[Kisah nomor (33) dan (34) bab ini
mempunyai syair sama)
Jotika adalah seorang hartawan yang terkenal dari Rajagaha.
Ia tinggal di rumah besar yang megah bertingkat tujuh. Terdapat tujuh buah
tembok yang mengelilingi rumah besarnya, masing-masing mempunyai pintu masuk
yang dijaga oleh setan angkasa. Ketenaran kekayaannya menyebar jauh dan luas,
dan banyak orang datang untuk melihat rumah besarnya.
Pada suatu kesempatan, Raja Bimbisara datang mengunjungi
Jotika. Ia juga membawa anaknya, Ajatasattu, bersamanya. Ajatasattu, setelah
melihat kemegahan rumah besar Jotika, berjanji bahwa ia tidak akan
memperbolehkan Jotika untuk tinggal di rumah besar yang bagus sekali seperti
ini kalau kelak ia menjadi Raja. Pada saat keberangkatan Raja dari rumahnya,
Jotika memberi kenang-kenangan kepada Raja berupa sebuah batu delima besar yang
tak ternilai harganya. Ini adalah kebiasaan Jotika untuk memberi hadiah kepada
semua pengunjung yang datang untuk menemuinya.
Ketika Ajatasattu naik tahta, setelah membunuh ayahnya, ia
datang dengan tentaranya untuk mengambil rumah besar milik Jotika dengan paksa.
Tetapi karena semua gerbang dikawal ketat oleh para setan angkasa, Ajatasattu
dan para pasukannya harus menarik diri.
Ajatasattu melarikan diri ke Vihara Veluvana dan menemukan
Jotika sedang mendengarkan khotbah yang diberikan oleh Sang Buddha. Melihat
Jotika yang berada pada kaki Sang Buddha, Ajatasattu berseru, “Setelah membuat
pengawalmu bertarung melawanku, engkau sekarang berpura-pura untuk mendengarkan
khotbah!”
Jotika menyadari bahwa raja telah pergi untuk mengambil alih
tempatnya dengan paksa dan ia telah dipaksa untuk mundur.
Pada salah satu kelahirannya yang terdahulu, Jotika telah
membuat hasrat yang sungguh-sungguh bahwa harta miliknya tidak boleh diambil
darinya berlawanan dengan kehendaknya, dan kehendak ini telah terpenuhi. Jadi
Jotika berkata kepada Raja Ajatasattu, “O, Raja! Harta milikku tidak dapat
diambil berlawanan dengan kehendakku.”
Setelah berkata seperti ini, ia mengulurkan kesepuluh jari
tangannya dan meminta sang Raja untuk mengambil dua puluh cincin yang sedang
dipakainya pada jari-jari tangannya. Sang Raja berusaha keras untuk
mengambilnya tetapi ia tidak berhasil. Kemudian Jotika menyuruh sang Raja untuk
membentangkan selembar kain, dan ketika Jotika menaruh jari-jarinya pada kain
tersebut, semua cincinnya dengan mudah terlepaskan.
Setelah memberikan semua cincinnya kepada Raja Ajatasattu,
Jotika memohon kepada Sang Buddha supaya ia diijinkan masuk dalam pasamuan
bhikkhu. Segera setelah memasuki pasamuan, Jotika mencapai tingkat kesucian
arahat.
Suatu hari, ketika para bhikkhu yang lain bertanya kepadanya
apakah ia tidak lagi mempunyai nafsu keinginan yang tersisa pada dirinya,
kepada rumah besarnya, kekayaannya, dan istrinya? Ia menjawab bahwa ia tidak
lagi mempunyai nafsu keinginan pada semuanya itu. Para bhikkhu kemudian pergi
menemui Sang Buddha dan berkata, “Bhante! Jotika Thera menegaskan dirinya telah
mencapai tingkat kesucian arahat; ia berkata tidak benar.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu! Jotika
berbicara yang sebenarnya; ia tidak lagi mempunyai nafsu keinginan di dalam
dirinya. Ia sekarang adalah seorang arahat.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 416 berikut:
Seseorang yang dengan
membuang nafsu keinginan kemudian meninggalkan kehidupan rumah tangga dan
menempuh kehidupan tanpa rumah, yang telah menghancurkan kemelekatan dan
kerinduan, maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’.
Komentar
Posting Komentar