Ketika Sang Buddha bersemayam di Vihara Jetavana, Beliau
membabarkan syair 367 Kitab Suci Dhammapada, berkenaan kisah seorang brahmana
yang mempunyai kebiasaan berdana lima macam hasil pertama yang diperoleh dari
pekerjaannya sebagai seorang petani. Hasil pertama pertanian yang diberikan
sebagai dana diambil pada saat panen, saat menguliti beras, saat menyimpan
beras, saat memasak beras, dan saat menaruh nasi pada tempat nasinya.
Suatu hari Sang Buddha melihat brahmana dan istrinya itu
dengan kemampuan batin luar biasa Beliau dan Beliau mengetahui bahwa saatnya
sudah masak bagi brahmana dan istrinya mencapai tingkat kesucian Anagami. Oleh
karena itu Sang Buddha berkunjung ke tempat tinggal mereka dan berdiam diri di
dekat pintu rumah brahmana untuk berpindapatta.
Pada saat itu brahmana sedang makan sambil melihat ke bagian
dalam rumahnya, sehingga ia tidak melihat Sang Buddha berdiri di dekat pintu
rumahnya. Isteri brahmana yang sedang berdiri dekat brahmana itu melihat Sang
Buddha tiba, tetapi ia khawatir apabila suaminya melihat Sang Buddha berdiri di
dekat pintu rumah untuk berpindapatta, suaminya itu akan memberikan seluruh
nasi yang ada pada tempat nasinya kepada Sang Buddha, sehingga ia harus menanak
nasi lagi.
Dengan pikiran seperti itu wanita itu kemudian bediri
menghalangi penglihatan suaminya, sehingga suaminya tidak bisa melihat Sang
Buddha. Kemudian wanita itu perlahan-lahan berjalan menghampiri Sang Buddha, ia
menghormat dan berkata kepada Sang Buddha, “Bhante, kita tidak bisa berdana
makanan pada hari ini.”
Tetapi Sang Buddha memutuskan untuk tidak beranjak dari
tempat Beliau berdiri. Beliau hanya menggeleng-gelengkan kepala. Melihat hal
itu, isteri brahmana tidak dapat menahan diri, ia ketawa.
Oleh karena itu brahmana membalikkan dirinya dan melihat
Sang Buddha. Mengetahui apa yang dilakukan oleh isterinya itu, brahmana
menangis keras-keras sambil berkata, “O, isteriku yang buruk, engkau telah
meruntuhkan aku.”
Segera brahmana mengambil tempat nasinya. Ia menghampiri
Sang Buddha dan memohon maaf sambil berkata, “Bhante, silakan menerima
pemberian nasi ini meskipun saya sudah mengambilnya sebagian.” Kepada brahmana
itu, Sang Buddha membalas, “O brahmana, nasi apapun sesuai buat-Ku, apakah nasi
itu belum diambil, atau sudah sebagian diambil, bahkan apabila masih tersisa
satu sendok.”
Brahmana sangat gembira mendengar kata-kata Sang Buddha.
Pada saat yang sama ia merasa berbahagia karena pemberian nasinya telah
diterima oleh Sang Buddha.
Brahmana itu kemudian bertanya kepada Sang Buddha, bagaimana
seseorang bisa dikenal, dan disebut sebagai bhikkhu. Sang Buddha mengetahui
bahwa baik brahmana maupun isterinya telah siap mendengarkan ajaran Beliau
perihal batin dan badan jasmani.
Oleh karena itu Beliau menjawab, “O brahmana, seseorang yang
tidak lagi terikat kepada batin dan badan jasmani disebut bhikkhu.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 367 berikut:
Apabila seseorang
tidak lagi melekat pada konsepsi “aku” atau “milikku”, baik yang berkenaan
dengan batin maupun jasmani, dan tidak bersedih terhadap apa yang tidak
dimilikinya, maka orang seperti itu layak disebut bhikkhu.
Brahmana dan isterinya mencapai tingkat kesucian anagami,
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Komentar
Posting Komentar