Suatu kesempatan, ketika Sang Buddha sedang berpindapatta di
Rajagaha, ia melihat seekor induk babi muda yang kotor dan Beliau tersenyum.
Ketika ditanya oleh Ananda, Sang Buddha menjawab, “Ananda, babi ini dulunya
adalah seekor ayam betina di masa Buddha Kakusandha. Karena ia tinggal di dekat
ruang makan di suatu vihara, ia biasa mendengar pengulangan teks suci dan
khotbah Dhamma. Ketika ia mati, ia dilahirkan kembali sebagai seorang putri.
Suatu ketika, saat pergi ke kakus, sang putri melihat
belatung dan ia menjadi sadar akan sifat yang menjijikkan dari tubuh. Ketika ia
meninggal dunia, ia dilahirkan kembali di alam Brahma sebagai brahma
puthujjana; tetapi kemudian karena beberapa perbuatan buruknya, ia dilahirkan
kembali sebagai seekor babi betina. Ananda! Lihat, karena perbuatan baik dan
perbuatan buruk tidak ada akhir dari lingkaran kehidupan.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 338 sampai dengan 343
berikut ini:
Sebatang pohon yang
telah ditebang masih akan dapat tumbuh dan bersemi lagi apabila akar-akarnya
masih kuat dan tidak dihancurkan. Begitu pula selama akar nafsu keinginan tidak
dihancurkan, maka penderitaan akan tumbuh berulang kali.
Apabila tiga puluh
enam nafsu keinginan di dalam diri seseorang mengalir deras menuju obyek-obyek
yang menyenangkan, maka gelombang pikiran yang penuh nafsu akan menyeret orang
yang memiliki pandangan salah seperti itu.
Dimana-mana mengalir
arus (nafsu-nafsu keinginan); dimana-mana tanaman menjalar tumbuh merambat.
Apabila engkau melihat tanaman menjalar (nafsu keinginan) tumbuh tinggi, maka
harus kau potong akar-akarnya dengan pisau (kebijaksanaan).
Dalam diri
makhluk-makhluk timbul rasa senang mengejar obyek-obyek indria, dan mereka
menjadi terikat pada keinginan-keinginan indria. Karena cenderung pada hal-hal
yang menyenangkan dan terus mengejar kenikmatan-kenikmatan indria, maka mereka
menjadi korban kelahiran dan kelapukan.
Makhluk-makhluk yang
terikat pada nafsu keinginan, berlarian kian kemari seperti seekor kelinci yang
terjebak. Karena terikat erat oleh belenggu-belenggu dan ikatan-ikatan, maka
mereka mengalami penderitaan untuk waktu yang lama.
Makhluk-makhluk yang
terikat pada nafsu keinginan, berlarian kian kemari seperti seekor kelinci yang
terjebak. Karena itu seorang bhikkhu yang menginginkan kebebasan diri,
hendaknya ia membuang segala nafsu-nafsu keinginannya.
Komentar
Posting Komentar