Suatu ketika Menteri Santati berhasil kembali dari
penumpasan pemberontak di perbatasan. Raja Pasenadi begitu bangga terhadapnya,
memberi kekayaan dan kegemilangan kepada menterinya serta mengadakan pesta
selama 7 hari dengan para gadis penari. Selama tujuh hari menteri itu
bersenang-senang, bermabuk-mabukan, dan bergembira dengan gadis-gadis penari
muda belia.
Pada hari ke tujuh, dengan menunggang gajah kerajaan, dia
pergi mandi ke tepi sungai. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan Sang Buddha
yang sedang berpindapatta.
Santati menganggukkan badannya sebagai tanda memberi hormat
kepada Sang Buddha.
Sang Buddha tersenyum, dan Ananda bertanya mengapa Sang
Buddha tersenyum. Lalu Sang Buddha berkata, “Ananda, menteri ini akan menemuiku
hari ini dan setelah aku memberikan sedikit pelajaran dia akan mencapai tingkat
kesucian arahat dan kemudian dia akan meninggal dunia (parinibbana).”
Pesta Menteri Santati berlangsung sepanjang hari di tepi
sungai, mandi, makan minum dan menyenangkan hati mereka. Pada sore hari pestanya
berlangsung di taman, minum lebih banyak dan menari dengan gadis penari.
Gadis penari mencoba untuk menyenangkan menteri, selama
seminggu gadis penari melakukan diet makan agar tampak menarik. Akan tetapi
pada saat menari, dia terserang kejang-kejang dan pingsan. Akhirnya dia
meninggal dunia dengan mata dan mulut yang terbuka. Menteri itu tertekan
batinnya dan kecewa berat.
Pada saat itu ia memerlukan perlindungan dan teringat kepda
Sang Buddha. Dia pergi menemui Sang Buddha bersama dengan pengikut-pengikutnya,
dan menceritakan penderitaan yang mereka alami setelah terjadi kematian gadis
penarinya.
Dia berkata, “Bhante, tolong hilangkan penderitaanku,
jadilah pelindungku, berikan ketenangan di hatiku.”
Kepadanya Sang Buddha berkata, “Istirahatlah anak-KU, engkau
telah datang pada seseorang yang dapat menolongmu, seseorang yang dapat
menghiburmu dan menjadi pelindungmu. Air mata yang telah engkau tumpahkan pada
saat penari itu meninggal dunia, bersamaan dengan air mata selama kelahiran
kembali yang berulang-ulang lebih banyak jumlahnya daripada air yang terdapat
dalam samudra.”
Sang Buddha kemudian mengucapkan syair ini:
“Pada saat lampau terdapat dalam dirimu kemelekatan (updana)
yang disebabkan keserakahan; lenyapkanlah hal itu. Pada saat mendatang,
janganlah bawa kemelekatan dalam dirimu. Jangan pula menempatkan kemelekatan
terhadap apapun pada saat sekarang; dengan tidak memiliki kemelekatan,
keserakahan dan kebencian akan lenyap dalam dirimu. Dan engkau akan merealisasi
‘Kebebasan Mutlak’ (nibbana).”
Setelah mendengar syair itu, menteri mencapai tingkat
kesucian arahat.
Setelah mengetahui bahwa usia kehidupannya akan berakhir,
Santati berkata kepada Sang Buddha, “Bhante, sekarang izinkanlah saya
merealisasi ‘Kebebasan Akhir’ (parinibbana), karena saatnya telah tiba.”
Sang Buddha merestuinya, kemudian Santati terbang setinggi
tujuh pohon palm di angkasa dan di sana Santati bermeditasi dengan obyek
perwujudan api (tejo kasina), akhirnya beliau merealisasi ‘Kebebasan Akhir’
(parinibbana). Tubuhnya berkobar, darahnya dan daging menguap terbakar, dan
tulangnya menjadi relik (dhatu) beterbangan di angkasa dan terjatuh pada
sehelai kain bersih yang telah direntangkan oleh para bhikkhu atas petunjuk
Sang Buddha.
Pada saat pertemuan, para bhikkhu bertanya kepada Sang
Buddha, “Bhante, Menteri Santati telah merealisasi ‘Kebebasan Akhir’
(parinibbana) dengan berpakaian penuh tanda-tanda kebesaran, apakah dia seorang
samana atau brahmana?”
Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, anak-Ku
dapat disebut, baik seorang samana ataupun seorang brahmana.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 142 berikut:
Walau digoda dengan
cara bagaimanapun, tetapi bila seseorang dapat menjaga ketenangan pikirannya,
damai, mantap, terkendali, suci murni dan tidak lagi menyakiti makhluk lain,
sesungguhnya ia adalah brahmana, seorang samana, seorang bhikkhu.
Komentar
Posting Komentar