Subhadda, si pertapa pengembara sedang menetap di Kusinara
ketika ia mendengar bahwa Buddha Gotama akan mangkat, mencapai parinibbana pada
waktu jaga terakhir malam itu. Subhadda mempunyai tiga pertanyaan yang telah
lama membingungkannya. Ia telah menanyakan pertanyaan tersebut kepada guru-guru
agama yang lain, misalnya Purana Kassapa, Makkhali Gosala, Ajita Kesakambala,
Pakudha Kaccayana, Sancaya Belatthaputta dan Nigantha Nataputta, tetapi jawaban
mereka tidak memuaskan baginya. Ia belum bertanya kepada Buddha Gotama, dan ia
merasa bahwa hanya Sang Buddha lah yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Maka, ia bergegas pergi ke hutan pohon Sala, tetapi
Y.A.Ananda tidak mengizinkannya bertemu dengan Sang Buddha, karena saat itu
kondisi kesehatan Sang Buddha sangat lemah. Sang Buddha mendengar percakapan
mereka dan Beliau berkenan untuk menemui Subhadda. Subhadda menanyakan tiga
pertanyaan, yaitu:
(1)
Apakah ada jalan di langit?
(2)
Apakah ada bhikkhu-bhikkhu suci (samana) di luar
ajaran Sang Buddha?, dan
(3)
Apakah ada suatu hal berkondisi (sankhara) yang
abadi?
Jawaban Sang Buddha terhadap semua pertanyaan tersebut
adalah ‘tidak ada’.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 254 dan 255 berikut
ini:
Tidak ada jejak di
angkasa, tidak ada orang suci di luar Dhamma. Umat manusia bergembira di dalam
belenggu, tetapi Para Tathagata telah bebas dari semua itu.
Tidak ada jejak di
angkasa, tidak ada orang suci di luar Dhamma. Tidak ada hal-hal berkondisi yang
abadi. Tidak ada lagi keragu-raguan bagi Para Buddha.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Subhadda mencapai
tingkat kesucian Anagami, dan atas permohonannya, Sang Buddha menerima Subhadda
sebagai anggota Pasamuan Bhikkhu (Sangha).
Subhadda adalah orang terakhir yang menjadi bhikkhu pada
masa kehidupan Sang Buddha Gotama. Akhirnya Subhadda mencapai tingkat kesucian
Arahat.
Komentar
Posting Komentar