Kapilavatthu, kota suku Sakya; dan Koliya, kota suku Koliya,
terletak di sisi-sisi sungai Rohini. Petani kedua kota bekerja di ladang yang
diairi oleh sungai tersebut. Suatu tahun mereka memperoleh hujan yang tidak
cukup, sehingga padi serta hasil panen lainnya mulai layu. Petani di kedua sisi
sungai ingin mengalirkan air dari sungai Rohini ke ladang mereka masing-masing.
Penduduk Koliya mengatakan bahwa air sungai itu tidak cukup untuk mengairi dua
sisi, dan jika mereka dapat melipatgandakan aliran air ke ladang mereka barulah
itu akan cukup untuk mengairi padi sampai menguning.
Pada sisi lain, penduduk Kapilavatthu menolak hal itu,
apabila mereka tidak mendapatkan air, dapat dipastikan hasil panen mereka akan
gagal, dan mereka akan terpaksa membeli beras orang lain. Mereka mengatakan
bahwa mereka tidak siap membawa uang dan barang-barang berharga ke seberang
sungai untuk ditukar dengan makanan.
Kedua pihak menginginkan air untuk kebutuhan mereka
masing-masing, sehingga tumbuh keinginan jahat. mereka saling memaki dan
menantang. Pertengkaran antar petani itu sampai didengar oleh para menteri Negara
masing-masing, dan mereka melaporkan kejadian tersebut kepada pemimpin mereka
masing-masing, sehingga orang-orang di kedua sisi sungai siap bertempur.
Sang Buddha melihat sekeliling dunia dengan kemampuan batin
luar biasa Beliau, mengetahui kerabat-kerabat Beliau pada kedua sisi sungai
akan bertempur. Beliau memutuskan untuk mencegahnya. Seorang diri Sang Buddha
ke tempat mereka dengan melalui udara, dan segera berada di tengah sungai.
Kerabat-kerabat Beliau melihat Sang Buddha, dengan penuh kesucian dan kedamaian
duduk di atas mereka, melayang di udara. Mereka meletakkan senjatanya ke
samping dan menghormat kepada Sang Buddha.
Kemudian Sang Buddha berkata kepada mereka, “Demi keperluan
sejumlah air, yang sedikit nilainya, kalian seharusnya tidak mengorbankan
hidupmu yang jauh sangat berharga dan tak ternilai. Kenapa kalian melakukan
tindakan yang bodoh ini? Jika Saya tidak menghentikan kalian hari ini, darah
kalian akan mengalir seperti air di sungai sekarang. Kalian hidup dengan saling
membenci, tetapi Saya sudah tidak membenci; kalian akan menderita karena
kekotoran batin, tetapi Saya sudah bebas darinya; kalian berusaha memiliki
kesenangan hawa nafsu, tetapi Saya sudah tidak berusaha untuk itu.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 197, 198, dan 199 berikut
ini:
Sungguh bahagia jika
kita hidup tanpa membenci di antara orang-orang yang membenci; di antara
orang-orang yang membenci kita hidup tanpa membenci.
Sungguh bahagia jika
kita hidup tanpa penyakit di antara orang-orang yang berpenyakit; di antara orang-orang
yang berpenyakit kita hidup tanpa penyakit.
Sungguh bahagia jika
kita hidup tanpa keserakahan di antara orang-orang yang serakah; di antara
orang-orang yang serakah kita hidup tanpa keserakahan.
Banyak orang pada waktu itu mencapai tingkat kesucian
sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.
Komentar
Posting Komentar