Tissa Thera, setelah menerima sebuah obyek meditasi dari
Sang Buddha, pergi ke suatu sisi gunung. Di sana, ia menemukan sebuah gua yang
sesuai baginya dan ia memutuskan untuk menghabiskan waktu tiga bulan musim
hujan (masa vassa) di dalam gua tersebut. Oleh karena tinggal di dalam gua, ia
pergi ke desa untuk berpindapatta setiap pagi.
Di desa itu, terdapat seorang wanita yang usianya lebih tua
yang secara teratur memberikan dana makanan kepadanya. Di dalam gua, juga hidup
hantu penjaga gua. Karena sang thera memiliki latihan moral (sila) yang baik,
hantu gua tersebut tidak berani untuk tinggal di dalam gua yang sama dengan
sang thera. Selain itu, ia juga tidak mempunyai keberanian menyuruh sang thera
untuk meninggalkan gua. Jadi ia memikirkan suatu rencana yang akan mampu
membuatnya menemukan kesalahan sang thera; yang kemudian menyebabkan sang thera
tersebut meninggalkan gua.
Hantu gua merasuki anak laki-laki dari wanita tua yang
bertempat tinggal di rumah dimana sang thera biasanya pergi untuk menerima dana
makanan. Ia menyebabkan anak tersebut bertingkah laku aneh, menolehkan
kepalanya ke arah belakang, dan memutar-mutarkan matanya yang terbuka lebar.
Ibu anak itu menjadi kebingungan dan menangis. Hantu gua, yang merasuki anak
tadi, kemudian berkata, “Biarkan gurumu, sang thera mencuci kakinya dengan air dan
menuangkan air tersebut pada kepala anakmu.”
Pada hari berikutnya, ketika sang thera datang ke rumahnya
untuk menerima dana makanan, ia melakukan seperti yang telah dianjurkan oleh
hantu gua tadi dan anaknya menjadi tenang dan damai.
Hantu gua kembali ke gua dan menunggu di lubang masuk
kedatangan sang thera. Ketika sang thera tiba kembali dari berpindapatta, hantu
gua menampakkan dirinya dan berkata, “Akulah hantu penjaga gua ini. O, kamu,
tabib, tidak boleh memasuki gua ini.”
Sang thera mengetahui bahwa ia telah hidup dalam kehidupan
yang bersih sejak ia menjadi thera, jadi ia menjawab bahwa ia tidak ingat
mempraktekkan ilmu ketabiban. Kemudian hantu gua menuduhnya bahwa pada pagi
hari ia telah menyembuhkan seorang anak muda yang dirasuki oleh raksasa pada
rumah wanita tua tersebut. Tetapi sang thera tersebut menyadari hal itu
sesungguhnya bukan praktek ilmu ketabiban, dan ia menyadari bahwa bahkan hantu
gua tidak dapat menemukan kesalahan yang lain padanya. Hal ini memberinya suatu
kepuasan yang sangat menggembirakan (piti) pada dirinya sendiri, meninggalkan
kegiuran (piti) dan konsentrasi keras menuju ‘Meditasi Pandangan Terang’
(Vipassana).
Ia kemudian mencapai tingkat kesucian arahat di sana, ketika
ia sedang berdiri pada lubang masuk gua.
Karena sang thera sekarang telah menjadi seorang arahat, ia
menasihati hantu gua untuk meninggalkan gua. Sang thera terus menetap di sana
sampai akhir vassa, dan kemudian ia kembali menemui Sang Buddha. Ketika ia
menceritakan kepada para bhikkhu lain tentang pertemuannya dengan hantu gua,
mereka bertanya apakah ia tidak marah terhadap hantu gua ketika ia dilarang
masuk ke dalam gua. Sang thera menjawab tidak, tetapi para bhikkhu yang lain
tidak mempercayainya. Lalu mereka pergi menemui Sang Buddha dan berkata, “Tissa
Thera telah menegaskan dirinya sebagai seorang arahat; ia tidak berbicara yang
sebenarnya.”
Kepada mereka Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, murid-Ku
Tissa berbicara yang sebenarnya ketika ia berkata bahwa ia tidak marah. Ia
telah sungguh-sungguh menjadi seorang arahat. Ia tidak lagi melekat kepada
siapapun; ia tidak mempunyai kesempatan untuk marah kepada siapapun atau pun
kepada segala sesuatu yang berhubungan dengannya.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 404 berikut:
Orang yang menjauhkan
diri dari masyarakat umum maupun para pertapa, yang mengembara tanpa tempat
tinggal tertentu dan sedikit kebutuhannya, maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’.
Komentar
Posting Komentar