Pada suatu vihara, para bhikkhu muda dan samanera mempunyai
kebiasaan mengunjungi bhikkhu-bhikkhu lebih tua yang merupakan guru mereka.
Mereka mencuci dan mencelup jubah, atau melakukan pelayanan kecil lain bagi
guru mereka.
Beberapa bhikkhu lain yang melihat hal ini merasa iri hati
kepada para bhikkhu senior, dan mereka memikirkan suatu rencana yang akan
menguntungkan mereka secara material. Rencana mereka adalah mengusulkan kepada
Sang Buddha bahwa para bhikkhu muda dan samanera harus diminta datang kepada
mereka untuk diberi perintah dan petunjuk lebih lanjut walaupun mereka telah
diajar oleh guru mereka masing-masing.
Sang Buddha,yang mengetahui sepenuhnya tujuan mereka,
menolak usul itu. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu! Aku tidak
mengatakan bahwa engkau baik hati hanya karena engkau mampu berbicara dengan
fasih. Hanya dia yang telah menyingkirkan sifat iri hati dan semua kejahatan
dengan mencapai ‘Jalan Kesucian Arahat’ (Arahatta Magga) yang dapat disebut orang
yang baik hati.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 262 dan 263 berikut
ini:
Bukan hanya karena
pandai bicara dan bukan pula karena memiliki penampilan yang baik seseorang
dapat menyebut dirinya orang yang baik hati, apabila ia masih bersifat iri,
kikir dan suka menipu.
Orang yang telah
memotong, mencabut dan memutuskan akar sifat iri hati, kekikiran serta dusta;
maka orang bijaksana yang telah menyingkirkan segala keburukan itulah yang
sesungguhnya dapat disebut orang yang baik hati.
Komentar
Posting Komentar