Suatu ketika, seorang bhikkhu dari Alavi hendak membangun
sebuah vihara untuk dirinya sendiri, dan ia pun mulai menebang sebuah pohon.
Dewa yang mendiami pohon tersebut (Rukkha Deva), mencoba untuk mencegahnya,
dengan alasan bahwa ia dan bayinya tak tahu ke mana lagi harus tinggal. Gagal
menghentikan perbuatan sang bhikkhu, kemudian dewa itu meletakkan anaknya pada sebuah
dahan, berharap bahwa hal itu akan membuat sang bhikkhu berhenti menebang. Namun,
bhikkhu tersebut terlanjur mengayunkan kapaknya dan ia tidak dapat menghentikannya
seketika, dan tanpa sengaja memotong lengan anak tersebut. Melihat bayinya
terluka, sang ibu menjadi marah dan bermaksud membunuh bhikkhu tersebut. Ketika
ia mulai mengangkat kedua tangannya untuk menyerang, tiba-tiba ia berhenti dan
berpikir, “Bila aku membunuh seorang bhikkhu, berarti aku membunuh seseorang
yang menjalankan peraturan moral (sila). Hal ini akan membuat aku menderita di
alam neraka (niraya). Dewa pohon lainnya akan meniru apa yang kuperbuat, dan
semakin banyak bhikkhu akan terbunuh. Tetapi bhikkhu ini pasti memiliki guru.
Aku harus menemui gurunya.”
Kemudian ia pergi menghadap Sang Buddha. Sambil menangis ia
menceritakan semua yang telah menimpanya. Kepadanya Sang Buddha berkata, “O
Rukkha Deva! Kau telah berhasil baik mengendalikan dirimu sendiri.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 222 berikut:
Barang siapa yang
dapat menahan kemarahannya yang telah memuncak seperti menahan kereta yang
sedang melaju, ia patut disebut sais sejati. Sedangkan sais lainnya hanya
sebagai pemegang kendali belaka.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Rukkha Deva mencapai
tingkat kesucian sotapatti dan ia pun diperbolehkan mendiami sebuah pohon di
dekat kamar harum (Gandha Kuti) Sang Buddha. Semenjak kejadian itu, Sang Buddha
melarang para bhikkhu menebangi tumbuh-tumbuhan seperti rumput, tanaman, semak
belukar, dan pepohonan.
Komentar
Posting Komentar