Suatu ketika, terdapatlah seorang bhikkhu muda yang sangat
mahir melempar batu. Ia mampu membidik obyeknya dengan tepat tanpa gagal. Suatu
hari ketika ia duduk bersama dengan bhikkhu lain setelah selesai membersihkan
diri di tepi sungai Aciravati, ia melihat dua ekor angsa yang sedang terbang.
Ia bercerita pada temannya bahwa ia akan berusaha untuk memiliki salah satu
dari dua angsa itu dengan melemparkan sebutir batu padanya. Ketika angsa
tersebut mendengar kata-katanya, ia menyembunyikan lehernya. Bhikkhu itu melemparkan
sebuah batu kecil kepada angsa itu. Batu kecil mengenai mata angsa, menembus
masuk melewati salah satu mata angsa, dan keluar melalui mata satunya lagi.
Angsa menangis kesakitan, dan sangat menderita, akhirnya angsa jatuh meninggal
dunia di depan kaki bhikkhu muda itu.
Bhikkhu lain yang menyaksikan kejadian itu membawa bhikkhu
muda tersebut menghadap Sang Buddha. Sang Buddha menegur bhikkhu muda itu dan
berkata, “Anak-Ku, mengapa engkau membunuh angsa itu? Mengapa justru kamu,
sebagai anggota Sangha, yang seharusnya mengembangkan cinta kasih kepada semua
makhluk hidup dan berjuang sungguh-sungguh untuk membebaskan diri dari
kelahiran kembali? Meskipun selama periode di luar keberadaan Dhamma, seorang
bijaksana mempraktekkan moralitas dan taat pada peraturan. Seorang bhikkhu
harus mengendalikan tangannya, kakinya, dan lidahnya.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 362 berikut:
Seseorang yang
mengendalikan tangan dan kakinya, ucapannya dan pikirannya, yang bergembira
dalam Samadhi dan memiliki batin yang tenang, yang puas berdiam seorang diri,
maka orang lain menamakan dia seorang “bhikkhu”.
Komentar
Posting Komentar