Bhikkhu dalam cerita ini hidup di sebuah hutan kecil di
dekat Savatthi. Ia dikenal dengan nama Ekudana, sebab ia hanya hafal satu bait saja
dari Kitab Udana. Tetapi thera tersebut mengerti sepenuhnya makna Dhamma yang
terkandung dalam bait tersebut. Pada setiap hari uposatha, dia mendesak orang
lain untuk mendengarkan Dhamma, dan dia sendiri akan mengucapkan satu-satunya
syair yang dihafalnya itu. Setiap kali ia selesai mengucapkan bait itu, para
dewa dalam hutan itu memujinya dan menyambutnya dengan tepuk tangan yang
meriah.
Pada suatu hari uposatha, dua Thera yang terpelajar, yang
benar-benar menguasai semua pelajaran Dhamma, diiringi oleh lima ratus bhikkhu
datang ke tempat itu. Ekudana meminta kedua Thera tersebut untuk memberikan
khotbah Dhamma. Mereka bertanya apakah banyak yang ingin mendengarkan Dhamma di
tempat yang terpencil itu. Ekudana membenarkan dan juga menceritakan kepada mereka
bahwa bahkan para dewa dalam hutan itu biasanya datang, dan mereka selalu
memuji dan bertepuk tangan pada akhir khotbah.
Maka, kedua Thera terpelajar itu mulai memberikan khotbah
Dhamma, tetapi ketika khotbah mereka berakhir, tidak ada tepuk tangan dari para
dewa dalam hutan itu. Kedua Thera tersebut menjadi bingung dan bahkan meragukan
kata-kata Ekudana. Tetapi Ekudana bersikeras bahwa para dewa biasanya datang
dan selalu bertepuk tangan pada akhir setiap khotbah.
Kedua Thera itu kemudian mendesak Ekudana untuk berkhotbah.
Ekudana memegang kipas di hadapannya dan mengucapkan bait yang biasa
diucapkannya. Setelah selesai mengucapkan bait itu, para dewa bertepuk tangan
seperti biasa. Para bhikkhu yang mengiringi kedua Thera terpelajar itu menuduh
bahwa para dewa yang berdiam dalam hutan itu sangat berat sebelah.
Mereka melaporkan masalah itu kepada Sang Buddha pada
kunjungannya di Vihara Jetavana. Kepada mereka Sang Buddha berkata, “Para
bhikkhu! Aku tidak mengatakan bahwa seorang bhikkhu yang telah belajar banyak
dan berbicara banyak tentang Dhamma adalah seseorang yang mengetahui Dhamma
(Dhammadhara).
Seseorang yang belajar sangat sedikit dan hanya mengetahui
satu bait dari Dhamma, tetapi memahami sepenuhnya ‘Empat Kesunyataan Mulia’ dan
selalu sadar, adalah orang yang sesungguhnya mengetahui Dhamma.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 259 berikut:
Seseorang bukan
‘pendukung Dhamma’ hanya karena ia banyak bicara. Namun seseorang yang walaupun
hanya belajar sedikit tetapi batinnya melihat Dhamma dan tidak melalaikannya,
maka sesungguhnya ia adalah seorang ‘pendukung Dhamma’.
Komentar
Posting Komentar