Suatu saat ayah Magandiya, karena sangat tertarik dengan
kepribadian dan penampilan Sang Buddha, telah mempersembahkan anak perempuannya
yang sangat cantik untuk dijadikan isteri Sang Buddha Gotama. Tetapi Sang
Buddha menolak persembahan itu dan berkata bahwa Beliau tidak akan mau
menyentuh hal itu yang penuh dengan kotoran, sekalipun dengan kakinya. Ketika
mendengar kata-kata ini, kedua ayah dan ibu Magandiya melihat kebenaran dalam
kata-kata tersebut dan mencapai tingkat kesucian Anagami. Tetapi Magandiya
menganggap Sang Buddha sebagai musuh dan bertekad untuk membalas dendam kepada
Beliau.
Kemudian ia menjadi salah satu dari tiga isteri Raja Udena.
Ketika Magandiya mendengar kabar bahwa Sang Buddha telah datang ke Kosambi, ia
menyewa beberapa penduduk dan pelayan-pelayannya untuk mencaci maki Sang Buddha
saat Beliau memasuki kota untuk berpindapatta. Orang-orang sewaan tersebut
mengikuti Sang Buddha dan mencaci maki dengan menggunakan kata-kata yang
sedemikian kasar seperti ‘pencuri, bodoh, unta, keledai, suatu ikatan ke
neraka’, dan sebagainya. Mendengar kata-kata yang kasar tersebut, Y.A.Ananda
memohon kepada Sang Buddha untuk meninggalkan kota dan pergi ke tempat lain.
Tetapi Sang Buddha menolak dan berkata, “Di kota lain, kita
juga mungkin dicaci maki dan tidak mungkin untuk selalu berpindah tempat setiap
kali seseorang dicaci maki. Lebih baik menyelesaikan masalah di tempat
terjadinya masalah. Saya seperti seekor gajah yang menahan panah-panah yang
datang dari semua penjuru. Saya juga akan menahan dengan sabar caci maki yang
datang dari orang-orang yang tidak memiliki moral.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 320, 321, dan 322
berikut ini:
Seperti seekor gajah
di medan perang dapat menahan serangan panah yang dilepaskan dari busur, begitu
pula Aku (Tathagata) tetap bersabar terhadap cacian; sesungguhnya, sebagian
besar orang mempunyai kelakuan rendah.
Mereka menuntun gajah
yang telah terlatih ke hadapan orang banyak. Raja mengendarai gajah yang
terlatih ke medan perang. Di antara umat manusia, maka yang terbaik adalah
orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri dan dapat bersabar terhadap
cacian.
Sungguh baik keledai-keledai
yang terlatih, begitu juga kuda-kuda Sindhu dan gajah-gajah perang milik para
bangsawan; tetapi yang jauh lebih baik dari semua itu adalah orang yang telah
dapat menaklukkan dirinya sendiri.
Pada akhir khotbah Dhamma tersebut, mereka yang telah mencaci
maki Sang Buddha menyadari kesalahannya dan datang untuk menghormat Beliau,
beberapa di antara mereka mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Komentar
Posting Komentar