Pada masa Buddha Kassapa, ada seorang bhikkhu bernama Kapila
yang sangat terpelajar dalam Kitab Suci (Pitaka). Karena sangat terpelajarnya,
ia memperoleh kemasyuran dan keberuntungan. Ia juga menjadi sangat sombong dan
memandang rendah bhikkhu-bhikkhu lain. Bila para bhikkhu lain menunjukkan padanya
apa yang pantas dan apa yang tidak pantas ia selalu saja menjawab dengan pedas,
“Berapa banyak yang kau tahu?” Hal itu menyiratkan bahwa ia tahu lebih banyak
daripada bhikkhu-bhikkhu yang lain. Dengan demikian, lama kelamaan semua
bhikkhu yang baik menjauhinya dan hanya bhikkhu-bhikkhu yang tidak baik berada
di sekelilingnya.
Pada suatu hari Uposatha, ketika para bhikkhu mengulang
‘Peraturan Pokok’ bagi para bhikkhu (Patimokkha), Kapila berkata, “Tidak ada
apa yang dikatakan sebagai Sutta, Abhidhamma, atau Vinaya. Tidak ada bedanya
apakah kamu mempunyai kesempatan untuk mendengar Patimokkha atau tidak,” dan
lain-lainnya. Kemudian ia meninggalkan para bhikkhu yang sedang berkumpul.
Jadi, Kapila merupakan rintangan bagi pengembangan dan pertumbuhan Ajaran
(Sasana).
Untuk perbuatan jahat ini, Kapila harus menderita di alam
neraka (niraya) antara masa Buddha Kassapa dan Buddha Gotama. Setelah itu ia
dilahirkan kembali sebagai seekor ikan di Sungai Aciravati. Ikan tersebut,
seperti disebutkan di atas, mempunyai tubuh berwarna keemasan yang sangat
indah, tetapi mulutnya berbau tidak enak yang sangat menusuk hidung.
Suatu hari, ikan tersebut ditangkap oleh beberapa nelayan
dan karena sangat indah, mereka membawanya kepada Raja. Kemudian Raja membawa
ikan tersebut kepada Sang Buddha. Ketika ikan itu membuka mulutnya, bau yang
tidak enak dan sangat menusuk menyebar ke sekeliling. Raja bertanya kepada Sang
Buddha, mengapa ikan seindah itu mempunyai bau yang sedemikian tidak enak dan
menusuk hidung.
Kepada Raja dan para pengiringnya, Sang Buddha menjelaskan,
“O Raja! Pada masa Buddha Kassapa, ada seorang bhikkhu yang sangat terpelajar,
yang mengajarkan Dhamma pada lainnya. Karena perbuatan baik itu, ketika ia
dilahirkan kembali pada kehidupan yang lain, meskipun sebagai seekor ikan, ia
memiliki tubuh keemasan. Tetapi bhikkhu itu sangat serakah, sombong, dan
memandang rendah orang lain; ia juga mengabaikan Peraturan Kebhikkhuan
(Vinaya), dan mencaci maki para bhikkhu yang lain. Karena perbuatan buruk ini,
ia dilahirkan di alam neraka (niraya), dan sekarang, ia menjadi seekor ikan
yang indah dengan mulut yang berbau busuk.”
Sang Buddha kemudian beralih kepada ikan itu dan bertanya
apakah ia mengetahui ke mana ia akan dilahirkan kembali pada kehidupan yang
akan datang. Ikan tersebut memberi isyarat bahwa ia akan masuk kembali ke alam
neraka (niraya) dan ia dipenuhi dengan perasaan sangat sedih. Sebagaimana
diperkirakan, pada saat kematiannya, ikan tersebut dilahirkan kembali di alam
neraka (niraya), untuk menerima akibat perbuatan buruk lain.
Semua yang hadir mendengarkan kisah ikan tersebut menjadi
terkejut. Pada mereka, Sang Buddha memberikan khotbah tentang manfaat
mengkombinasikan antara belajar dengan praktek.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 334, 335, 336, dan 337
berikut ini:
Bila seseorang hidup
lengah, maka nafsu keinginan tumbuh, seperti tanaman Maluwa yang menjalar. Ia
melompat dari satu kehidupan ke kehidupan lain, bagaikan kera yang senang
mencari buah-buahan di dalam hutan.
Dalam dunia ini,
siapapun yang dikuasai oleh nafsu keinginan rendah dan beracun, penderitaannya
akan bertambah seperti rumput Birana yang tumbuh dengan cepat karena disirami
dengan baik.
Tetapi barangsiapa
dapat mengatasi nafsu keinginan yang beracun dan sukar dikalahkan itu, maka
kesedihan akan berlalu dari dalam dirinya, seperti air yang jatuh dari daun
teratai.
Kuberitahukan hal ini
kepadamu: Semoga engkau sekalian yang telah datang berkumpul di sini memperoleh
kesejahteraan! Bongkarlah nafsu keinginanmu seperti orang mencabut akar rumput
Birana yang harum. Jangan biarkan Mara menghancurkan dirimu berulang kali, seperti
arus sungai menghancurkan rumput ilalang yang tumbuh di tepi.
Komentar
Posting Komentar