Suatu ketika di Rajagaha, seorang penebang kayu pergi ke
dalam hutan dengan anak laki-lakinya untuk mencari kayu. Waktu kembali ke rumah
pada sore hari, mereka berhenti dekat suatu pemakaman untuk makan. Mereka juga
melepaskan kuk dari dua lembu jantannya sehingga lembu-lembu bisa merumput di
sekitar tempat itu. Tetapi kedua lembu jantan itu pergi tanpa mereka sadari.
Segera setelah mereka sadar bahwa dua ekor lembunya telah hilang, penebang kayu
pergi mencarinya, meninggalkan anaknya dengan kereta berisi kayu bakar. Sang
ayah memasuki kota, mencari lembunya. Ketika ia kembali pada anaknya, ternyata
ia sudah terlambat, gerbang kota telah ditutup. Karena itu anak laki-lakinya
terpaksa tidur sendiri di bawah kereta.
Anak laki-laki penebang kayu itu, meskipun usianya muda,
selalu penuh perhatian dan mempunyai kebiasaan merenungkan sifat-sifat mulia
Sang Buddha.
Malam itu dua raksasa datang untuk menakut-nakuti dan ingin
membuatnya celaka. Ketika salah satu raksasa menarik kaki anak laki-laki itu,
ia berteriak, “Saya menghormat kepada Sang Buddha!” (Namo Buddhassa).
Mendengar kata-kata dari anak itu, raksasa-raksasa menjadi
ketakutan dan juga merasa harus melindungi anak itu. Sehingga salah satu dari
kedua raksasa itu tetap berada dekat anak itu, menjaganya dari semua bahaya.
Raksasa lainnya pergi ke istana raja dan membawa nampan berisi makanan Raja
Bimbisara. Kedua raksasa memberi makan kepada anak itu bagaikan anaknya
sendiri. Di istana raja, raksasa meninggalkan pesan tertulis perihal nampan
makanan istana, dan pesan ini hanya terbaca oleh sang Raja.
Pada pagi hari, pegawai Raja menemukan bahwa nampan makanan
istana telah hilang, mereka sangat putus asa dan ketakutan. Raja menemukan
pesan yang ditinggalkan oleh raksasa dan menunjukkan pegawainya tempat di mana ia
harus mencari. Pegawai raja menemukan nampan makanan istana di antara kayu
bakar di dalam kereta. Mereka juga menemukan anak laki-laki yang masih tidur di
bawah kereta. Ketika ditanya, anak itu menjawab bahwa ayahnya datang kepadanya
untuk memberi makan pada malam hari dan ia tidur pulas, tanpa takut setelah
memakan makanannya. Anak itu hanya mengetahui sampai di situ, tidak lebih.
Raja menghadapkan kedua orang tuanya bersama dengan anak itu
kepada Sang Buddha. Raja waktu itu telah mendengar bahwa anak tersebut selalu
penuh perhatian merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha dan juga ia telah
meneriakkan ‘Namo Buddhassa’, ketika raksasa menarik kakinya di malam hari.
Raja bertanya kepada Sang Buddha, “Apakah penuh perhatian
terhadap sifat-sifat mulia Sang Buddha adalah satu-satunya Dhamma yang dapat
memberi perlindungan kepada seseorang terhadap kemalangan dan mara bahaya,
ataukah penuh perhatian terhadap sifat-sifat mulia Dhamma sama manfaat dan
kuatnya?”
Sang Buddha menanggapi, “O Raja, siswaKu! Terdapat enam hal,
apabila penuh perhatian terhadapnya akan merupakan perlindungan yang baik
mengatasi kemalangan dan mara bahaya.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 296, 297, 298, 299,
300 dan 301 berikut ini:
Para siswa Gotama
telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka
selalu merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha dengan penuh kesadaran.
Para siswa Gotama
telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka
selalu merenungkan sifat-sifat mulia Dhamma dengan penuh kesadaran.
Para siswa Gotama
telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka
selalu merenungkan sifat-sifat mulia Sangha dengan penuh kesadaran.
Para siswa Gotama
telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka
selalu merenungkan sifat-sifat badan jasmani dengan penuh kesadaran.
Para siswa Gotama
telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka
bergembira dalam keadaan bebas dari kekejaman.
Para siswa Gotama telah
bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka
bergembira dalam ketenteraman Samadhi.
Pada saat khotbah Dhamma berakhir, anak itu beserta kedua
orang tuanya mencapai tingkat kesucian sotapatti. Kemudian mereka bergabung
dalam Pasamuan Bhikkhu (Sangha) dan akhirnya mencapai tingkat kesucian arahat.
Komentar
Posting Komentar