Suatu ketika, di Savatthi, hidup seorang brahmana yang
sangat setia kepada Sang Buddha dan Ajaran-Nya. Setelah mendengar khotbah yang
diberikan Sang Buddha, setiap hari, ia mengundang para bhikkhu datang ke
rumahnya untuk menerima dana makanan. Ketika para bhikkhu telah sampai di
rumahnya, ia memperlakukan mereka seperti Arahat dan dengan hormat
mempersilakan mereka untuk memasuki rumahnya. Mendapat perlakuan demikian, bhikkhu-bhikkhu
yang masih belum mencapai tingkat kesucian (puthujjana) maupun bhikkhu-bhikkhu
Arahat merasa enggan hati dan memutuskan untuk tidak pergi ke rumah brahmana
tersebut keesokan harinya.
Ketika brahmana tersebut mengetahui bahwa para bhikkhu tidak
lagi datang ke rumahnya, ia merasa tidak bahagia. Ia pergi menemui Sang Buddha
dan memberitahu Beliau tentang para bhikkhu yang tidak lagi datang ke rumahnya.
Sang Buddha memanggil para bhikkhu tersebut dan meminta penjelasan. Para
bhikkhu mengatakan kepada Sang Buddha bahwa brahmana tersebut memperlakukan
mereka semua seperti Arahat.
Sang Buddha kemudian bertanya kepada mereka, apakah mereka
merasa bangga dan senang ketika mereka diperlakukan seperti itu. Para bhikkhu
menjawab tidak.
Kepada mereka, Sang Buddha berkata, “O, para bhikkhu, jika
engkau tidak merasa bangga dan senang ketika diperlakukan seperti Arahat, maka
engkau tidak bersalah melanggar peraturan disiplin para bhikkhu yang manapun.
Kenyataan brahmana tersebut memperlakukan engkau demikian karena ia sangat
setia kepada para Arahat. Jadi, murid-Ku, engkau harus berjaung keras
mengurangi nafsu keinginan dan mencapai tingkat kesucian Arahat.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 383 berikut:
O, brahmana,
berusahalah dengan tekun memotong arus keinginan dan singkirkanlah nafsu-nafsu
indria. Setelah mengetahui penghancuran segala sesuatu yang berkondisi, O
brahmana, engkau akan merealisasi nibbana, ‘Yang Tidak Terciptakan.’
Komentar
Posting Komentar