Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2019

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:34. Kisah Jotika Thera)

[Kisah nomor (33) dan (34) bab ini mempunyai syair sama) Jotika adalah seorang hartawan yang terkenal dari Rajagaha. Ia tinggal di rumah besar yang megah bertingkat tujuh. Terdapat tujuh buah tembok yang mengelilingi rumah besarnya, masing-masing mempunyai pintu masuk yang dijaga oleh setan angkasa. Ketenaran kekayaannya menyebar jauh dan luas, dan banyak orang datang untuk melihat rumah besarnya. Pada suatu kesempatan, Raja Bimbisara datang mengunjungi Jotika. Ia juga membawa anaknya, Ajatasattu, bersamanya. Ajatasattu, setelah melihat kemegahan rumah besar Jotika, berjanji bahwa ia tidak akan memperbolehkan Jotika untuk tinggal di rumah besar yang bagus sekali seperti ini kalau kelak ia menjadi Raja. Pada saat keberangkatan Raja dari rumahnya, Jotika memberi kenang-kenangan kepada Raja berupa sebuah batu delima besar yang tak ternilai harganya. Ini adalah kebiasaan Jotika untuk memberi hadiah kepada semua pengunjung yang datang untuk menemuinya. Ketika Ajatasattu naik tahta,

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:33. Kisah Jatila Thera)

Segera setelah Buddha Kassapa mangkat (parinibbana), seorang Arahat thera pergi berkeliling untuk mencari dana bagi pembangunan stupa emas dimana nantinya relik Buddha Kassapa akan diabadikan. Sang thera datang ke rumah seorang pandai emas ketika pandai emas dan istrinya sedang dalam pertengkaran yang sengit. Si pandai emas tersebut berteriak kepada sang thera, “Kau sebaiknya melemparkan stupamu itu ke dalam air dan segera pergi.” Istrinya kemudian berkata kepada sang pandai emas, “Jika engkau marah kepadaku engkau seharusnya hanya boleh memakiku saja, engkau bahkan boleh memukulku jika engkau suka, tetapi mengapa engkau harus memaki Sang Buddha dan sang thera? Tentu saja, engkau telah melakukan kesalahan yang menyedihkan!” Mendengar kata-kata istrinya, sang pandai emas menyadari betapa besarnya kesalahan yang telah diperbuatnya dan ingin menebus kesalahan itu. Maka ia membuat bunga-bunga emas, meletakannya ke dalam tiga pot emas dan memberikannya untuk diletakkan pada kamar re

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:32. Kisah Sundarasamudda Thera)

Sundarasamudda adalah anak dari seorang hartawan dari Savatthi. Setelah memasuki pasamuan bhikkhu, ia pergi ke Rajagaha, yang empat puluh lima yojana jauhnya dari Savatthi, untuk berlatih meditasi. Suatu hari, ketika beberapa perayaan sedang berlangsung di Savatthi, ayah Sundarasamudda merasa sangat kehilangan putranya. Mereka juga merasa kasihan pada putranya yang kehilangan semua kesenangan. Memikirkan hal itu mereka menangis. Ketika mereka sedang menangis, seorang pelacur datang pada mereka, dan menanyakan apa duduk persoalannya. Setelah mendengar apa yang terjadi pada anak mereka, pelacur itu berkata, “Jika aku dapat membuat anakmu meninggalkan pasamuan dan kembali hidup sebagai orang biasa bagaimana engkau akan menghargaiku?” Orang tua tersebut menjawab bahwa mereka akan membuatnya kaya raya. Pelacur tersebut kemudian meminta sejumlah besar uang dan pergi ke Rajagaha dengan sejumlah pengikutnya. Di Rajagaha, ia menyewa sebuah rumah bertingkat tujuh pada rute jalan di mana

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:31. Kisah Sivali Thera)

Putri Suppavasa dari Kundakoliya sedang hamil selama tujuh tahun dan kemudian selama tujuh hari ia mengalami kesakitan pada saat melahirkan anaknya. Ia terus merenungkan sifat-sifat khusus Sang Buddha, Dhamma dan Sangha. Ia menyuruh suaminya pergi menemui Sang Buddha untuk memberikan penghormatan dengan membungkukkan badan demi kepentingannya dan untuk memberitahu Beliau tentang keadaannya. Ketika diberitahu mengenai keadaan putri tersebut, Sang Buddha berkata, “Semoga Suppavasa bebas dari bahaya dan penderitaan; semoga ia melahirkan anak yang sehat dan mulia dengan selamat.” Ketika kata-kata ini sedang diucapkan, Suppavasa melahirkan anak di rumahnya. Pada hari itu juga, segera setelah kelahiran anak tersebut, Sang Buddha beserta beberapa bhikkhu diundang untuk datang ke rumahnya. Dan makanan diberikan di sana dan bayi yang baru saja lahir memberikan air sudah disaring kepada Sang Buddha dan para bhikkhu. Untuk merayakan kelahiran bayi tersebut, orang tuanya mengundang Sang Budd

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:30. Kisah Candabha Thera)

Candabha Thera, dalam salah satu kehidupannya terdahulu, membuat persembahan kayu cendana kepada sebuah stupa di mana relik Buddha Kassapa diabadikan. Karena perbuatan baik ini, ia dilahirkan kembali dalam keluarga brahmana di Savatthi. Ia dilahirkan dengan tanda yang istimewa, yaitu sebuah lingkaran cahaya yang memancar dari sekitar pusarnya. Karena lingkaran cahaya ini menyerupai bulan ia dikenal sebagai Candabha. Beberapa brahmana, mengambil keuntungan dari keistimewaan yang jarang terjadi ini, memasukkannya ke dalam kereta dan membawanya keliling kota untuk pertunjukan dan hanya orang yang membayar seratus atau seribu yang boleh menyentuhnya. Pada suatu kesempatan, mereka berhenti pada suatu tempat antara kota dan Vihara Jetavana. Kepada para pengikut Sang Buddha yang sedang berjalan ke Vihara Jetavana, mereka berkata, “Apa gunanya engkau pergi menemui Sang Buddha dan mendengarkan khotbah Beliau? Tidak ada seorang pun yang sehebat Candabha. Seseorang yang menyentuhnya akan menj

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:29. Kisah Samanera Revata)

Suatu hari, para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha, “Revata mendapatkan banyak pemberian dari umat, ia menjadi terkenal dan beruntung. Meskipun demikian ia tinggal sendirian di hutan, melalui kemampuan batin luar biasa ia sekarang telah membangun lima ratus vihara untuk lima ratus bhikkhu.” Kepada mereka Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, murid-Ku Revata telah memusnahkan semua nafsu keinginan; ia telah melampaui kebaikan maupun kejahatan.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 412 berikut: Seseorang yang telah mengatasi kebaikan, kejahatan, dan kemelekatan, yang tidak lagi bersedih hati, tanpa noda, dan suci murni, maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’.

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:28. Kisah Maha Moggallana Thera)

Pada suatu kesempatan, para bhikkhu memberitahu Sang Buddha tentang Maha Moggallana Thera hal yang sama yang telah mereka katakan tentang Sariputta Thera; bahwa ia masih mempunyai kemelekatan terhadap barang-barang duniawi. Kepada mereka Sang Buddha mengatakan bahwa Maha Moggallana Thera telah memusnahkan semua nafsu keinginan. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 411 berikut: Seseorang yang tidak mempunyai nafsu keinginan lagi, yang telah bebas dari keragu-raguan karena memiliki Pengetahuan Sempurna, yang telah menyelami keadaan tanpa kematian (nibbana), maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’.

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:27. Kisah Sariputta Thera)

Suatu ketika, Sariputta Thera disertai dengan lima ratus bhikkhu pergi ke sebuah vihara dekat sebuah desa kecil untuk melewatkan masa vassa. Pada akhir masa vassa, Sariputta Thera membutuhkan jubah untuk bhikkhu muda dan samanera. Lalu ia berkata pada para bhikkhu, “Jika ada orang yang datang untuk memberikan jubah, ajak mereka datang padaku atau beritahu aku.” Kemudian ia meninggalkan Vihara Jetavana untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Para bhikkhu yang lain salah mengerti perintah Sariputta Thera, dan berkata kepada Sang Buddha, “Bhante! Sariputta Thera masih melekat pada barang-barang seperti jubah dan barang keperluan bhikkhu yang lain.” Kepada mereka Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu! Murid-Ku Sariputta tidak memiliki lagi nafsu keinginan dalam dirinya. Ia memberitahu kalian untuk membawa jubah kepadanya, agar kesempatan untuk melakukan perbuatan bermanfaat tidak akan menurun/berkurang bagi pengikut awam, dan kesempatan menerima apapun yang pantas mereka terima

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:26. Kisah Thera Tertentu)

Suatu hari, seorang brahmana dari Savatthi meletakkan pakaian miliknya di luar rumah untuk mengangin-anginkannya. Seorang thera menemukan pakaian itu ketika ia akan pulang ke vihara. Setelah berpikir bahwa selembar pakaian tersebut telah dibuang oleh seseorang dan tentunya tidak ada yang memilikinya, sang thera mengambilnya. Sang brahmana yang melihat keluar lewat jendela rumahnya melihat sang thera mengambil pakaian tersebut, menghampiri sang thera, memaki-maki dan menuduhnya, “Kau, kepala gundul! Engkau mencuri pakaianku,” katanya. Sang thera dengan cepat mengembalikan selembar pakaian tersebut kepada sang brahmana. Setelah tiba kembali di vihara, sang thera menceritakan kejadian di atas kepada para bhikkhu yang lain, dan mereka menertawakannya dan dengan bergurau mereka bertanya kepadanya apakah pakaian itu panjang atau pendek, kasar atau halus. Atas pertanyaan ini sang thera menjawab, “Apakah pakaian itu panjang atau pendek, kasar atau halus tidak menjadi masalah bagiku; Aku

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:25. Kisah Pilindavaccha Thera)

Pilindavaccha Thera mempunyai cara yang kurang sopan dalam menegur orang. Ia sering berkata, “Kemari, kamu orang sial”, atau “Ke sana, kamu orang sial”, dan hal-hal lain seperti itu. Para bhikkhu yang lain melaporkan tentang hal itu kepada Sang Buddha. Sang Buddha mengundangnya, dan berbicara kepadanya tentang masalah itu. Kemudian dalam refleksi batin Sang Buddha, Beliau mengetahui bahwa sepanjang lima ratus kehidupannya yang lampau, sang thera selalu dilahirkan hanya dalam lingkungan keluarga brahmana, yang menghormati diri mereka sendiri sebagai yang terbaik di antara orang lain. Maka Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu! Vaccha Thera menegur orang lain sebagai ‘orang sial’ hanya karena kekuatan dari kebiasaan yang diperoleh dalam masa lima ratus kelahirannya sebagai seorang brahmana, dan bukan karena kebencian. Ia tidak mempunyai maksud untuk melukai orang lain, karena seorang arahat tidak melakukan kejahatan kepada yang lain.” Kemudian Sang Buddha membaba

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:24. Kisah Mahapanthaka Thera)

[lihat juga syair 25 Bab II nomor (3)] Mahapanthaka Thera telah menjadi seorang arahat ketika adik laki-lakinya Culapanthaka masuk dalam pasamuan bhikkhu. Culapanthaka sejak lahir adalah seorang yang dungu karena ia pernah menertawakan seorang bhikkhu dungu pada salah satu kehidupannya terdahulu. Culapanthaka tidak dapat bahkan mengingat satu syair dalam waktu empat bulan. Mahapanthaka menjadi kecewa dengan adiknya dan menyuruhnya untuk meninggalkan vihara karena ia tidak ada gunanya berada dalam pasamuan bhikkhu. Berkaitan dengan hal tersebut, pada suatu kesempatan, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, mengapa meskipun ia seorang Arahat, mengusir adik laki-lakinya dari vihara. Mereka juga menambahkan, “Apakah para Arahat masih kehilangan kesabarannya? Apakah mereka masih mempunyai kekotoran batin seperti keinginan jahat dalam diri mereka?” Kepada mereka Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu! Para Arahat tidak mempunyai keinginan jahat seperti nafsu dan kebencian dalam diri

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:23. Kisah Empat Samanera)

Suatu ketika, istri dari seorang brahmana menyuruh suaminya pergi ke Vihara Jetavana untuk mengundang empat orang bhikkhu guna menerima dana makanan di rumah mereka. Ia memberitahu suaminya untuk khusus meminta para bhikkhu senior yang juga benar-benar brahmana asli. Tetapi empat samanera Arahat berusia tujuh tahun, Samkicca, Pandita, Sopaka, dan Revata yang diutus ikut bersamanya. Ketika istrinya melihat para samanera muda tersebut, ia menjadi tidak puas dan menyalahkan sang brahmana karena membawa samanera muda yang bahkan lebih muda dari pada cucu laki-lakinya. Ia marah kepada suaminya, dan ia menyuruh suaminya kembali ke vihara untuk mengajak bhikkhu yang lebih tua. Dalam hal itu ia tidak memberikan tempat duduk lebih tinggi yang telah dipersiapkan bagi para bhikkhu. Mereka diberikan tempat duduk yang lebih rendah dan ia tidak memberi dana makanan kepada para samanera muda itu. Ketika sang brahmana tiba di vihara, ia menemui Y.A.Sariputta dan mengundangnya datang ke rumahny

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:22. Kisah Seorang Bhikkhu Tertentu)

Seorang bhikkhu setelah menerima pelajaran obyek meditasi dari Sang Buddha, pergi ke hutan untuk melatih meditasi. Setelah ia mencapai tingkat kesucian arahat, ia kembali menemui Sang Buddha untuk menyampaikan penghormatan yang besar dan mendalam kepada Beliau. Dalam perjalanannya ia melewati sebuah desa. Baru saja ia melewati desa tersebut, seorang wanita yang baru saja bertengkar dengan suaminya, keluar dari rumahnya dan mengikuti sang bhikkhu. Sang suami yang berjalan mengikuti istrinya, melihat istrinya berada di belakang sang bhikkhu, berpikir bahwa bhikkhu ini akan membawa pergi istrinya. Ia berteriak pada sang bhikkhu dan mengancam akan memukulnya. Istrinya memohon dengan sangat pada sang suami untuk tidak memukul bhikkhu tersebut, tetapi hal itu membuatnya menjadi makin marah. Akibatnya, bhikkhu itu dipukul berulang kali sehingga mengalami luka parah oleh sang suami. Setelah memukuli bhikkhu tersebut sepuas hatinya, ia pergi bersama istrinya dan sang bhikkhu meneruskan perj

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:21. Kisah Tissa Thera)

Tissa Thera, setelah menerima sebuah obyek meditasi dari Sang Buddha, pergi ke suatu sisi gunung. Di sana, ia menemukan sebuah gua yang sesuai baginya dan ia memutuskan untuk menghabiskan waktu tiga bulan musim hujan (masa vassa) di dalam gua tersebut. Oleh karena tinggal di dalam gua, ia pergi ke desa untuk berpindapatta setiap pagi. Di desa itu, terdapat seorang wanita yang usianya lebih tua yang secara teratur memberikan dana makanan kepadanya. Di dalam gua, juga hidup hantu penjaga gua. Karena sang thera memiliki latihan moral (sila) yang baik, hantu gua tersebut tidak berani untuk tinggal di dalam gua yang sama dengan sang thera. Selain itu, ia juga tidak mempunyai keberanian menyuruh sang thera untuk meninggalkan gua. Jadi ia memikirkan suatu rencana yang akan mampu membuatnya menemukan kesalahan sang thera; yang kemudian menyebabkan sang thera tersebut meninggalkan gua. Hantu gua merasuki anak laki-laki dari wanita tua yang bertempat tinggal di rumah dimana sang thera bias

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:20. Kisah Khema Theri)

(lihat juga syair 347 Bab XXIV:5) Suatu malam, Sakka, raja dewa, datang dengan para pengikutnya untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Ketika mereka sedang bersama Sang Buddha, Khema Theri, dengan kemampuan batin luar biasanya, juga datang melalui angkasa untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Tetapi karena Sakka dan rombongannya berada di sana bersama Sang Buddha, ia hanya menyembah dengan membungkukkan badan kepada Sang Buddha, dan segera meninggalkan Beliau. Sakka bertanya kepada Sang Buddha siapakah bhikkhuni tadi dan Sang Buddha menjawab, “Ia adalah salah satu muridKu yang paling terkenal; ia dikenal sebagai Khema Theri. Ia tidak ada bandingnya di antara para bhikkhuni dalam hal kebijaksanaan, dan ia mengetahui bagaimana membedakan jalan yang benar dan jalan yang salah.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 403 berikut: Seseorang yang pengetahuannya dalam, pandai, dan terlatih dalam membedakan jalan yang benar dan salah, yang telah mencapai tujuan t

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:19. Kisah Seorang Brahmana Tertentu)

Ada seorang budak muda milik seorang brahmana. Suatu hari, setelah melarikan diri dari rumah tuannya, ia memasuki pasamuan bhikkhu, dan pada saatnya ia mencapai tingkat kesucian Arahat. Pada suatu kesempatan, ketika ia sedang pergi untuk berpindapatta dengan Sang Buddha, bekas tuannya dahulu, seorang brahmana melihat dan menariknya dengan kuat dengan menggunakan seutas tali. Ketika Sang Buddha menanyakan apa permasalahannya, brahmana tersebut menjelaskan bahwa bhikkhu muda tersebut pernah menjadi budaknya. Kepadanya Sang Buddha berkata, “Bhikkhu ini telah meletakkan beban (dari khandha-khandha/kelompok-kelompok kehidupan).” Brahmana itu mencerna hal terebut dan mengartikan bahwa budaknya telah menjadi seorang Arahat. Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia bertanya kepada Sang Buddha apakah benar bahwa bhikkhu tersebut telah menjadi seorang Arahat, dan Sang Buddha menegaskan pernyataan-Nya. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 402 berikut: Dalam dunia ini, seseorang yang telah men

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:18. Kisah Uppalavanna Theri)

Suatu waktu, beberapa bhikkhu sedang membicarakan tentang Arahat Uppalavanna Theri yang telah diganggu oleh Nanda muda, yang kemudian ditelan bumi. Dalam kaitan ini, mereka bertanya kepada Sang Buddha apakah Arahat tidak menikmati kesenangan hawa nafsu karena mereka mempunyai susunan tubuh yang sama seperti layaknya orang lain. Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu! Para Arahat tidak menikmati kesenangan hawa nafsu; mereka tidak menuruti kehendak dalam kesenangan hawa nafsu, karena mereka tidak lagi melekat pada obyek indria dan pada kesenangan hawa nafsu, seperti air yang tidak melekat pada daun teratai atau biji lada yang berada pada ujung jarum.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 401 berikut: Seseorang yang tidak lagi melekat pada kesenangan-kesenangan indria, seperti air di atas daun teratai atau seperti biji lada di ujung jarum, maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’.

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:17. Kisah Sariputta Thera)

Ketika Sang Buddha sedang menetap di Vihara Veluvana, Y.A.Sariputta, disertai dengan lima ratus bhikkhu, memasuki desa Nalaka dan berdiri di muka pintu rumah ibunya sendiri untuk berpindapatta. Ibunya mengundang mereka masuk ke dalam rumah. Ketika ia sedang memberikan makanan kepada anaknya, ia berkata, “O, kau pemakai barang yang tersisa, kau yang telah meninggalkan delapan puluh mata uang crore, untuk menjadi seorang bhikkhu, kau telah menghancurkan kami.” Kemudian ia memberikan makanan kepada para bhikkhu yang lain, dan berkata kepada mereka dengan kasar, “Kalian semua telah menggunakan anakku sebagai pembantu kalian; sekarang makanlah makananmu.” Y.A.Sariputta tidak berkata apapun ataupun menanggapinya tetapi beliau hanya dengan lembut hati mengambil mangkuk tempat makanan dan pulang kembali ke vihara. Setelah tiba di vihara, para bhikkhu memberitahu Sang Buddha bagaimana Y.A.Sariputta dengan telah bersikap sabar, dan menahan diri terhadap kata-kata hinaan dari ibunya. Ke

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:16. Kisah Brahmana Bersaudara Yang Kasar)

Suatu ketika ada seorang brahmana, yang istrinya mempunyai kebiasaan latah/mengatakan tanpa berpikir terlebih dahulu beberapa kata-kata kapan saja ia bersin, atau ketika sesuatu/seseorang menyentuhnya tanpa sadar. Suatu hari, brahmana itu mengundang beberapa teman-temannya untuk makan dan tiba-tiba istri brahmana mengucapkan beberapa kata tanpa dipikir terlebih dahulu. Karena ia adalah seorang sotapanna, kata-kata “Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa” secara otomatis keluar dari mulutnya. Kata-kata pemuliaan bagi Sang Buddha ini sangat tidak disukai oleh suaminya, yang seorang brahmana. Sehingga, dalam kemarahannya, ia pergi menemui Sang Buddha berharap untuk mengajukan beberapa pertanyaan yang menantang Sang Buddha. Pertanyaan pertamanya adalah, “Apakah yang harus kita bunuh untuk dapat hidup dengan bahagia dan damai?” dan pertanyaan keduanya adalah, “Membunuh Dhamma yang mana Anda setujui?” Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Sang Buddha menjawab, “O, brahmana, untuk

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:15. Kisah Dua Brahmana)

Pada suatu ketika tinggallah di Savatthi dua orang brahmana, yang masing-masing mempunyai seekor sapi jantan. Masing-masing menyatakan bahwa sapi jantan miliknya yang lebih baik dan lebih kuat. Akhirnya, mereka setuju untuk membawa hewan milik mereka ke dalam suatu uji coba. Mereka pergi ke tepi sungai Aciravati dan mengisi sebuah gerobak dengan pasir. Satu demi satu sapi-sapi jantan tersebut menarik gerobak tersebut, tetapi sia-sia, karena gerobak tersebut tidaklah bergerak dan hanya talinya yang putus. Para bhikkhu yang melihat hal tersebut memberitahukannya kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha berkata kepada mereka, “Para bhikkhu! Adalah sangat mudah untuk memutuskan tali pengikat yang dapat engkau lihat dengan matamu; siapapun dapat memutuskannya atau memotongnya. Tetapi murid-Ku, seorang bhikkhu, seharusnya memotong ikatan dari itikad jahat, dan tali kulit dari nafsu keinginan yang ada di dalam dirimu dan yang mengikatmu.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 398 berikut:

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:14. Kisah Uggasena, Anak Dari Seorang Hartawan)

 (Kisah ini merupakan kelanjutan kisah Bab XXIV:6) Setelah menikah dengan seorang penari dari suatu rombongan sirkus, Uggasena dilatih oleh ayah mertuanya yang merupakan seorang pemain akrobat, sehingga ia menjadi sangat ahli di bidang akrobatik. Suatu hari ketika ia sedang mendemonstrasikan keahliannya, Sang Buddha datang ke tempat itu. Setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, Uggasena mencapai tingkat kesucian Arahat, ketika ia sedang melakukan atraksi yang hebat sekali di puncak dari sebatang galah bambu yang panjang. Setelah itu, ia turun dari galah dan memohon dengan sangat kepada Sang Buddha untuk menerimanya sebagai seorang bhikkhu dan kemudian ia diterima dalam pasamuan bhikkhu. Suatu hari, ketika para bhikkhu yang lain menanyakan padanya apakah ia tidak mempunyai segala macam perasaan takut ketika sedang turun dari tempat yang amat tinggi (sekitar sembilan puluh kaki), ia mengatakan tidak. Para bhikkhu tersebut menanggapi dan mengartikan hal itu sebagai cara Uggasena u

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:13. Kisah Seorang Brahmana)

Suatu ketika, seorang brahmana dari Savatthi berpikir bahwa karena Sang Buddha menyebut para pengikutnya ‘brahmana’, ia seharusnya juga disebut seorang ‘brahmana’ karena ia lahir dari orang tua brahmana. Ketika ia menceritakan hal ini kepada Sang Buddha, Sang Buddha memberi jawaban kepadanya, “O, brahmana! Aku tidak menyebut seseorang sebagai seorang brahmana hanya karena ia dilahirkan oleh orang tua brahmana. Aku menyebutnya seorang brahmana hanya jika ia terbebas dari kekotoran batin dan telah memotong semua keterikatan pada kehidupan.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 396 berikut: Aku tidak menyebutnya seorang ‘brahmana’ hanya karena ia berasal dari keluarga brahmana atau karena ia lahir dari kandungan seorang ibu brahmana. Apabila dirinya masih penuh dengan noda, maka ia hanyalah seorang brahmana karena keturunan. Tetapi orang yang tanpa noda dan telah bebas dari semua ikatan, maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’.

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:12. Kisah Kisagotami)

Pada suatu kesempatan, Sakka , raja dewa, datang bersama dengan para pengikutnya untuk menghormat Sang Buddha. Pada saat yang bersamaan, Kisagotami Theri, dengan kemampuan batin luar biasa (kesaktian) yang dimilikinya datang melalui angkasa untuk menghormat Sang Buddha. Tetapi ketika ia melihat Sakka dan rombongannya sedang menghormat Sang Buddha, ia menarik diri. Sakka, yang melihat wanita tersebut, bertanya kepada Sang Buddha siapakah wanita tersebut, dan Sang Buddha menjawab, “O, Sakka! Ia adalah muridKu, Kisagotami. Suatu ketika, ia datang kepadaKu dengan dukacita dan penderitaan karena kehilangan anak laki-lakinya dan Aku membuatnya melihat kenyataan alamiah tentang ketidakkekalan, ketidakpuasan dan ketanpaintian dari segala sesuatu yang berkondisi. Sebagai hasilnya ia mencapai tingkat kesucian sotapatti. Setelah masuk dalam pasamuan bhikkhuni, ia menjadi seorang arahat. Ia adalah salah satu dari pengikut wanita utama-Ku, dan tidak ada bandingnya dalam hasil latihan pertapaan,

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:11. Kisah Seorang Brahmana Penipu)

Suatu ketika, seorang brahmana penipu memanjat sebatang pohon dekat batas kota Vesali dan membiarkan dirinya tergantung terbalik seperti seekor kelelawar pada salah satu cabang/ranting pohon tersebut. Dari posisi yang sangat aneh ini, ia terus berkomat-kamit, “O, manusia! Bawakan aku seratus kepala sapi, banyak keping perak dan sejumlah budak. Jika kamu tidak membawakannya untukku, dan jika aku jatuh dari pohon ini dan meninggal dunia, maka kotamu ini pasti akan hancur.” Orang-orang kota tersebut, karena takut bahwa kotanya akan hancur jika brahmana tersebut jatuh dan meninggal dunia, membawakan semua yang dimintanya dan memohon dengan sangat padanya untuk turun. Para bhikkhu yang mendengar kejadian ini memberitahu Sang Buddha, dan Sang Buddha menjawab bahwa seorang penipu hanya dapat memperdayai orang-orang bodoh tetapi bukan orang-orang yang bijaksana. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 394 berikut: Wahai orang bodoh, apa gunanya engkau menjalin rambutmu serta mengenakan

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:10. Kisah Jatila, Seorang Brahmana)

Suatu ketika, seorang pertapa brahmana berpikir sendiri bahwa Sang Buddha menyebut pengikutnya ‘brahmana’ dan bahwa dirinya adalah brahmana karena kelahirannya, seharusnya juga disebut seorang ‘brahmana’. Karena berpikir demikian, ia pergi menemui Sang Buddha dan mengemukakan pandangannya. Tetapi Sang Buddha menolak pandangannya, dan berkata, “O brahmana, Aku tidak menyebut seseorang brahmana karena ia membiarkan rambutnya terjalin atau hanya karena kelahirannya. Aku menyebut seseorang brahmana; hanya jika ia secara penuh memahami ‘Empat Kebenaran Mulia’.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 393 berikut: Bukan karena rambut dijalin, keturunan, ataupun kelahiran, seseorang menjadi brahmana. Tetapi orang yang memiliki kejujuran dan kebajikan yang pantas menjadi seorang ‘brahmana’, orang yang suci.

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:9. Kisah Sariputta Thera)

Yang Ariya Sariputta lahir dari orangtua brahmana dari desa Upatissa; sehingga ia diberi nama Upatissa. Ibunya bernama Sari. Teman dekatnya adalah Kolita, seorang brahmana muda, anak dari Moggali. Kedua anak muda ini sedang mencari ajaran yang benar, yang akan mengantar mereka menuju kebebasan dari lingkaran kelahiran kembali. Keduanya mempunyai keinginan yang kuat untuk memasuki kelompok religius. Pertama-tama, mereka pergi kepada Sanjaya, tetapi mereka tidak puas dengan ajarannya. Kemudian mereka mengembara ke seluruh Jambudipa mencari seorang guru yang dapat menunjukkan mereka jalan menuju ke keadaan yang tanpa kematian. Tetapi pencarian mereka tidak membuahkan hasil. Setelah beberapa waktu, mereka berpisah dengan kesepakatan bahwa siapa yang menemukan dhamma sejati terlebih dahulu akan memberitahu yang lain. Pada suatu saat Sang Buddha tiba di Rajagaha, dengan rombongan para bhikkhu, termasuk Assaji Thera, salah satu dari lima bhikkhu pertama (Pancavaggi). Ketika Assaji Thera

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:8. Kisah Mahapajapati Gotami Theri)

Mahapajapati Gotami adalah ibu tiri dari Buddha Gotama. Pada saat kematian Ratu Maya, tujuh hari setelah kelahiran Pangeran Siddhattha, Mahapajapati Gotami menjadi permaisuri dari Raja Suddhodana. Pada waktu itu, putra kandungnya sendiri, Nanda, baru berusia lima hari. Ia rela anak kandungnya sendiri diberi makan oleh pembantu, dan dirinya sendiri memberi makan Pangeran Siddhattha, calon Buddha. Maka, Mahapajapati Gotami telah melakukan pengorbanan besar bagi Pangeran Siddhattha. Ketika Pangeran Siddhattha berkunjung ke Kapilavatthu setelah mencapai Ke-Buddha-an, Mahapajapati Gotami datang menemui Sang Buddha dan mohon agar kaum wanita juga diizinkan untuk memasuki pasamuan bhikkhuni. Tetapi Sang Buddha menolak memberi izin. Kemudian, Raja Suddhodana meninggal dunia setelah mencapai tingkat kesucian arahat. Ketika Sang Buddha sedang berjalan di hutan Mahavana dekat Vesali, Mahapajapati, disertai oleh lima ratus wanita, berjalan dari Kapilavatthu menuju Vesali. Mereka telah mencukur

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:7. Kisah Sariputta Thera)

Y.A.Sariputta sering dipuji oleh banyak orang karena kesabaran dan pengendalian dirinya. Murid-muridnya biasa membicarakannya demikian: “Guru kita adalah orang yang memiliki kesabaran yang tinggi dan pengendalian diri yang luar biasa. Jika beliau diperlakukan kasar atau bahkan dipukul oleh orang lain, beliau tidak menjadi marah tetapi tetap tenang dan sabar.” Karena pembicaraan mengenai Y.A.Sariputta ini sering terjadi, seorang brahmana yang mempunyai pandangan salah mengumumkan kepada para pengagum Sariputta bahwa ia akan memancing kemarahan Y.A.Sariputta. Pada saat Y.A.Sariputta sedang berpindapatta, muncullah brahmana tersebut menghampiri beliau dari belakang dan memukul punggung beliau dengan keras menggunakan tangan. Sang thera tidak berbalik untuk melihat siapa yang telah menyerangnya, tetapi meneruskan perjalanannya seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi. Melihat keluhuran dan ketabahan dari sang thera yang mulia tersebut, brahmana itu menjadi sangat terkejut. Ia berlut

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:6. Kisah Seorang Pertapa Brahmana)

Suatu ketika hiduplah seorang pertapa di Savatthi. Suatu peristiwa berkesan pada dirinya, ketika Sang Buddha menggunakan istilah panggilan bagi semua bhikkhu pengikutNya yang meninggalkan keduniawian dengan kata: ‘pabbajita’. Karena ia juga seorang pertapa, maka ia seharusnya disebut juga seorang pabbajita (yang meninggalkan keduniawian). Jadi ia pergi menemui Sang Buddha dan bertanya mengapa ia tidak disebut seorang pabbajita. Jawaban Sang Buddha terhadap pertanyaannya adalah demikian: “Hanya karena seseorang adalah pertapa, seseorang tidak dapat begitu saja disebut seorang pabbajita; seorang pabbajita juga harus mempunyai persyaratan lain.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 388 berikut: Karena telah membuang kejahatan, maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’; karena tingkah lakunya tenang, maka ia Kusebut seorang ‘pertapa’ (samana); dan karena ia telah melenyapkan noda-noda batin, maka ia Kusebut seorang ‘pabbajita’ (orang yang telah meninggalkan kehidupan berumah tangga).

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:5. Kisah Ananda Thera)

Saat itu adalah hari purnama Sidhi di bulan ke tujuh (Assayuja), ketika Raja Pasenadi dari kerajaan Kosala datang menemui Sang Buddha. Raja tampak gemerlapan dengan tanda-tanda kebesaran kerajaan yang megah. Pada waktu itu, Kaludayi Thera juga sedang berada pada ruangan yang sama dan duduk pada ujung kerumunan. Beliau sedang dalam keadaan pencerapan kesadaran yang dalam (jhana). Tubuhnya bersinar terang, dan berwarna keemasan. Dari langit, Y.A. Ananda memperhatikan bahwa matahari sedang tenggelam dan bulan baru saja muncul, baik matahari maupun bulan memancarkan cahayanya. Y.A.Ananda memandang gemerlapnya cahaya dari raja, sang thera, dan cahaya matahari dan bulan. Akhirnya Y.A.Ananda melihat Sang Buddha, dan tiba-tiba merasa bahwa cahaya yang bersinar dari Sang Buddha jauh melampaui cahaya yang lainnya. Karena melihat Sang Buddha bersinar dalam kedamaian dan kemegahan Beliau, Y.A.Ananda segera menghampiri Sang Buddha, dan menyambut dengan sorak sorai, “O, Bhante! Cahaya dari tubuh

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:4. Kisah Brahmana Tertentu)

Suatu hari, seorang brahmana berpikir sendiri, “Buddha Gotama menyebut para pengikutnya dengan ‘brahmana’. Saya adalah seorang brahmana jika dilihat dari kasta saya. Tidakkah saya juga dapat disebut seorang brahmana?” Setelah berpikir, ia pergi menemui Sang Buddha dan mengutarakan pendapat tersebut. Kepadanya, Sang Buddha menjawab, “Aku tidak menyebut seseorang sebagai brahmana karena kastanya. Aku hanya menyebut seseorang sebagai brahmana jika ia telah mencapai tingkat kesucian Arahat.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 386 berikut: Seseorang yang tekun bersamadhi, bebas dari noda, tenang, telah mengerjakan apa yang harus dikerjakan, bebas dari kekotoran batin dan telah mencapai tujuan akhir (nibbana), maka ia Kusebut seorang brahmana. Brahmana mencapai tingkat kesucian Sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:3. Kisah Mara)

Pada suatu kesempatan, Mara datang menemui Sang Buddha, menampakkan diri berujud manusia dan bertanya kepada Beliau, “Bhante! Anda sering mengucapkan kata ‘param’. Apakah arti dari kata tersebut?” Sang Buddha yang mengetahui bahwa Mara-lah yang bertanya tersebut, lalu menegurnya, “O, Mara yang jahat! Kata ‘param’ dan ‘aparam’ tidak berarti apapun bagimu. ‘Param’ berarti ‘pantai seberang’ yang hanya dapat dicapai oleh para arahat yang telah terbebas dari kekotoran batin.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 385 berikut: Seseorang yang tidak lagi memiliki pantai sini (enam landasan indria dalam) atau pantai sana (enam obyek indria luar), ataupun kedua-duanya (pantai sini dan pantai sana), tidak lagi bersedih dan tanpa ikatan, maka ia Kusebut seorang ‘Brahmana’.

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:2. Kisah Tiga Puluh Bhikkhu)

Pada suatu kesempatan, tiga puluh bhikkhu datang memberi penghormatan kepada Sang Buddha. Y.A.Sariputta, yang mengetahui bahwa waktu itu adalah saat yang matang dan sesuai bagi para bhikkhu tersebut untuk mencapai tingkat kesucian Arahat, mendekati Sang Buddha dan bertanya, semata-mata hanya untuk kepentingan para bhikkhu tersebut. pertanyaannya berbunyi demikian, “Apakah yang dimaksud dengan dua Dhamma?” Terhadap pertanyaan demikian, Sang Buddha menjawab, “Sariputta! ‘Meditasi Ketenangan dan Meditasi Pandangan Terang’ adalah dua Dhamma tersebut.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 384 berikut: Bila seorang brahmana telah mencapai akhir daripada dua jalan samadhi (pelaksanaan Meditasi Ketenangan dan Pandangan Terang), maka semua belenggu akan terlepas dari dirinya. Karena mengerti dan telah memiliki pengetahuan, ia bebas dari semua ikatan. Tiga puluh bhikkhu mencapai tingkat kesucian Arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Dhammapada Bab XXVI (XXVI:1. Kisah Brahmana Yang Memiliki Keyakinan Kuat)

Suatu ketika, di Savatthi, hidup seorang brahmana yang sangat setia kepada Sang Buddha dan Ajaran-Nya. Setelah mendengar khotbah yang diberikan Sang Buddha, setiap hari, ia mengundang para bhikkhu datang ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Ketika para bhikkhu telah sampai di rumahnya, ia memperlakukan mereka seperti Arahat dan dengan hormat mempersilakan mereka untuk memasuki rumahnya. Mendapat perlakuan demikian, bhikkhu-bhikkhu yang masih belum mencapai tingkat kesucian (puthujjana) maupun bhikkhu-bhikkhu Arahat merasa enggan hati dan memutuskan untuk tidak pergi ke rumah brahmana tersebut keesokan harinya. Ketika brahmana tersebut mengetahui bahwa para bhikkhu tidak lagi datang ke rumahnya, ia merasa tidak bahagia. Ia pergi menemui Sang Buddha dan memberitahu Beliau tentang para bhikkhu yang tidak lagi datang ke rumahnya. Sang Buddha memanggil para bhikkhu tersebut dan meminta penjelasan. Para bhikkhu mengatakan kepada Sang Buddha bahwa brahmana tersebut memperlakukan merek

Dhammapada Bab XXV (XXV:12. Kisah Samanera Sumana)

Samanera Sumana adalah murid dari Anuruddha Thera. Meskipun ia baru berusia tujuh tahun, tetapi ia telah mencapai tingkat kesucian Arahat, dan memiliki kemampuan batin luar biasa. Suatu saat, ketika gurunya, Anuruddha Thera, jatuh sakit di vihara yang berada di lereng pegunungan Himalaya, ia mengambil air dari danau Anotatta yang jauhnya lima ratus yojana dari vihara. Perjalanan itu tidak dilakukan dengan jalan darat, tetapi melalui jalan udara (terbang) berkat kemampuan batin luar biasanya. Suatu hari, Anuruddha Thera membawa Samanera Sumana menghadap Sang Buddha, yang saat itu sedang berdiam di Vihara Pubbarama, sebuah vihara persembahan Visakha. Di sana, para bhikkhu muda dan samanera mengganggu Samanera Sumana, dengan menepuk kepalanya, memegang telinganya, hidungnya, tangannya, dan bersenda gurau menanyakan apakah ia tidak merasa bosan. Sang Buddha melihat mereka, dan berpikir bahwa akan menunjukkan kepada para bhikkhu suatu kualitas luar biasa dari Samanera Sumana yang masih

Dhammapada Bab XXV (XXV:11. Kisah Vakkali Thera)

Vakkali adalah seorang brahmana yang tinggal di Savatthi. Suatu hari ia melihat Sang Buddha berpindapatta di dalam kota. Ia sangat terkesan dengan kemuliaan Sang Buddha. Pada saat itu ia menjadi sangat tertarik dan hormat kepada Sang Buddha. Ia memohon izin untuk diterima dalam Pasamuan Bhikkhu sehingga ia dapat selalu dekat dengan Sang Buddha. Sebagai seorang bhikkhu, Vakkali selalu dekat dengan Sang Buddha, ia tidak memperhatikan tugas kewajibannya sebagai bhikkhu lagi, dan tidak berlatih meditasi. Karena itu Sang Buddha berkata kepadanya, “Vakkali, tidak akan bermanfaat bagimu yang selalu dekat dengan-Ku, memperhatikan wajah-Ku. Kamu harus berlatih meditasi, sebab hanya ia yang melihat Dhamma akan melihat Saya. Ia yang tidak melihat Dhamma tidak akan melihat Saya.” Ketika mendengar kata-kata itu Vakkali sangat tertekan. Ia meninggalkan Sang Buddha dan memanjat bukit Gijjhakuta untuk melakukan bunuh diri dengan cara melompat dari puncak bukit. Sang Buddha mengetahui kesedih

Dhammapada Bab XXV (XXV:10. Kisah Nangalakula Thera)

Nangala adalah seorang buruh tani yang bekerja pada seorang petani. Suatu hari seorang bhikkhu melihatnya sedang bekerja di sawah dengan pakaian tuanya yang koyak-koyak. Sang bhikkhu bertanya kepadanya apakah ia berminat menjadi seorang bhikkhu. Ketika ia menyetujui, sang bhikkhu membawanya ke vihara, dan mentahbiskannya menjadi bhikkhu. Setelah diterima dalam Pasamuan Bhikkhu seperti yang telah dinasihatkan oleh gurunya, ia meninggalkan bajak dan pakaian tuanya pada sebuah pohon tidak jauh dari vihara. Karena orang miskin itu meninggalkan bajaknya untuk memasuki pasamuan, maka ia dikenal dengan nama Nangala Thera (nangala artinya bajak). Kehidupan di vihara lebih baik, maka Nangala Thera menjadi lebih sehat, dan berat badannya bertambah. Setelah beberapa saat, ia merasa bosan dengan kehidupannya sebagai bhikkhu dan sering memikirkan untuk kembali menjadi perumah tangga. Jika pikiran itu muncul, ia akan pergi ke pohon dekat vihara, di mana bajak dan pakaian tuanya ditaruh. Di san

Dhammapada Bab XXV (XXV:9. Kisah Santakaya Thera)

Terdapat seorang Thera bernama Santakaya, yang dalam kehidupan lampaunya hidup sebagai singa. Seperti biasa dikatakan: bahwa singa-singa pada umumnya pergi seharian mencari makan, kemudian akan beristirahat selama satu minggu berikutnya tanpa bergerak di dalam gua. Santakaya Thera yang hidup sebagai singa dalam kehidupannya yang lampau mempunyai kebiasaan juga seperti singa. Ia bergerak sangat sedikit, geraknya sangat pelan dan pasti, dan ia biasanya tenang serta tepusat. Bhikkhu-bhikkhu lain merasa sangat aneh melihat kelakuannya, mereka memberitahukan hal itu kepada Sang Buddha. Setelah mendengar keterangan dari para bhikkhu, Sang Buddha berkata kepada mereka, “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang tenang dan terpusat; ia akan berprilaku seperti Santakaya.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 378 berikut: Seorang bhikkhu yang memiliki perbuatan, ucapan, serta pikiran yang tenang dan terpusat, yang telah dapat menyingkirkan hal-hal duniawi, maka ia adalah orang yang benar-bena

Dhammapada Bab XXV (XXV:8. Kisah Lima Ratus Bhikkhu)

Lima ratus bhikkhu dari Savatthi, setelah memperoleh petunjuk obyek meditasi dari Sang Buddha, pergi menuju hutan untuk berlatih meditasi. Di hutan, mereka melihat bunga-bunga melati yang mekar di pagi hari dan jatuh dari pohonnya ke tanah pada sore hari. Kemudian para bhikkhu membuat keputusan untuk berlatih keras membebaskan diri dari kekotoran batin seperti halnya bunga-bunga akan terlepas dari pohonnya. Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa Beliau, mengetahui mereka dari kamar harum. Kemudian Beliau mengirimkan sinar dan membuat mereka merasakan kehadiran-Nya. Kepada mereka Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu! Seperti halnya bunga-bunga akan terlepas dari pohonnya, demikian juga hendaknya seorang bhikkhu berupaya keras melepaskan dirinya dari proses tumimbal lahir.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 377 berikut: Seperti tanaman Vassika (pohon melati yang merambat) menggugurkan bunga-bunganya sendiri yang layu kering, begitu pula hendaknya engkau, O bhikkhu, membua

Dhammapada Bab XXV (XXV:7. Kisah Bhikkhu-bhikkhu Yang Berjumlah Banyak)

Terdapatlah seorang perempuan yang sangat kaya bertempat tinggal di kota Kuraraghara, kira-kira berjarak 120 yojana dari kota Savatthi. Ia mempunyai seorang putera yang telah menjadi bhikkhu, namanya Sona. Pada suatu kesempatan, bhikkhu Sona berjalan melewati kota kelahirannya. Pada waktu bhikkhu Sona pulang menuju Vihara Jetavana, ia bertemu dengan ibunya, dan ibunya mengundang bhikkhu Sona untuk menerima sejumlah besar persembahan. Mengetahui bhikkhu Sona dapat menguraikan Dhamma dengan baik, ibunya juga memohon bhikkhu Sona untuk membabarkan Dhamma kepadanya dan orang-orang lain di kota kelahirannya itu. Bhikkhu Sona menerima permohonan tersebut. ibunya membangun sebuah bangsal Dhamma yang dapat menampung banyak orang untuk mendengarkan khotbah Dhamma. Ibu itu juga mengundang banyak teman, tetangga, dan anggota keluarganya untuk hadir dalam pembabaran Dhamma tersebut. ibu kaya itu meninggalkan rumahnya yang hanya dijaga oleh seorang perempuan pembantu rumah tangga. Ketika pe

Dhammapada Bab XXV (XXV:6. Kisah Dermawan Hasil Pertama Pekerjaannya)

Ketika Sang Buddha bersemayam di Vihara Jetavana, Beliau membabarkan syair 367 Kitab Suci Dhammapada, berkenaan kisah seorang brahmana yang mempunyai kebiasaan berdana lima macam hasil pertama yang diperoleh dari pekerjaannya sebagai seorang petani. Hasil pertama pertanian yang diberikan sebagai dana diambil pada saat panen, saat menguliti beras, saat menyimpan beras, saat memasak beras, dan saat menaruh nasi pada tempat nasinya. Suatu hari Sang Buddha melihat brahmana dan istrinya itu dengan kemampuan batin luar biasa Beliau dan Beliau mengetahui bahwa saatnya sudah masak bagi brahmana dan istrinya mencapai tingkat kesucian Anagami. Oleh karena itu Sang Buddha berkunjung ke tempat tinggal mereka dan berdiam diri di dekat pintu rumah brahmana untuk berpindapatta. Pada saat itu brahmana sedang makan sambil melihat ke bagian dalam rumahnya, sehingga ia tidak melihat Sang Buddha berdiri di dekat pintu rumahnya. Isteri brahmana yang sedang berdiri dekat brahmana itu melihat Sang Budd

Dhammapada Bab XXV (XXV:5. Kisah Bhikkhu Yang Berteman Dengan Bhikkhu Pengikut Devadatta)

Suatu ketika seorang bhikkhu murid Sang Buddha berteman akrab dengan pengikut Devadatta. Ia sering berkunjung dan tinggal selama beberapa hari di vihara tempat Devadatta berdiam. Bhikkhu-bhikkhu lain melaporkan hal itu kepada Sang Buddha, bahwa terdapat seorang bhikkhu murid Sang Buddha yang bergaul akrab dengan pengikut-pengikut Devadatta, sehingga ia sering berkunjung, bahkan menginap beberapa hari, makan, tidur, dan menikmati berbagai fasilitas yang terdapat pada vihara milik Devadatta. Sang Buddha mengundang bhikkhu itu, dan meminta keterangan darinya. Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau telah mendengar berita tentang kelakukan bhikkhu tersebut, apakah berita itu benar. Bhikkhu itu mengakui bahwa ia telah berdiam beberapa hari di vihara milik Devadatta, tetapi ia berkata kepada Sang Buddha bahwa ia tidak mengikuti ajaran Devadatta. Kemudian Sang Buddha menegur dan menunjukkan bahwa apa yang bhikkhu itu lakukan sesungguhnya membuat ia menjadi seperti pengikut Devadatta. Ke

Dhammapada Bab XXV (XXV:4. Kisah Dhammarama Thera)

Ketika beredar berita di kalangan para murid bahwa Sang Buddha akan mangkat (parinibbana) dalam waktu empat bulan lagi; banyak di antara para bhikkhu puthujjana, yang belum mencapai tingkat kesucian mengalami tekanan batin, merasa akan kehilangan. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Pada umumnya mereka berusaha berada dekat dengan Sang Buddha, tidak ingin bepergian jauh dari Beliau. Ketika itu ada seorang bhikkhu yang bernama Dhammarama yang tinggal menyendiri dan tidak pergi mendekat kepada Sang Buddha. Perhatian beliau diarahkan pada perjuangannya untuk mencapai tingkat kesucian Arahat sebelum Sang Buddha meninggal dunia. Ia melaksanakan meditasi ‘Pandangan Terang’ (Vipassana Bhavana) dengan tekun. Kawan-kawan bhikkhu lain tidak mengerti apa harapan beliau dan apa yang sedang dilakukannya, mereka memiliki pengertian keliru perihal kelakuan Bhikkhu Dhammarama itu. Kawan-kawan bhikkhu tersebut bersama Bhikkhu Dhammarama menemui Sang Buddha, dan mereka berkata kepada San