Suatu ketika, seorang wanita muda yang telah menikah meminta
izin kepada suaminya untuk menjadi seorang bhikkhuni. Karena ketidaktahuannya,
ia bergabung dengan bhikkhuni-bhikkhuni yang menjadi pengikut Devadatta. Wanita
ini sedang mengandung sebelum ia menjadi bhikkhuni, tetapi pada saat itu ia
tidak takut akan akibatnya.
Dengan berjalannya waktu, kehamilannya terlihat oleh
bhikkhuni-bhikkhuni lain. Mengira ia telah melakukan perbuatan yang melanggar
vinaya, mereka membawa permasalahan itu kepada guru mereka, Devadatta.
Devadatta menyuruh wanita itu kembali ke hidup
berumah-tangga. Kemudian wanita muda ini mengatakan kepada bhikkhuni-bhikkhuni
lainnya, “Saya tidak berniat menjadi bhikkhuni muridnya Devadatta, saya datang
kemari merupakan suatu kesalahan. Tolong antarkan saya ke Vihara Jetavana, bawa
saya menghadap Sang Buddha .” Kemudian ia datang menghadap Sang Buddha.
Sang Buddha mengetahui kalau ia telah mengandung sebelum ia
menjadi bhikkhuni, oleh karena itu ia tidak bersalah. Tetapi Sang Buddha tidak
ingin mengatasi masalah tersebut sendiri. Sang Buddha mengundang Raja Pasenadi
dari Kosala, Anathapindikha, orang kaya terkenal, dan Visakha, dermawan
terkenal Vihara Pubbarama dan banyak orang lainnya. Kemudian Beliau menyuruh
Upali untuk menjernihkan persoalan tersebut pada masyarakat.
Visakha membawa wanita muda tersebut ke belakang tirai. Ia
memeriksa dan melaporkan kepada Upali Thera bahwa wanita tersebut telah hamil
sebelum menjadi bhikkhuni. Upali Thera kemudian mengumumkan kepada hadirin
bahwa wanita tersebut tidak bersalah dan oleh karena itu ia tidak melanggar
peraturan ke-bhikkhuni-an (sila).
Setelah beberapa lama melatih diri sebagai bhikkhuni, wanita
itu melahirkan seorang putra. Anak tersebut diadopsi oleh Raja Pasenadi dan
diberi nama Kumarakassapa. Pada saat anak tersebut berusia tujuh tahun, ia
mengetahui bahwa ibunya adalah seorang bhikkhuni, kemudian ia menjadi seorang
samanera di bawah bimbingan Sang Buddha. Setelah ia dewasa, ia diterima dalam
pasamuan bhikkhu.
Sebagai bhikkhu, ia mendapat pelajaran meditasi dari Sang
Buddha dan pergi ke hutan. Di sana, ia melatih meditasi dengan tekun dan
sungguh-sungguh dan dalam waktu singkat mencapai tingkat kesucian arahat.
Walaupun demikian, ia melanjutkan hidup di hutan selama lebih dari dua belas
tahun.
Selama dua belas tahun itu pula, ibu dari Kumarakassapa
tidak pernah bertemu dengan anaknya, padahal ia sangat rindu untuk menemuinya.
Suatu hari, ketika melihat anaknya, ibu yang bhikkhuni itu tak dapat menahan
dirinya lagi. Dengan penuh emosi ia berlari mendekati anaknya, menangis dan
memanggil-manggil nama anaknya.
Melihat ibunya, Kumarakassapa berpikir, jika ia berbicara
dengan lembut kepada ibunya, ibunya masih akan memiliki kemelekatan kepadanya,
dan masa depan ibunya akan tidak berkembang. Jadi demi masa depan ibunya, agar
dapat memperoleh kebebasan (merealisasi nibbana) ia dengan sengaja berbicara
keras kepada ibunya, “Bagaimana anda sebagai anggota Sangha yang menjalankan
peraturan, tidak dapat memutuskan ikatan terhadap anaknya?”
Ibunya berpikir bahwa anaknya sangat keras kepadanya, dan ia
bertanya apa maksudnya? Kumarakassapa mengulangi apa yang ia ucapkan
sebelumnya.
Mendengar jawabannya, Ibu Kumarakassapa membalas, “Ya, dua
belas tahun aku cucurkan air mata, untuk anakku. Dua belas tahun pula aku
memendam rindu, ingin melihat senyum dan mendapat sapaan yang hangat dari darah
dagingku. Namun, apa yang terjadi sekarang? Bukannya sapaan yang halus dan
senyum bahagia karena bertemu dengan ibunya, malahan jawaban ketus yang
kuterima. Apa gunanya ikatanku kepadamu?” Kerinduan kepada anaknya mendadak
menghilang.
Kemudian kemelekatan yang sia-sia terhadap anaknya mulai
jelas baginya. Ia memutuskan untuk memotong kemelekatan kepada anaknya. Dengan
memotong seluruh kemelekatan, Ibu Kumarakassapa mencapai tingkat kesucian
arahat pada hari itu.
Suatu hari, pada saat pertemuan, beberapa bhikkhu berkata pada
Sang Buddha, “Bhante, jika Ibu dari Kumarakassapa mengikuti Devadatta, ia dan
putranya tidak akan menjadi arahat. Tentunya, Devadatta telah melakukan
kesalahan besar terhadap mereka, tetapi Bhante telah menjadi tempat berlindung
bagi mereka.”
Kepada mereka Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, dalam
perjuangan untuk mencapai alam dewa, atau mencapai tingkat kesucian arahat,
kalian tidak bisa tergantung pada orang lain, kalian harus berusaha keras
sendiri.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 160 berikut:
Diri sendiri
sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri. Karena siapa pula yang dapat
menjadi pelindung bagi dirinya. Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri
dengan baik, ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh amat sukar dicari.
Komentar
Posting Komentar