama kali saya akan memberikan sebagian hasil panen ini kepadamu sebelum saya mengambilnya. Saya tidak akan memakan beras saya sebelum saya memberikan kepadamu.” Akan tetapi Sang Buddha mengetahui bahwa brahmana itu tidak mempunyai kesempatan untuk memanen padi dari ladangnya tahun itu, tetapi Beliau berdiam diri. Kemudian pada malam sebelum si brahmana memanen padinya, turun hujan lebat menyapu semua tanaman padinya. Sang brahmana sangat sedih karena dia tidak mu

Dhammapada Bab XVI (XVI:5. Kisah Anitthigandha Kumara)

Anitthigandha tinggal di Savatthi. Dia akan menikah dengan seorang wanita muda cantik dari kota Sagala, dari Negara Maddas. Pengantin wanita datang dari kotanya ke Savatthi, dia jatuh sakit dan meninggal dunia dalam perjalanan. Ketika pengantin pria mendengar kabar tentang kematian pengantin wanitanya, dia menjadi putus asa. Dalam keadaan ini, Sang Buddha mengetahui bahwa waktunya sudah matang bagi pemuda itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti, Sang Buddha menuju ke rumah pemuda tersebut. Orang tua pemuda itu memberi dana makanan kepada Sang Buddha. Setelah bersantap, Sang Buddha meminta orang tua pemuda itu untuk membawa anaknya menghadap Sang Buddha. Ketika pemuda itu tiba, Sang Buddha bertanya mengapa dia sedih dan putus asa, pemuda itu menjelaskan seluruh kejadian tragis kematian pengantin wanitanya. Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya, “O Anitthigandha! Dari nafsu timbul kesedihan; tergantung dari nafsu terhadap barang-barang dan kesenangan duniawai, kesedihan sert

Dhammapada Bab XVI (XVI:4. Kisah Pangeran-pangeran Licchavi)

Pada suatu hari festival Sang Buddha memasuki kota Vesali ditemani oleh serombongan bhikkhu. Di perjalanan, mereka bertemu beberapa Pangeran Licchavi yang mengenakan pakaian bagus. Sang Buddha melihat mereka penuh dengan tanda-tanda kebesaran, berkata kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu, siapa saja yang tidak pernah ke alam Dewa Tavatimsa seharusnya melihat pangeran-pangeran Licchavi ini.” Pangeran-pangeran itu menuju ke taman yang indah. Di sana mereka bertengkar perihal seorang pelacur dan pertengkaran itu menjadi perkelahian. Sebagai hasilnya beberapa dari mereka berdarah dan dibawa pulang. Ketika Sang Buddha bersama para bhikkhu berjalan pulang setelah bersantap di kota, mereka melihat pangeran yang luka-luka dibawa pulang ke rumahnya. Berkaitan dengan kejadian tersebut para bhikkhu berkata, “Demi seorang wanita, pangeran-pangeran Licchavi ini bertangkar.” Kepada mereka, Sang Buddha menjelaskan, “Para bhikkhu, penderitaan dan ketakutan timbul dari kesenangan duniawi dan kemela

Dhammapada Bab XVI (XVI:3. Kisah Visakha)

Suatu hari, seorang cucu Visakha yang bernama Sudatta meninggal dunia, dan Visakha merasa sangat kehilangan dan bersedih atas kematian cucu tersebut. Maka dia pergi menghadap Sang Buddha. Ketika Sang Buddha melihatnya, Beliau berkata, “Visakha, tidakkah kamu menyadari bahwa banyak orang meninggal dunia di Savatthi setiap hari? Jika kamu memperhatikan mereka semua seperti kamu memperhatikan cucumu, kamu pasti akan menangis dan berkabung tiada henti-hentinya. Jangan biarkan kematian seorang anak mempengaruhi kamu berlebih-lebihan. Kesedihan dan ketakutan timbul dari kecintaan.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 213 berikut: Dari cinta timbul kesedihan, dari cinta timbul ketakutan; bagi orang yang telah bebas dari rasa cinta, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.

Dhammapada Bab XVI (XVI:2. Kisah Seorang Perumah Tangga Kaya)

Suatu saat seorang perumah tangga merasa sangat sedih atas kematian putranya. Dia sering pergi ke makam dan menangis di sana. Suatu pagi, Sang Buddha melihat perumah tangga kaya tersebut dalam penglihatan Beliau. Oleh karena itu, Sang Buddha bersama seorang bhikkhu pergi menuju ke rumah perumah tangga kaya tersebut. Di sana, Sang Buddha bertanya kepada lelaki tersebut mengapa dia merasa sangat tidak bahagia. Lelaki tersebut menjelaskan kepada Sang Buddha tentang kematian putranya, dan tentang kesedihan serta duka cita penderitaannya. Kepadanya Sang Buddha berkata, “Murid-Ku, kematian tidak hanya terjadi di suatu tempat. Semua makhluk yang dilahirkan pasti akan mengalami kematian pada suatu hari, sesungguhnya kehidupan berakhir dengan kematian. Kamu harus menyadari kenyataan bahwa kehidupan berakhir dengan kematian. Janganlah kau anggap hanya putra tersayangmu saja yang mengalami kematian. Jangan terlalu sedih ataupun terlalu goncang. Duka cita dan ketakutan timbul dari kesayangan.”

Dhammapada Bab XVI (XVI:1. Kisah Tiga Pertapa)

Suatu ketika terjadi di Savatthi, satu-satunya putra dari sebuah keluarga, pertama kali menjadi seorang bhikkhu, kemudian sang ayah mengikuti menjadi bhikkhu, dan akhirnya sang ibu menjadi seorang bhikkhuni. Mereka sangat dekat satu sama lainnya sehingga mereka jarang tinggal terpisah. Keluarga itu tinggal di vihara seperti tinggal di rumah sendiri, berbicara dan makan bersama, membuat bhikkhu-bhikkhu lain merasa terganggu. Bhikkhu lain melaporkan kelakuan mereka kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha memanggil mereka. Sang Buddha berkata, “Sekali kamu telah bergabung dalam pasamuan Sangha, kamu seharusnya tidak lagi tinggal bersama seperti sebuah keluarga. Jangan melihat mereka yang kau cinta dan melihat mereka yang tidak kau cinta, kedua hal itu merupakan penderitaan, maka kamu seharusnya tidak tergantung kepada seseorang atau sesuatu yang kamu cintai.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 209, 210, dan 211 berikut ini: Orang yang memperjuangkan apa yang seharusnya dihindari,

Dhammapada Bab XV (XV:8. Kisah Sakka)

Kira-kira sepuluh bulan sebelum Sang Buddha merealisasi kebebasan akhir (parinibbana), Beliau melaksanakan masa vassa di Veluva, sebuah desa dekat Vesali. Ketika bertempat tinggal di sana, Beliau mengalami sakit disentri. Ketika Dewa Sakka mengetahui Sang Buddha sakit, dia datang ke desa Veluva untuk merawat Sang Buddha selama sakit. Sang Buddha berkata kepadanya agar jangan mengkhawatirkan perihal kesehatan Beliau karena terdapat banyak bhikkhu di dekat Beliau. Tetapi Sakka tidak mendengarkan-Nya dan tetap merawat Sang Buddha hingga sembuh. Para bhikkkhu terkesan dan kagum mengetahui Sakka sendiri yang merawat Sang Buddha. Ketika Sang Buddha mendengar kata-kata para bhikkhu, Beliau berkata, “Para bhikkhu! Tidaklah mengagetkan perihal cinta kasih dan bakti Sakka kepada Saya. Pernah, ketika Sakka yang dulu bertambah tua dan akan meninggal dunia, dia datang menjumpai Saya. Kemudian Saya menjelaskan Dhamma kepadanya. Saat mendengarkan Dhamma dia mencapai tingkat kesucian sotapatti;

Dhammapada Bab XV (XV:7. Kisah Tissa Thera)

Ketika Sang Buddha mengumumkan bahwa dalam waktu empat bulan lagi. Beliau akan merealisasi ‘Kebebasan Akhir’ (parinibbana), banyak bhikkhu puthujjana gelisah. Mereka kehilangan dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan, maka mereka selalu berada dekat dengan Sang Buddha. Tetapi Tissa Thera memutuskan bahwa dia akan mencapai tingkat kesucian arahat pada saat Sang Buddha masih hidup. Dia tidak pergi ke dekat Sang Buddha, tetapi dia pergi ke suatu tempat menyendiri untuk berlatih meditasi. Bhikkhu-bhikkhu lain tidak mengerti hal itu, sehingga mereka membawa Tissa Thera menghadap Sang Buddha, dan mereka berkata, “Bhante, bhikkhu ini tidak kelihatan menghargai dan menghormati Bhante, dia hanya peduli pada dirinya sendiri, tidak kepada kehadiran Bhante.” Tissa Thera kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa dia berusaha keras untuk mencapai tingkat kesucian arahat sebelum Sang Buddha mangkat (parinibbana), dan itulah alasannya mengapa dia tidak datang mendekat Sang Buddha. Setelah mend

Dhammapada Bab XV (XV:6. Kisah Raja Pasenadi Dari Kosala)

Suatu hari Raja Pasenadi dari Kosala pergi ke Vihara Jetavana setelah menyelesaikan makan pagi. Dikatakan raja telah memakan seperempat keranjang (kira-kira setengah gantang) nasi dengan kari daging pada hari itu. Maka pada saat mendengarkan khotbah Sang Buddha, dia tertidur dan mengantuk sepanjang waktu. Melihat dia mengantuk, Sang Buddha menasehati dia untuk memakan sedikit nasi setiap harinya, dan mengurangi sedikit demi sedikit nasi setiap hari sehingga mencapai jumlah minimum dari seperenambelas jumlah nasi yang biasa dimakan. Raja melaksanakan nasehat yang dikatakan Sang Buddha. Dengan memakan sedikit nasi dia menjadi kurus, dan merasa sangat ringan. Raja menikmati kesehatan yang lebih baik. Ketika dia mengabarkan hal itu kepada Sang Buddha, Beliau berkata kepadanya, “O Raja! Kesehatan adalah anugerah yang besar, kepuasan adalah kekayaan yang besar, kepercayaan adalah kerabat terbaik, nibbana adalah kebahagiaan tertinggi.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 204 beriku

Dhammapada Bab XV (XV:5. Kisah Seorang Murid Awam)

Suatu hari Sang Buddha mengetahui dari penglihatan-Nya bahwa terdapat seorang laki-laki miskin yang akan mampu mencapai tingkat kesucian sotapatti di desa Alavi. Maka Sang Buddha pergi ke desa tersebut yang berjarak 30 yojana dari Savatthi. Pada dini hari laki-laki tersebut kehilangan kerbau, maka dia pergi mencari kerbaunya. Sementara itu dana makanan sedang diberikan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu di sebuah rumah di desa Alavi. Setelah bersantap, orang-orang bersiap untuk mendengarkan khotbah Sang Buddha; tetapi Sang Buddha menunggu laki-laki itu. Setelah menemukan kerbaunya, laki-laki itu datang dengan berlari-lari ke rumah di mana Sang Buddha berada. Laki-laki tersebut letih dan lapar, maka Sang Buddha meminta pada pendana yang berada di situ untuk memberi makan kepada laki-laki tersebut. Setelah laki-laki tersebut selesai makan, Sang Buddha memberikan khotbah, menjelaskan Dhamma tahap demi tahap, dan akhirnya sampai pada penjelasan tentang ‘Empat Kebenaran Mulia’ Murid

Dhammapada Bab XV (XV:4. Kisah Pengantin Muda Wanita)

Pada hari pernikahan seorang wanita muda, orang tua pengantin wanita mengundang Sang Buddha dan delapan puluh bhikkhu untuk menerima dana makanan. Melihat si gadis di rumahnya membantu mempersembahkan dana makanan, pengantin pria sangat gembira dan dia dapat sungguh-sungguh memperhatikan kebutuhan Sang Buddha dan bhikkhu-bhikkhu lainnya. Sang Buddha mengetahui dengan pasti perasaan pengantin laki-laki itu. Pada saat itu pengantin laki-laki dan pengantin wanita sudah siap untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti. Dengan kemampuan batin luar biasa-Nya, Sang Buddha membuat pengantin wanita tidak tampak oleh pengantin laki-laki. Saat laki-laki muda itu tidak lagi melihat pengantin wanita, dia dapat mencurahkan perhatiannya kepada Sang Buddha, sehingga hormatnya kepada Sang Buddha bertambah kuat. Kemudian Sang Buddha berkata pada laki-laki muda itu, “O anak muda, tidak ada api yang menyamai nafsu, tidak ada kejahatan yang menyamai marah dan benci, tidak ada penderitaan yang menyamai

Dhammapada Bab XV (XV:3. Kisah Kekalahan Raja Kosala)

Dalam pertempuran melawan Ajatasattu, Raja Kosala kalah tiga kali. Ajatasattu adalah anak dari Raja Bimbisara dan Ratu Vedehi, saudara perempuan dari Raja Kosala. Raja Kosala malu dan sangat sedih atas kekalahannya. Kemudian dia mengeluh, “Sungguh memalukan! Saya bahkan tidak dapat menaklukkan anak yang masih berbau susu ibunya. Lebih baik saya meninggal dunia.” Merasa sedih dan sangat malu raja menolak makan, dan terus berbaring. Berita tentang kesedihan sang raja menyebar seperti api yang liar dan ketika Sang Buddha mendengar perihal itu, Beliau berkata, “Para bhikkhu! Pada diri seseorang yang dikalahkan akan menderita kesakitan dan kesukaran.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 201 berikut: Kemenangan menimbulkan kebencian, dan yang kalah hidup dalam penderitaan. Setelah dapat melepaskan diri dari kemenangan dan kekalahan, orang yang penuh damai akan hidup bahagia.

Dhammapada Bab XV (XV:2. Kisah Mara)

Pada suatu kesempatan, Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa Beliau, melihat lima ratus gadis dari desa Pancasala yang akan mencapai tingkat kesucian sotapatti. Oleh karena itu Sang Buddha pergi dan tinggal di dekat desa tersebut. Kelima ratus gadis pergi mandi ke sungai; setelah selesai mandi mereka pergi ke desa dengan berpakaian lengkap, karena hari itu hari festival. Pada waktu yang bersamaan, Sang Buddha memasuki desa Pancasala untuk berpindapatta, tetapi tidak seorang pun penduduk desa memberi dana kepada Sang Buddha karena mereka telah dipengaruhi oleh Mara. Pada saat perjalanan pulang Sang Buddha bertemu dengan Mara, yang dengan cepat bertanya pada Sang Buddha apakah Sang Buddha sudah menerima dana makanan cukup? Sang Buddha melihat kedatangan Mara bersamaan dengan kegagalan Beliau untuk mendapatkan dana makanan pada hari itu dan berkata, “Kamu Mara jahat, adalah kamu yang menyuruh penduduk desa untuk menolak Saya. Karena kamu telah mempengaruhi mereka untuk tid

Dhammapada Bab XV (XV:1. Kisah Kesabaran Kerabat Sang Buddha)

Kapilavatthu, kota suku Sakya; dan Koliya, kota suku Koliya, terletak di sisi-sisi sungai Rohini. Petani kedua kota bekerja di ladang yang diairi oleh sungai tersebut. Suatu tahun mereka memperoleh hujan yang tidak cukup, sehingga padi serta hasil panen lainnya mulai layu. Petani di kedua sisi sungai ingin mengalirkan air dari sungai Rohini ke ladang mereka masing-masing. Penduduk Koliya mengatakan bahwa air sungai itu tidak cukup untuk mengairi dua sisi, dan jika mereka dapat melipatgandakan aliran air ke ladang mereka barulah itu akan cukup untuk mengairi padi sampai menguning. Pada sisi lain, penduduk Kapilavatthu menolak hal itu, apabila mereka tidak mendapatkan air, dapat dipastikan hasil panen mereka akan gagal, dan mereka akan terpaksa membeli beras orang lain. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak siap membawa uang dan barang-barang berharga ke seberang sungai untuk ditukar dengan makanan. Kedua pihak menginginkan air untuk kebutuhan mereka masing-masing, sehingga tumbuh k

Dhammapada Bab XIV (XIV:9. Kisah Stupa Emas Buddha Kassapa)

Suatu saat, ketika Sang Buddha dan para pengikutnya sedang dalam perjalanan ke Baranasi mereka tiba di sebuah tanah lapang di mana terdapat sebuah stupa suci. Tidak jauh dari kuil tersebut, seorang brahmana sedang membajak ladang, melihat sang brahmana, Sang Buddha memanggilnya. Ketika ia tiba, sang brahmana memberi penghormatan kepada stupa tersebut tetapi bukan kepada Sang Buddha. Kepadanya Sang Buddha berkata, “Brahmana, dengan memberikan penghormatan kepada stupa tersebut engkau telah melakukan sebuah perbuatan yang terpuji.” Hal itu membuat sang brahmana bergembira. Setelah membuat keadaan batinnya tenang, Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa-Nya, memunculkan stupa emas Buddha Kassapa dan membuatnya tetap tampak di langit. Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepada sang brahmana dan para bhikkhu yang hadir bahwa terdapat empat golongan orang yang patut dibuatkan stupa. Mereka adalah: Para Buddha (Tathagata) yang patut dihormati dan telah mencapai Penerangan Sempurna

Dhammapada Bab XIV (XIV:8. Kisah Banyak Bhikkhu)

Suatu saat lima ratus bhikkhu sedang mendiskusikan pertanyaan, “Apakah yang merupakan kebahagiaan?” Bhikkhu-bhikkhu ini berpendapat bahwa ujud kebahagiaan berbeda-beda bagi setiap orang. Jadi, mereka berkata, “Untuk beberapa orang memiliki kekayaan dan kemuliaan seperti seorang raja adalah kebahagiaan, untuk beberapa orang pemuasan terhadap nafsu indria adalah kebahagiaan, tetapi untuk yang lainnya memiliki makanan nasi dan daging adalah kebahagiaan. Ketika mereka sedang berbincang-bincang, Sang Buddha menghampirinya. Setelah mengetahui masalah yang sedang mereka perbincangkan, Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, segala kesenangan yang telah kalian sebutkan tidak akan membuatmu keluar dari proses lingkaran kehidupan. Dalam dunia ini, hal-hal yang merupakan kebahagiaan adalah munculnya seorang Buddha, kesempatan untuk mendengarkan Ajaran Kebenaran Mulia, dan keharmonisan di antara para bhikkhu.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 194 berikut: Kelahiran Para Buddha merupakan

Dhammapada Bab XIV (XIV:7. Kisah Pertanyaan Yang Diajukan Oleh Ananda Thera)

Suatu hari, Ananda Thera merenung demikian, “Guru kami mengatakan kepada kami bahwa keturunan-keturunan gajah hanya akan terlahir di antara keturunan-keturunan Chaddanta dan Uposatha, keturunan-keturunan kuda hanya akan terlahir di antara keturunan Sindh, keturunan-keturunan lembu hanya akan terlahir di antara keturunan Usabha. Jadi, Beliau telah mengatakan kepada kami hanya tentang keturunan-keturunan gajah, kuda, dan lembu, tetapi tidak tentang ornag-orang mulia (purisajanno).” Setelah merenung demikian, Ananda Thera pergi menghadapa Sang Buddha, dan menanyakan tentang orang-orang mulia. Kepadanya Sang Buddha menjawab, “Ananda, orang-orang mulia tidak akan terlahir di manapun, ia hanya akan terlahir di antara Khattiyamahasala dan Brahmanamahasala, kaum hartawan dari Khattiya dan Brahmana.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 193 berikut: Sukar untuk berjumpa dengan manusia yang mempunyai kebijaksanaan Agung. Orang seperti itu tidak akan dilahirkan di sembarang tempat. Teta

Dhammapada Bab XIV (XIV:6. Kisah Aggidatta)

Aggidatta adalah seorang kepala pendeta selama pemerintahan Raja Mahakosala, ayah dari Raja Pasenadi. Setelah kematian Raja Mahakosala, Aggidatta mendanakan kekayaannya, dan meninggalkan rumah menjadi seorang pertapa non-Buddhis. Ia tinggal bersama dengan sepuluh ribu orang pengikutnya di sebuah tempat dekat perbatasan antara tiga kerajaan Anga, Magadha dan Kuru, tidak jauh dari sebuah bukit pasir, di mana tinggal seekor naga yang buas. Kepada pengikut-pengikutnya dan orang-orang di ketiga kerajaan ini, Aggidatta mendesak, “Sembahlah hutan-hutan, gunung-gunung, kebun-kebun dan taman-taman, serta pohon-pohon; dengan melakukan ini, kamu akan terbebas dari segala penyakit di dunia ini.” Suatu hari, Sang Buddha melihat Aggidatta dan para pengikutnya dalam pandangan-Nya dan menyadari bahwa sudah tiba saatnya bagi mereka untuk mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian Sang Buddha mengutus Maha Moggallana Thera menemui Aggidatta dan para pengikutnya serta mengatakan kepadanya bahwa ia se