Segera setelah Buddha Kassapa mangkat (parinibbana), seorang
Arahat thera pergi berkeliling untuk mencari dana bagi pembangunan stupa emas
dimana nantinya relik Buddha Kassapa akan diabadikan.
Sang thera datang ke rumah seorang pandai emas ketika pandai
emas dan istrinya sedang dalam pertengkaran yang sengit. Si pandai emas
tersebut berteriak kepada sang thera, “Kau sebaiknya melemparkan stupamu itu ke
dalam air dan segera pergi.”
Istrinya kemudian berkata kepada sang pandai emas, “Jika
engkau marah kepadaku engkau seharusnya hanya boleh memakiku saja, engkau
bahkan boleh memukulku jika engkau suka, tetapi mengapa engkau harus memaki
Sang Buddha dan sang thera? Tentu saja, engkau telah melakukan kesalahan yang
menyedihkan!”
Mendengar kata-kata istrinya, sang pandai emas menyadari
betapa besarnya kesalahan yang telah diperbuatnya dan ingin menebus kesalahan
itu. Maka ia membuat bunga-bunga emas, meletakannya ke dalam tiga pot emas dan memberikannya
untuk diletakkan pada kamar relik stupa Buddha Kassapa.
Pada kelahirannya yang sekarang, ia dikandung di dalam rahim
anak perempuan dari seorang hartawan yang telah mempunyai hubungan cinta gelap.
Ketika anak itu dilahirkan, ia meletakkannya ke dalam pot dan mengapungkannya
ke dalam aliran sungai.
Seorang wanita muda yang sedang mandi di sungai melihat anak
di dalam pot tersebut dan membawanya bersamanya. Ia mengadopsi anak itu dan
memberi nama Jatila. Karena nasihat dari salah seorang thera, wanita tersebut
menyuruh Jatila pergi ke Taxila di mana ia akan mendapatkan pendidikan. Ketika
Jatila berada di Taxila, sang thera mengaturnya untuk tinggal di rumah seorang
pedagang yang merupakan muridnya. Setelah beberapa lama, Jatila menikah dengan
anak perempuan dari pedagang tersebut. Segera setelah menikah, segundukan emas
diberikan di halaman belakang dari rumah yang baru saja dibangun untuk pasangan
ini. Lahirlah tiga anak dari pernikahan ini.
Setelah itu, Jatila memasuki pasamuan bhikkhu dan mencapai
tingkat kesucian arahat.
Pada suatu kesempatan, saat Sang Buddha pergi untuk
berpindapatta bersama dengan lima ratus bhikkhu termasuk Jatila, mereka datang
ke rumah dari anak-anak Jatila. Anak-anaknya memberi dana makanan kepada Sang
Buddha dan para pengikutnya selama lima belas hari.
Beberapa waktu setelah kejadian itu, para bhikkhu bertanya
kepada Jatila apakah ia masih melekat kepada segundukan emas miliknya dan
anak-anaknya, dan ia menjawab, bahwa ia tidak lagi mempunyai kemelekatan pada
mereka. Para bhikkhu kemudian berkata kepada Sang Buddha, bahwa Jatila dengan
cara seperti itu menegaskan dirinya telah mencapai tingkat kesucian arahat.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu! Jatila
telah membuang nafsu keinginan dan kesombongan; ia telah benar-benar mencapai
tingkat kesucian arahat.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 416 berikut:
Seseorang yang dengan
membuang nafsu keinginan kemudian meninggalkan kehidupan rumah tangga dan
menempuh kehidupan tanpa rumah, yang telah menghancurkan kemelekatan dan
kerinduan, maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’.
Komentar
Posting Komentar