Suatu ketika hiduplah di Savatthi seorang brahmana tua yang
memiliki uang delapan laksa. Ia memiliki empat putra. Waktu setiap putranya
menikah ia memberi satu laksa kepadanya. Jadi ia telah memberikan empat laksa.
Kemudian isteri brahmana tua meninggal dunia. Putra-putranya datang kepadanya
dan merawatnya dengan baik. Kenyataannya mereka sangat mencintainya dan
menyayanginya. Dengan berlalunya waktu, entah bagaimana, mereka membujuknya
untuk memberikan empat laksa yang tersisa. Sehingga akhirnya brahmana tua tidak
mempunyai uang sama sekali.
Beberapa waktu kemudian, brahmana tua pergi tinggal bersama
putra tertuanya. Setelah beberapa hari, menantu perempuannya berkata kepadanya,
“Apakah engkau memberi tambahan uang beberapa ratus atau ribu pada putramu yang
tertua? Tidakkah engkau mengetahui jalan menuju rumah putra-putramu yang lain?”
Mendengar hal itu, brahmana tua menjadi sangat marah dan ia meninggalkan rumah
putra tertuanya dan menuju rumah putra keduanya.
Kata-kata yang sama dibuat oleh istri putra keduanya dan
orang tua tersebut pergi menuju ke rumah putra ketiganya dan akhirnya ke rumah
putra keempat atau putra termuda. Hal yang sama terjadi di rumah semua
putranya. Sehingga, orang tua tersebut menjadi tak berdaya; kemudian, dengan
membawa tongkat dan mangkuk ia pergi kepada Sang Buddha memohon perlindungan
dan nasehat.
Di vihara, brahmana tua tersebut menceritakan pada Sang
Buddha bagaimana putra-putranya telah memperlakukannya dan meminta pertolongan
dari Beliau. Kemudian Sang Buddha memberinya beberapa syair untuk diingat dan
menyuruh untuk mengucapkannya di tempat di mana ada banyak orang berkumpul.
Inti dari syair tersebut adalah “Empat putraku yang bodoh
bagaikan raksasa. Mereka memanggilku: ayah!, ayah!. Tetapi, kata-kata itu hanya
keluar begitu saja dari mulutnya dan bukan dari hatinya. Mereka pembohong dan
penuh tipu daya. Mengikuti nasihat istrinya, mereka mengusirku dari rumah
mereka. Sehingga, sekarang saya harus mengemis. Putra-putraku itu bahkan tidak
melayaniku dengan lebih baik dibandingkan tongkatku ini.”
Ketika brahmana tua itu mengucapkan syair-syair itu, banyak
orang di keramaian tersebut mendengarnya, pergi dengan gusar menuju
putra-putranya dan bahkan beberapa di antara orang-orang itu mengancam akan
membunuh mereka.
Putra-putra brahmana tersebut menjadi ketakutan dan berlutut
di kaki ayah mereka untuk meminta maaf. Mereka juga berjanji bahwa mulai hari
itu mereka akan merawat ayah mereka dengan layak dan akan menghormati, mencintai,
dan menghargainya. Kemudian mereka membawa ayah mereka ke rumah mereka; mereka
juga memperingatkan istri-istri mereka untuk merawat sang ayah dengan baik.
Bila para istri tidak merawatnya maka mereka akan dipukul sampai mati. Setiap
putra memberi sepotong kain dan mengirim satu nampan makanan setiap hari.
Brahmana tersebut menjadi makin sehat daripada sebelumnya
dan berat badannya segera kembali ke berat semula. Ia menyadari bahwa ia
mendapat siraman manfaat seperti itu atas jasa Sang Buddha. Maka ia pergi
menghadap Sang Buddha. Dengan rendah hati memohon Beliau untuk menerima dua
nampan makanan dari empat nampan yang biasa ia terima setiap hari dari
putra-putranya. Kemudian ia menyuruh putra-putranya untuk mengirimkan dua
nampan makanan kepada Sang Buddha.
Suatu hari, putra tertua brahmana itu mengundang Sang Buddha
ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Setelah bersantap, Sang Buddha memberi
khotbah tentang manfaat ynag diperoleh dengan merawat orang tua. Kemudian,
Beliau bercerita kepada mereka tentang kisah seekor gajah bernama Dhanapala
yang merawat orang tuanya. Dhanapala ketika ditangkap merindukan orang tuanya
yang ditinggal di hutan.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 324 berikut:
Pada musim kawin,
gajah ganas bernama Dhanapala sukar dikendalikan; walaupun diikat kuat ia tetap
tidak mau makan karena merindukan gajah-gajah lain di hutan.
Brahmana tua beserta empat putra dan
istri-istrinya mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma itu
berakhir.
Komentar
Posting Komentar