Pada suatu ketika, lima murid awam hadir pada saat Sang
Buddha sedang berkhotbah Dhamma di Vihara Jetavana. Seorang dari mereka duduk
tertidur, orang ke dua menggambar garis-garis di tanah dengan jarinya, orang ke
tiga mencoba mengguncang sebatang pohon, dan orang ke empat memandangi langit.
Orang ke lima merupakan satu-satunya murid yang mendengarkan Sang Buddha dengan
hormat dan penuh perhatian.
Ananda Thera, yang berada di dekat Sang Buddha sambil
mengipasi Beliau melihat tingkah laku lima murid awam yang berbeda tersebut. Ia
berkata kepada Sang Buddha, “Bhante! Sementara Bhante menguraikan Dhamma
seperti tetesan air hujan jatuh dari langit, hanya satu dari lima orang itu
yang mendengarkan dengan penuh perhatian.” Kemudian Ananda Thera menyampaikan
tingkah laku yang berbeda dari empat orang itu terhadap Sang Buddha dan
bertanya mengapa mereka bertingkah laku demikian.
Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda Thera, “Ananda,
orang-orang ini tidak dapat menyingkirkan kebiasaan lama mereka. Dalam
kehidupan mereka yang lampau, orang pertama adalah seekor ular. Seekor ular
biasa melingkarkan dirinya dan tertidur, demikian pula, orang ini tertidur
ketika mendengarkan Dhamma.
Orang yang mengais tanah dengan jari tangannya adalah seekor
cacing tanah, yang mengguncang pohon adalah seekor kera, yang menatap langit
adalah seorang ahli ilmu bintang, dan orang yang mendengarkan Dhamma dengan
penuh perhatian adalah seorang peramal terpelajar.
Dalam kaitan ini, Ananda, engkau harus ingat bahwa seseorang
haruslah penuh perhatian untuk dapat memahami Dhamma dan bahwa banyak sekali
orang yang tidak dapat menjalankan hal ini.”
Kemudian Ananda Thera bertanya kepada Sang Buddha, “Bhante!
Hal-hal apa yang menghalangi orang untuk dapat mengerti Dhamma?”
Sang Buddha menjawab, “Ananda, nafsu (raga), kebencian
(dosa), dan ketidak-tahuan (moha) adalah tiga hal yang menghalangi orang
mengerti Dhamma. Nafsu membakar seseorang; tidak ada api sepanas nafsu. Dunia
mungkin saja terbakar ketika tujuh matahari muncul di angkasa, tetapi itu
jarang sekali terjadi. Namun nafsu selalu membakar tanpa henti.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 251 berikut:
Tiada api yang dapat
menyamai nafsu, tiada cengkeraman yang dapat menyamai kebencian, tiada jaring
yang dapat menyamai ketidaktahuan, dan tiada arus yang sederas nafsu keinginan.
Murid yang mendengarkan dengan penuh perhatian mencapai
tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Komentar
Posting Komentar